“Kejujuran” Barang Langka Milik Minoritas

Dalam diskusi wawasan keislaman pada Senin malam, 20 Juni 2011, di Masjid al-Furqan UPI, muncul sebuah pertanyaan menarik: bagaimana pendidikan menyikapi fenomena kejujuran yang ditampilkan oleh seorang siswa SD yang sedang mengikuti Ujian Nasional, lalu diminta oleh guru pengawasnya untuk memberikan hasil jawabannya kepada teman-temannya, dan anak itu menolaknya.   Dia melaporkan kepada orang tuanya, orang tua melapor kepada pihak berwajib, yang berbuntut pada pemecatan bebarapa orang guru yang terlibat, dan masyarakat mengusir keluarga anak yang jujur itu. Tampaknya sekarang  “kejujuran” menjadi milik minoritas dan menjadi barang langka di negeri ini.

Masalah dalam disukusi tersebut tampaknya cukup berat untuk dijawab. Dalam diskusi itu muncul berbagai jawaban, di antaranya  adalah: (1) karena sistem pendidikan yang rusak, sehingga perlu segera dibenahi,  (2) karena sistem evaluasi yang masih lemah, sehingga perlu sistem evaluasi yang benar-benar jujur, (3) karena orientasi pendidikan yang lebih materialis, melupakan nilai-nilai luhur ilahiyyah, sehingga para pendidik lupa akan kedudukannya sebagai makhluk Allah SWT,yang harus bertanggung jawab di hadapan-Nya kelak.  Tentu masih banyak lagi jawaban lainnya.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap jawaban-jawaban diskusi  itu, yang jelas potret pendidikan kita sedang mengalami masalah besar, terutama dalam hal penanaman sikap “jujur” pada diri anak didik, seakan mereka menjadi korban kepentingan politik yang lebih mengedepankan upaya menyelamatkan citra sekolah, kedudukan jabatan pemangku kekuasaan, dan lain sebagainya, yang keseluruhannya tidak berkaitan sama sekali dengan kualitas pendidikan itu sendiri.  Jika hal ini dibiarkan, kita khawatir ke depan wajah dunia pendidikan semakin kelam, dan fatalnya akan terlahir anak didik yang sudah terbiasa berada dalam iklim kecurangan yang berimplikasi kepada hancurnya moralitas bangsa, hilangnya rasa malu dan rusaknya sendi-sendi kehidupan.  Sebagai orang beriman sepatutnya kita bermuhasabah terus menerus. Dalam konteks ini, penulis mencoba mengajak pembaca untuk mencermati hal-hal berikut ini