Demam Batu Akik: Bagaimana Sikap Kita ?

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Ali Imrah: 31)

A. Mukadimah

Akhir-akhir ini di kota Bandung, di kota-kota besar di Indonesia, dan bahkan sudah mulai merambah ke peloksok daerah sedang dilanda demam batu akik. Demam batu akik melanda sampai ke kantor-kantor pemerintah maupun swasta, dan sebagian warga kampus kita pun terlihat fenomena tersebut. Akhir-akhir ini juga bermunculan tempat-tempat baru yang menjual batu akik. Di tempat-tempat umum, di pinggir jalan raya, di banyak gang, sampai di beberapa rumah penduduk banyak yang mendadak jadi pengrajin, pemecah batu akik, penggosok, pemoles batu akik. Memang sekarang ini batu akik menjadi trend di berbagai kalangan masyarakat. Tidak saja diminati kaum pria, namun perempuan juga sudah mulai melirik batu-batu yang memang memiliki keindahan instrinsiknya. Harganya pun melambung tinggi, dari yang tadinya sama sekali tidak mahal, sekarang bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Tegasnya, batu akik jadi pesona, namun di balik itu ternyata menyimpan potensi bahaya yang dahsyat. Potensi bahaya inilah yang harus kita cegah agar kita tidak terjerumus. Pesan yang ingin kita bahas sekarang adalah bagaimana sikap arif umat Islam terhadap fenomena tersebut? Untuk membahas masalah ini, ada baiknya kita simak pembahasan berikut ini.

B. Apa Makna Batu Akik itu?

Batu adalah benda padat ciptalaan Allah. Bahasa Arabnya hajar. Hajar Aswad artinya batu hitam, sebagaimana yang berada pada salah satu sudut Ka’bah, Baitullah. Allah yang maha indah, dan yang memiliki nama-nama indah menciptakan makhluk (antara lain batu) yang indah. Kata “akik” berasal dari bahasa Arab ‘aqiiq(عقيق) artinya “batu berwarna” (Luis Ma’luf; Kamus Al-Munjid, 1976:518), atau “salah satu nama batu permata” (Al-Munawir, 1984: 1026). Dalam Ilmu Lugoh Al-‘Arabiyyah dinyatakan bahwa “bila suatu kata memiliki banyak kesamaan huruf pada wazan yang sama dengan kata lain, maka kata tersebut cenderung memiliki makna yang sama atau setidaknya berdekatan maknanya dengan kata lain yang sepadan”. Kata aqiiq (عقيق) mirif dengan kata ‘atiiq (عتيق) yang memiliki makna: kuna, antik, mulia, dan pilihan (Al-Munawir, 1984: 958). Jadi batu akik dapat diartikan sebagai salah satu jenis batu (ciptaan Allah) yang memiliki nilai estetis (keindahan) karena bermakna: pilihan, antik, kuna, dan mulia. Batu, sebagai salah satu jenis ciptaan Allah Yang Maha Indah bagaimanapun indahnya mustahil melaupai keindahan Sang Penciptanya, Allah. Kecintaan manusia pada keindahan batu akik tidak boleh melampaui kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Nilai (value) adalah sesuatu yang bermakna, berharga, bermutu, menunjukkan hal yang ber kualitas dan berguna bagi manusia. Ketika dinyatakan bahwa sesuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Dalam filsafat nilai, dikenal tiga macam nilai, yaitu: a) nilai material, yakni segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani/ragawi manusia, b) nilai vital, yakni segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatanatau aktivitas, dan c) nilai keruhanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Terkait dengan nilai keruhanian ada empat tingkatan secara hirarkis, yaitu:

  1. Nilai logis, yaitu nilai benar-salahyang bersumber pada akal (rasio, budi) manusia.
  2. Nilai estetis adalah nilai indah-tidak indahyang bersumber pada unsur perasaan manusia. Batu akik memiliki nilai estetik.
  3. Nilai etis/moral adalah nilai baik-burukyang bersumber pada unsur kehendak/karsa (will)manusia.
  4. Nilai religiusyakni nilai mutlak yang bersumber padakepercayaan atau keyakinan manusia. Nilai religius merupakan nilai keruhanian tertinggi yang harus melandasi nilai-nilai etis/moral, estetis, dan logis.

Lantas bagaimana hukum memakai batu akik? Menurut Imam Syafi’i al-Umm, Bairut-Dar al-Ma’rifah, 1393 H, juz, 1, hal. 221) bahwa hukum memakai batu mulia atau batu akik seperti batu yaqut, zamrud dan lainnya adalah “mubah” sepanjang tidak berlebih-lebihan dan menyombongkan diri. Jadi nilai rujukannya adalah, jika seorang muslim memakai batu akik yang niatnya, caranya dan dampaknya bertentangan dengan nilai religius maka tidak boleh atau terlarang. Pemakai batu akik yang niatnya riya atau takabur terlarang, pemakai batu akik yang berbingkai emas kuning terlarang, pemakai batu akik yang mengandung nilai khurafat, kekuatan, kesaktian, atau keistimewaan yang sangat dahsyat, sehingga bisa dijadikan sebagai jimat, senjata, atau yang lainnya (kekuatan magis) terlarang, pemakai batu akik yang berdampak pada hal-hal yang batil misalnya hancurnya keutuhan keluarga, permusuhan, perkelahian dll., maka terlarang.

C. Apa dan Bagaimana Cincin Rasulullah Saw?

Ada beberapa reragam makna dan pergeseran makna khotam (Arab) yaitu acincin, tanda/stempel, dan akhir/ujung/tamat. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita cermati keterangan-keterangan di bawah ini, antara lain riwayat Imam Muslim (Muslim No. 2094) yang menjelaskan

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّه

(Sesungguhnya Rasulullah Saw memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya).
Menurut Imam Nawawi, para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan, “mata cincinnya itu Habasyi” adalah batu yang berasal dari Habasyi, yakni dari jenis batu marjan atau akik karena dihasilkan dari pertambangan batu di Habsyi. Pendapat lain mengatakan bahwa batu mata cincinya berwarna seperti warna kulit orang Habasyi, yaitu hitam. Namun terdapat keterangan lain (Abdurrauf al – Munawi , Faidlul – Qadir

Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1451 H/1994 M, juz, 5, hal. 216) bahwa apa yang dimaksudkan adalah salah satu jenis batu zamrud yang yang berwarna hijau, dan berkhasiat menjernihkan mata dan menyejukkan pandangan”

(وَفِي الْمُفْرَدَاتِ نَوْعٌ مِنْ زَبَرْجَدَ بِبِلَادِ الْحَبْشِ لَوْنُهُ إِلَى الْخَضْرَةِ يُنَقِّي الْعَيْنَ وَيَجْلُو الْبَصَر

Sedangkan dalam Shahih al-Bukhari terdapat riwayat dari Hamin, dari Anas bin Malik yang menyatakan bahwa mata cincinya itu terbuat dari perak. Dalam pandangan Ibnu ‘Abd al-Barr ini adalah yang paling sahih. Dari sinilah kemudian lahir pendapat lain yang mempertemukan riwayat Imam Muslim dan Imam Bukhari. Menurut pendapat ini, Rasulullah Saw pada suatu waktu memakai cincin yang matanya terbuat dari perak, dan pada waktu lain memakai cincin yang matanya dari batu akik yang berasal dari Habsyi. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz, 14, hal. 71). Jadi cincin Rasulullah Saw tidak hanya satu.

Dalam riwayat Ibnul Qoyyim (Zaadul Ma’ad, juz I hal. 119 – 120) menjelaskan bahwa sekembalinya Rasulullah Saw dari Hudaibiyah, beliau Saw hendak menulis surat kepada para raja Romawi yang akan dibawa oleh para kurirnya. Maka kemudian dikatakan kepadanya,”Sesungguhnya mereka (para raja) tidak akan membaca surat kecuali apabila dibubuhi tanda (stempel).” Maka Rasulullah Saw menjadikan cincinya yang terbuat dari perak yang di atasnya terdapat ukiran (tulisan) terdiri dari tiga baris. “Muhammad” pada satu baris ke-1, “Rasul” pada satu baris ke-2 dan “Allah” pada satu baris ke-3. Beliau pun menyetempel surat-surat itu, lalu dikirimkan kepada para raja melalui enam orang utusan (kurir) pada bulan Ramadhan tahun 7 H. (H.R. Turmudzi No. 1747, Ibn Hibban No. 1414, Bukhari No. 5872, Ahmad No. 12738, dan Muslim No. 2092).

Hadits dari Ibnu Umar Ra. menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membuat cincin dari perak. Awalnya beliau yang memakainya, kemudian dipakai oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar, kemudian dipakai oleh Utsman, hingga akhirnya jatuh (kecemplung) di sumur Arisy (sebelah kanan mesjid Quba di Madinah). Ukirannya bertuliskan: Muhammad Rasulullah. (HR. Bukhari No. 5873, Muslim No. 2091, Nasai No. 5293). Karena banyak Umat Islam yang mengkultuskan sumur Arisy tersebut, maka kemudian diurug untuk menghindari khurafat. Jadi umat Islam tidak boleh menggunakan cincin atau apapun yang berdampak pada khurafat/syirik.

Hadits dari Anas bin Malik Ra. Menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membuat cincin dari perak, dan diukir: Muhammad Rasulullah. Kemudian Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku membuat cincin dari perak, dan aku ukir Muhammad Rasulullah. Karena itu, jangan ada seorangpun yang mengukir dengan tulisan seperti ini.” (H.R. Bukhari 5877).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ، وَنَقَشَ فِيهِ: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، وَقَالَ: «إِنِّي اتَّخَذْتُ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ، وَنَقَشْتُ فِيهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، فَلاَ يَنْقُشَنَّ أَحَدٌ عَلَى نَقْشِهِ»

Jadi umat Islam tidak boleh memakai cincin yang bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.
Ada juga hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. sendiri pernah membuang cincin yang melingkar di jari kanannya. Yakni tatkala Nabi Muhammad Saw. mengenakannya kemudian banyak orang pada saat itu meniru membuat cincin dan memakainya. Kemudian beliau Saw naik ke atas mimbar dan melepasnya, seraya Rasulullah Saw. bersabda, ”Sesungguhnya aku mengenakan cincin ini dan menjadikan batu cincinnya dibagian dalam”. Lalu beliau Saw melemparnya dan mengatakan, ”Demi Allah aku tidak akan mengenakannya selama-lamanya.” Maka manusia yang menyaksikannya, saat itu pun membuang cincin mereka.” (H.R. Muslim). Bisa jadi Nabi Saw. melakukan hal tersebut karena khawatir dipandang sebagai sunnah yang harus diikuti atau dibudayakan oleh umat Islam. Karena cincin sebagai kegemaran beliau saja, bukan merupakan anjuran, apalagi kewajiban.

Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan cincin akik, tapi ternyata tidak shahih/palsu (Kasyf al-Khafa, 1/300). Oleh karena itu, bagi Anda pengagum akik, hindari klaim tentang keutamaan akik dan anjuran memakai akik kalau mendasarkan pada hadits palsu sebagai berkut: a) “Pakailah cincin akik, karena akik itu diberkahi”, b) “Pakailah cincin akik, karena cincin akik mengurangi kefakiran”, c) “Pakailah cincin akik, karena akik membuat sukses urusan. Dan tangan kanan lebih berhak untuk diberi perhiasan”, d) “Pakailah cincin akik, karena Jibril mendatangiku dengan membawa akik dari surga. Beliau berpesan, ‘Hai Muhammad, pakailah akik, dan perintahkan umatmu untuk memakai cincin akik.’”, dan e) “Pakailah cincin-cincin akik, karena kalian tidak akan pernah merasa sedih selama memakai cincin akik”.

D. Khulashah/Ringkasan

Dari penjelasan di atas, ada beberapa pemahaman yang bisa kita simpulkan dan dijadikan pelajaran sebagai berikut:

  1. Memanfaatkan sesuatu yang bernilai estetis tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai spiritual lainnya, terutama jika bertentang dengan nilai religius. Pahamilah dan pegang teguhlah etika religius bila akan mengambil manfaat sesuatu yang bernilai estetis.
  2. Etika religius dalam Islam tentang suatu tindakan tergantung pada niat/keyakinannya, caranya, dan dampaknya (NCD). Jadi nilai rujukannya adalah, jika seorang muslim memakai batu akik yang niatnya, caranya dan dampaknya bertentangan dengan nilai religius maka tidak boleh atau terlarang.
  3.  Rasulullah Saw. pernah memakai cincin yang bingkainya dari perak, matanya dari batu Habasyi (batu akik berwarna hitam/hijau) dan perak bertuliskan Muhammad Rasulullah yang bertujuan untuk menyetempel surat dakwah kepada para Raja.
  4. Cincin Nabi Saw. Sempat digunakan para khulafaa ar-rasyidin kemudian jatuh di sumur Arisy dan dikubur untuk mencegah khurafat/ tahayul/ syirk/kultus. Jangan sampai batu akik merusak nilai akidah sebagai umat Islam.
  5. Mencintai sesuatu (aksesoris batu akik misalnya) tidak ada larangan, justeru itu dianjurkan untuk memperindah dan perhiasan diri. Namun dilarang jika mengalahkan kecintaanya pada Allah dan Rasul-Nya, atau bertentangan dengan etika religius.
  6. Terlarang memakai cincin dengan ukiran seperti ukiran cincin Rasulullah Saw. karena dalam cincin itu ada tulisan nama beliau, dan status beliau (Ibn Hajar, Fathul Bari, 10/324).
  7. Hindarilah hadits-hadits doif atau palsu karena menyandarkan pada Nabi Muhammad Saw., padahal bukan berasal dari Nabi, hal tersebut dapat membahayakan.

Allahu a’lam Bi Ash-Shawaab.

Oleh, Dr. H. Abas Asyafah, M.Pd.