Hikmah Hijrah

Di bulan Muharram 1437 H kita memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, yang memberikan nikmatnya kepada kita semua. Yaitu dengan menggunakan nikmatnya itu ke jalan yang diridhoiNya. Bersyukur atas nikmatnya, maka Allah pun akan menambah nikmat itu. Sebagaimana dalam surat Ibrahim ayat 7, Allah SWT berfirman :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Sebagai upaya meningkatkan iman dan takwa kepadaNya, maka melalui tahun baru Hijriyah ini kita menengok sejarah masa silam, masa perjuangan Nabi SAW dan sahabat-sahabat beliau yang menegakan agama Allah. Sebagaimana diketahui dalam catatan sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat mengembangkan risalah Islam di Mekkah, beliau banyak menemui hambatan dan tantangan yang tidak ringan. Orang-orang Quraisy menentang mereka, melakukan penganiayaan terhadap sahabat-sahabat beliau, dengan tujuan agar Nabi saw menghentikan dakwahnya. Semakin hari kekejaman dan penganiayaan semakin keras, namun sungguh suatu keajaiban semakin keras penindasan dan penganiayaan, Islam pun semakin berkembang. Tidak satupun orang yang begitu masuk islam lalu sudi keluar atau menjadi murtad, bagaimanapun kerasnya kekejaman dan penganiayaan yang mereka lakukan. Semakin hari kekejaman itu semakin menjadi-jadi, dan kemudian mencapai puncaknya. Mereka sepakat untuk menangkap dan membunuh Nabi SAW. Dalam keadaan genting itulah, Rasulullah mendapat perintah hijrah ke madinah. Maka berhijrahlah beliau berssama para sahabat menuju kota Yatsrib, yang sekarang menjadi kota Madinah.

Peristiwa hijrah ini terjadi tonggak perjuangan umat Islam untuk selanjutnmya mereka tidak hanya dikagumi oleh kawan tapi juga disegani oleh lawan. Peristiwa hijrah akan tetap relevan atau cocok dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu sekarang ataupun yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa hijrah itu akan tetap cocok dijadikan rujukan kehidupan. Banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Diantaranya:

  1. Hijrah merupakan perjalanan mempertahankan keimanan. Karena iman para sahabat sudi meninggalkan kampung halaman, meninggalkan harta benda mereka. Karena iman mereka rela berpisah dengan orang yang dicintainya yang berbeda akidah. Iman yang mereka pertahankan melahirkan ketenangan dan ketentraman batin, kalau batin sudah merasa tentram dan merasa bahagia, maka bagaimanapun perihnya penderitaan dzahir yang mereka alami tidak akan terasa. Itulah mengapa sebabnya para sahabat mau berjalan di gurun pasir yang panas. Mereka melakukan perjalanan dari Mekkah menuju Madinah dengan bekal iman. Oleh karena itu, dalam memperingati tahun baru hijriyah ini, marilah kita tanamkan keimanan dalam diri kita sebagaimana imannya para sahabat. Dan diwujudkan dalam bentuk amal-amal saleh dalam kehidupan ini.
    Iman akan membuat hidup seseorang jadi terarah. Kekuasaan dan kebebasan berfikir harus ada imbangannya. Allah tidak hanya menganugrahkan akal pada manusia, tapi juga hati. Kita memang butuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diimbangi dengan keimanan akan membuat manusia semakin sadar akan hakikat dirinya. Timbul pengakuan sebagaimana tersebut dalam surat Ali Imran ayat 191: “…Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.                                                                                   Iman juga berfungsi untuk mengendalikan nafsu. Makhluk yang bernama malaikat cuma dianugerahkan akal saja tanpa nafsu, karena itu tidak ada malaikat yang mendurhakai Allah. Sedangkan manusia diberi kedua-duanya, akal sekaligus nafsu. Jika akal menguasai dirinya maka kebenaran akan menang dan meningkat ke derajat malaikat. Namun kalau nafsu yang mengendalikan dirinya maka sifat-sifat binatang yang menghiasi perilakunya. Sehingga ia turun derajat ke tataran binatang. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat At Tin ayat 4-5:” Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),”.
  2. Hijrah merupakan perjalanan ibadah. Pada waktu hijrah, dorongan sahabat untuk ikut tidak sama. Oleh karena itu, Rasulullah saw sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menyatakan bahwa amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Oleh karena itu, semangat ibadah inilah yang harus menjiwai peringatan hijrah.
  3. Hijrah merupakan perjalanan ukhuwah. Kita bisa menyimak bersama bagaimana penduduk Madinah menyambut orang-orang Makkah sebagai saudara. kemudian mereka bergaul dalam suasana ukhuwah yang berlandaskan satu keyakinan bahwa semua manusia bersal dari Nabi Adam dan beliau diciptakan dari tanah. Maka bersatulah orang-orang muhajirin dan orang anshar sebagai saudara yang diikat oleh akidah. Dalam surah Al-Hujurat ayat 10 Allah Swt berfirman : “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Dan kaum muhajirin mendapat jaminan dari Allah akan masuk surga. Sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 100: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.

Ada dua kisah penting dalam menyikapi kondisi bangsa indonesia saat ini. Perjalanan Nabi dari Makkah ke Madinah, sekitar 416 kilometer, ditempuh selama 16 hari dengan mengendarai onta. Nabi mengistirahatkan onta pada saat matahari hampir tepat di atas kepala dan baru melanjutkan perjalanan sore harinya. Betapa Nabi sangat menaruh belas kasih kepada sesama mahluk Allah. Dalam perjalanan itu, Nabi diikuti oleh pembunuh bayaran dari Makkah bernama Suroqoh bin Malik yang mengendarai kuda pilihan. Dia mendapatkan iming-iming hadiah seratus unta dan wanita cantik untuk bisa membunuh Nabi, minimal bisa menggagalkan perjalanan ke Madinah. Namun ketika hendak mendekati Nabi, kuda Suroqoh mendadak terpeleset dan jatuh. Riwayat lain menyebutkan, kuda Suroqoh terperosok masuk kedalam tanah, dan itu terjadi sampai tiga kali. Nabi yang mengetahui hal itu lalu mendekati Suroqoh dan menolongnya. Suroqoh yang penasaran dengan perilaku Nabi itu lantas menanyakan sesuatu perihal Tuhan Muhammad. Terjadilah dialog. Lalu turunlah ayat Al-Quran surat Al-Ihlas :

” Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Suroqoh tertegun, tidak bisa berkata apapun. Bahkan kemudian dia menawarkan barang-barang perbekalannya untuk keperluan perjalanan Nabi, namun beliau menolak. Inilah pelajaran pertama, bahwa seorang pemimpin tidak mudah menerima sesuatu dari orang lain karena kepemimpinannya.

Peristiwa selanjutnya adalah ketika Nabi kehabisan perbekalan. Nabi bersama Sahabat Abu Bakar dan dua orang pengawal singgah di sebuah perkemahan, hendak membeli perbekalan. Perkemahan itu dihuni oleh seorang perempuan bernama Umi Ma’bad yang ternyata dalam keadaan serba berkekurangan. Ada seekor hewan perahan tapi dalam keadaan kurus kerontang. “Jangankan susu Tuan, air kencing hewan itu pun sudah tidak ada,” kata Umi Ma’bad kepada Nabi. Namun kemudian Nabi mendekati hewan itu, memeras kantong susunya dan dengan izin Allah hewan itu keluar air susunya. Pertama-tama Nabi memberikan gelas berisi susu kepada Abu Bakar, kedua kepada Sahabat yang menuntun onta Nabi, ketiga kepada Sahabat yang menuntun onta Abu Bakar, baru kemudian Nabi meminumnya. Banyak peristiwa penting dalam hijrah, namun dari peristiwa yang barusan kita diajarkan bahwa semestinya pemimpin mendahulukan kepentingan rakyatnya. Umi Ma’bad yang keheranan lalu bertanya kepada Nabi. “Kenapa Anda tidak minum terlebih dahulu?” Nabi menjawab: Nabi mengajarkan bahwa, pelayan umat itu semestinya minumnya belakangan, mendahulukan kepentingan umat dari pada kepentingan pribadi.

Oleh, Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si.