Insya Allah & Keutamaannya

Muslimin adalah komunitas umat yang mudah dikenali melalui berbagai ciri dan sikap mereka dalam keseharian dibandingkan dengan umat lain di muka bumi.  Seseorang akan langsung dikenal sebagai penganut al Islam ketika dalam kehidupan sehari-harinya tampak mengerjakan shalat, mengucapkan salam yang bermakna doa, dari cara berpakaian yang menutup aurat, sikap ghadul bashar (menjaga pandangan dari hal yang haram dilihat) atau dari kata-kata yang terucap dari mulutnya ketika berbincang-bincang. Muwashoffat inilah yang tidak dimiliki umat lain. Integrasi nilai-nilai religi ke dalam sikap keseharian ini telah lama menjadi daya tarik muslimin, misalnya di Eropa, sehingga mendorong masyarakat Eropa mendatangi Islamic center atau mesjid-mesjid terdekat untuk berdiskusi. Tidak heran bila kemudian seorang pemuka agama lain melalui sebuah analisis menyampaikan prediksinya bahwa Eropa tidak lama lagi akan menjadi sebuah benua Islam.

Salah satu hal yang biasa dilakukan seorang muslim adalah ketika ia menyampaikan sebuah rencana atau harapan, ia mengucapkan insya Allah sebagai wujud kerendahan seorang hamba dan doa pada Yang Maha Kuasa. Insya Allah bermakna ‘jika Allah menghendaki’ dan merupakan manifestasi keyakinan seseorang, bahwa hanya dengan seizin Allah suatu hal akan terjadi dan terlaksana. Hatta hal tersebut hanyalah jatuhnya selembar daun dari sebuah pohon. Insya Allah merupakan ungkapan yang dikenal luas sehingga terkadang kaum non muslimpun ikut mengatakannya walaupun mungkin tidak memahami artinya. Tidak heran kalau kemudian kalimat tersebut tidak hanya didendangkan oleh seorang Mahir Zein yang muslim, namun juga oleh grup musik non muslim seperti the black eyed peas dalam salah satu lagunya.

Dalam interaksi sosial kita, insya Allah saat ini mengalami pergeseran makna. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang mengatakan bahwa ia akan datang ke sebuah pertemuan dengan mengucapkan insya Allah, ucapannya cenderung dimaknai sebagai ‘mungkin datang,mungkin tidak’. Padahal semestinya berarti bahwa seseorang sudah memutuskan untuk hadir dan bermujahadah (bersungguh-sungguh) mengupayakan akan hadir, namun tetap menyerahkan terjadi-tidaknya pada iradah Allah SWT. Ungkapan ini menunjukkan pengakuan kelemahan manusia sebagai hamba yang tidak mempunyai kuasa menentukan masa depan, namun sekaligus mengandung doa agar yang terjadi adalah yang terbaik bagi semua pihak. Pergeseran makna ini tentu disayangkan karena ungkapan insya Allah merupakan ungkapan yang penuh keutamaan.

 

KISAH YA’JUJ DAN MA’JUJ

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Harmalah dari bibinya berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Kamu mengatakan tidak ada permusuhan, padahal sesungguhnya kamu senantiasa memerangi musuh, sehingga datanglah Ya’juj dan Ma’juj; yang lebar jidatnya, sipit matanya, menyala (merah) rambutnya, mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi, wajahnya seperti martil.”

Diterangkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang dihalangi oleh dinding yang dibangun oleh nabi Dzulkarnain as senantiasa berupaya keluar dengan sekuat kemampuan mereka, sehingga ketika matahari terbenam mereka berhasil membuat satu lobang kecil. Pemimpin mereka lalu mengatakan, “besok kita lanjutkan kembali. Besok pasti kita berhasil keluar.” Ketika esoknya mereka hendak melanjutkan usaha mereka membobol dinding, dengan seizin Allah lubang yang berhasil mereka buat kemarin ternyata sudah tertutup kembali.

Demikianlah mereka berupaya sekuat kemampuan mereka setiap hari berulang-ulang untuk keluar dan mengatakan “pasti besok kita berhasil keluar”, namun peristiwa yang sama kembali terjadi. “sehingga kelak menjelang Kiamat, sore hari setelah mereka membuat lubang kecil, pemimpin mereka tanpa sengaja mengatakan, “Insya Allah, Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita bisa keluar dari sini.” Pada saat itulah kaum Ya’juj dan Ma’juj yang terkurung selama ribuan tahun berhasil keluar dan turun dalam jumlah yang sangat besar bagaikan air bah dan membuat keonaran dimana-mana di muka bumi.

Keterangan ini menjadi ibroh bagi kita untuk meyakini, bahwa ungkapan  insya Allah tidak hanya merupakan ungkapan kata-kata kosong, melainkan sebuah pengakuan akan keagungan Robbul ‘alamin yang menguasai apa yang terjadi dan yang tidak. Insya Allah merupakan sebuah doa dan pengantar usaha yang sungguh-sungguh, bukan ungkapan yang berate ‘mungkin iya, mungkin tidak’. Bahkan Murobbi agung Rasulullah SAW pernah ditegur Allah SWT karena lupa menyebutkan insya Allah.

Satu hari An-Nadhar bin Al-Harits dan ‘Uqbah bin Ani Mu’ith sebagai utusan kaum kafir Quraisy menanyakan kisah Ashhabul Kahfi, Dzulqarnain dan perihal ruh kepada Baginda Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian menjawab, “Besok akan saya ceritakan dan saya jawab.” Namun pada kesempatan itu Rasulullah SAW lupa mengucapkan insya Allah. Akibatnya wahyu yang datang setiap kali beliau menghadapi masalah pasti terputus selama 15 hari. Kondisi menjadi bahan olok-olok kaum kafir Quraisy dan menjadikan Rasulullah SAW bersedih. Akhirnya Allah menurunkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam surat al Kahfi dan al Israa ayat 85.

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhan-Mu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Q.S Al-Kahfi 18:24).

Semoga kita sebagai umatnya mampu mengikuti segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dan diberi rakhmat dan ampunan oleh Allah, serta dikembalikan ke jannahNya yang teramat indah, insya Allah.