Jihad

Pada kesempatan di bulan suci ini, ijinkanlah saya membicarakan satu dari sekian banyak ajaran Islam sebagai tuntunan kehidupan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Tuntunan itu adalah ajaran yang erat kaitannya dengan ibadah shaum, tak terkecuali di dalamnya terhadap kita bagaimana menghadapi situasi politik bangsa terutama dalam menentukan pilihan yang benar untuk memilih salah satu pasangan dari dua orang calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019 pada tanggal 9 Juli 2014. Adapun materi itu adalah jihad dalam aplikasinya dengan kehidupan manusia.

Salah satu rujukan teologis kita untuk mengkaji itu, ada baiknya kita memperhatikan dan menelaah pernyataan Nabi Muhammad saw–sesuai perang Badr–di depan jamaahnya melalui statemen politis kepada masyarakat dengan tegas, bahwa:

Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Di bulan Ramadlan ini sangat wajar bila setiap muslim menjadikannya sebagai satu moment penting baginya untuk menelaah masing-masing dirinya apakah selama ini benar-benar telah hidup sesuai dengan cara nabi Muhammad beragama? Nabi Muhammad telah berhasil menempatkan kendali hawa nafsunya di bawah bimbingan Allah SWT. Bagi umat manusia yang tidak menerima wahyu haruslah menempatkan dirinya di bawah bimbingan Rasulullah saw. Salah satu caranya adalah beribadah shawm sebulan penuh untuk meraih ketaqwaan.

Nafsu yang ada pada diri manusia merupakan agenda terbesar, yang sesungguhnya bukan tantangan, melainkan agenda tersendiri, agar mengarahkan seluruh jiwa raganya kepada hal-hal yang dapat meningkatkan aktifitas dirinya meraih ridla Allah.

Karena itu, wajar bila Imam Al-Gazali menyatakan dan berpendapat bahwa hawa nafsu itu bukanlah lawan yang harus dimatikan, melainkan hawa nafsu harus ditumbuhkembangkan dan diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif.

Ucapan nabi Muhammad saw tersebut hingga pada akhir zaman akan tetap relevan dan aktual bagi siapapun untuk mencapai ridha Allah SWT. Dari sini pulalah, kita bisa melihat bahwa ternyata melauli jihad sebagai salah satu ajaran agama Islam yang posisinya amat penting bagi setiap orang untuk mencapai maksud-maksud kehidupannya.

Demikian pentingnya hal itu, maka kita akan menjumpai kata jihad di dalam Al Quran sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya. Ibn Faris (wafat 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Muqayyis fi al-Lugah mengartikan jihad bahwa semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.
Maka tidak aneh dan mengherankan bila ada sebagian orang-orang Arab yang biasa berbicara dengan atau di antara mereka, menyatakan jahid bi al-rajul yang berarti seseorang sedang mengalami ujian. Hal itu menunjukan bahwa setiap orang di dalam kehidupannya akan mengalami ujian dan selanjutnya sekaligus bisa dianggap wajar bila hal itu merupakan ujian dan cobaan untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Makna dari berbagai kebahasaan dan kandungan jihad bisa membantu kita untuk memahaminya sendiri dengan mempelajari secara langsung mengenai berbagai ayat yang berhubungan dengan persoalan jihad. Itu sebabnya kita mempelajari ayat-ayat tersebut.

Bila kita mempelajari ayat Al Quran, yang antara lain ada pada Qs. Ali ‘Imran/3: 142; al-Tawbah/9:16,20,88; al-Nahl/16:110; al-Ankabut/29:69, maka ada beberapa hal yang dapat kita peroleh, yaitu (a) jihad merupakan cara Allah untuk menguji dan meningkatkan kualitas hidup hamba-hamba-Nya, (b) ada kaitan antara kesulitan, bagaimana cara menghadapi dan memperoleh jalan keluarnya dengan baik, (c) perlu kiranya menyadari bahwa setiap orang adalah mujahid bagi dirinya sendiri, (d) setiap mukmin pastilah mujahid, (e) setiap orang tua yang melahirkan keturunannya di muka bumi adalah berjihad.

Maka marilah kita ingat betul, bahwa setiap hamba Allah yang berjihad akan diberi petunjuk tersendiri untuk memperoleh jalan mencapai cita-citanya. Jihad haruslah dilakukan dengan modal. Maka seorang mujahid tidaklah berusaha mengambil, melainkan memberi. Seorang mujahid haruslah mampu menyediakan dirinya dan bersedia berkorban. Allah, antara lain telah berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar Kami akan tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami (Qs. Al- ‘Ankabut/29:69).
Dalam surat al-Hajj/22:78 Allah berfirman:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad sebenar-benarnya”.
Akhirnya, semoga kita yang berpuasa pada bulan suci ini memperoleh kemampuan untuk mengaktualisasikan diri dan mengaplikasikan nilai-nilai shawm kita sebagai hamba Allah yang semakin muttaqin. Aamiin ya mujib al-du’a.

Oleh, Prof. Dr. H. Abdul Majid, M.A.