Makna Berkorban

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”.

Penyampaian qurban yang dilakukan oleh nabi Ibrahim tempo hari adalah peristiwa yang menunjukan makna tentang larangan bagi kita menghamba kepada insting-insting primitif, kebendaan, larut dalam rayuan materialisme dan hedonisme yang tentu di dalamnya palsu dan menjanjikan kesenangan sesaat. Qurban adalah peristiwa yang melukiskan pergulatan iman Ibrahim, antara memilih Allah atau Ismail anaknya yang kelahirannya begitu didambakan oleh Ibrahim yang tidak kurang dari seratus tahun menunggu akan datangnya Ismail.

Pertempuran besar, jihadul akbar, tarik-menarik antara kutub tauhid dan kutub hawa nafsu syaitoniyah karena sudah terkontaminasi dengan syetan dan toghut, mengabaikan titah Tuhan, menyelamatkan Ismail. Ini semua tentu pada yang akhirnya, perjuangan suci ini dimenangkan Ibrahim. Ibrahim keluar sebagai ksatria sejati, pejuang istimewa dan unggul serta diabadikan oleh Allah di dalam Al Quran. Perintah Allah lebih diprioritaskan dan diutamakan.

Manusia ini sudah dipenjara oleh belenggu duniawi yang serba rendahan. Diantaranya seperti nafsu berpuasa yang tidak pernah berhenti, nafsu berpuasa secara berlebihan, nafsu meraih materi yang tiada berhenti, nafsu menaklukan sesama yang tidak pernah reda dan nafsu merasa serba cukup dan cakap. Ambisi-ambisi yang berlebihan semacam itu biasanya akan bersifat akumulatif, yang dalam bahasa Al Quran, Allah memfirmankan; “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk kedalam kubur”.

Jika tidak memiliki iman yang kokoh, manusia akan senantiasa dibelenggu oleh dirinya. Pembelengguan duniawi yang tidak akan berhenti kecualiajal menjemputnya. Pada titik ambisi-ambisi seperti itulah kehidupan yang kita rasakan. Biasanya jatuh diri sebagai al basyar yang dilambangkan dalam bentuk kejatuhan diri di berbagai lingkungan kehidupan. Jadi manusia yang masih berkutat dirinya sebagai al basyar adalah manusia yang belum terbebaskan dan belum tercerahkan dari belenggu kehidupan yang serba duniawi. Betapapun tingginya kursi yang kita duduki, luasnya ilmu yang kita kuasai, banyaknya harta yang kita miliki, sadar akan hal itu kita sebagai hamba Allah yang tidak punya apa-apa. Ketika panggilan Allah dikumandangkan, kita bersegera karena di dalamnya orang yang beriman mestri tentram dalam hidupnya, penuh harapan masa depannya dan selalu apresiatif. Apalagi seruan yang disampaikan oleh Allah “Segera kita datang kerumah Allah”. Nabi sendiri mencontohkan datangnya paling awal dan pulangnya paling akhir.

Kita harus sadar segala yang bersifat duniawi tidaklah kekal dan abadi.sering kali kita mengkhawatirkan berapa uang bertambah di tabungan, kendaraan takut dicuri, sawah yang begitu luas kebanjiran, pangkat, jabatan, kekuasaan, harta kekayaan. Ini semua membuktikan karakter yang belum dibangun dengan nilai-nilai ketuhanan.Hal ini membuktikan bahwa Ibrahim begitu pasrah diri. Ditajamkan pisau di pelosok lembah mina, lalu Ismail dibaringkan di atas pengorbanan, dengan nama Allah lalu pisau ditempelkan di tenggorokan putranya. Kemudian Ibrahim menyampaikan “aku bermimpi bahwa engkau harus disembelih”, apa jawaban Ismail? “Ayahanda perbuatlah apa yang diperintahkan oleh Allah itu, jangan ragu – ragu untuk melaksanakan perintahnya, insya Allah ayah ini akan mengetahui dan menemukan bahwa akupun patuh kepadanya”. Sebelum pisau merobek lehernya, tiba-tiba munculah seekor domba disertai dengan seruan “wahai Ibrahim sesungguhnya Allah tidak menghendaki agar engkau mengorbankan putramu, inilah seekor domba sebagai tebusannya. Engkau telah melaksanakan perintahKu, sesungguhnya Allah Maha Besar”. Ini hidayah yang begitu dramatis. Menurut salah satu tafsir adalah segala sesuatu yang merampas kebebasan dan menghalangi kita untuk melaksanakan kewajiban segala hal yang membuat mata batin kita guram dan lapisan ruhaniah, lalu kemudian terkikis, setiap kenikmatan yang membuat kita terlena, setiap sesuatu yang menyebabkan kita mengajukan alasan-alasan guna menghindari tanggungjawab dan setiap orang mendukung kita untuk memperoleh dukungan di kemudian hari. Segala hal yang bisa membuat kita menistakan martabat kemanusiaan dan setiap sesuatu yang meredupkan nyala iman serta merintangi perjalanan suci, sehingga Allah kemudian memfirmankan “Kamu tidak akan mendapatkan kebajikan (yang sempurna) dalam hidup kalian, sebelum kamu menafkahkan, mengorbankan sebahagian harta yang kamu cintai”.

Sekali lagi, Ismail itu digantikan oleh domba terbaik karena memang saat itu hewan ternak merupakan puncak kebanggaan dan lambang kekayaan. Sebenarnya kita semua bisa melakukan, jangan kemudian anggap bahwa kita sudah berqurban pada tahun lalu, lalu dianggapnya sunnah, padahal itu sunnah muakkad, padahal kita semua tahu kepada domba, bukanlah putra, kepada sapi bukanlah istri, kepada unta bukanlah mertua. Insya Allah pendamping yang sebenarnya nanti di akhirat kelak itu sendiri yaitu iman, takwa dan amal yang akan ketemu di hadapan Allah SWT. Paling tidak kita utamakan untuk kepentingan kita sendiri, sebab Allah tidak membutuhkan. Yang jelas Allah tidak pernah mendzolimi hamba-hambanya, kemudian memfirmankan “Allah tidak mendzolimi hamba-hambanya, tidak menganiaya makhluk-makhluknya kecuali kalian semua yang mendzolimi diri kalian sendiri”

Oleh, Dr. H. Cecep Sudirman Anshori, M.Ag.