Membangun Jiwa untuk Menangkal Sifat-Sifat Duniawi

Membangun jiwa pada hakekatnya adalah prioritas yang semestinya kita dahulukan daripada membangun raga atau badan kita. Wage Rudolf Soepratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya mengatakan : bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Dalam sudut pandang yang lain, terdapat lima prinsip pencanangan syariat islamiyah yang biasa disebut dengan “maqoshid al-syariah al khams” yaitu memelihara dan memberikan perlindungan dalam arti yang luas terhadap agama, akal, jiwa, nasab atau keturunan dan harta benda, juga mencerminkan betapa komponen-komponen yang secara bulat berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan lebih mendapat perhatian yang besar. Namun entah mengapa dan kapan mulainya, tiba-tiba saja kita dan bangsa Indonesia terkesan hanya mengurusi raga dan melupakan jiwa. Entah karena terlalu populernya semboyan olah raga “men sana in corpore sano” di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat, atau karena penekanan pembangunan kita yang terlalu bertumpu pada sektor ekonomi. Mari kita jawab dan cari jawabannya bersama-sama.

Jika kita menghitung kesibukan dan aktifitas kita sehari-hari, berapa persenkah jatah untuk dan dalam rangka mengolah jiwa bila kita bandingkan dengan persentase bagi membangun dan memanjakan raga-raga kita? Lihatlah supermarket, pasar swalayan, dan restoran yang terus tumbuh dan berkembang, dan selalu kita padati demi pemanjaan terhadap raga-raga kita. Saksikan juga iklan-iklan yang setiap saat dijejalkan ke rumah-rumah kita melalui televisi, radio, majalah-majalah dan lain sebagainya. Mulai dari rokok, segala jenis makanan dan minuman, berbagai jenis pakaian dan perumahan indah, hingga segala macam alat kosmetik yang hampir semuanya meninabobokan kita, sehingga kita lupa untuk menumbuhkan kegersangan jiwa kita.

Dari sinilah terbukti kebenaran Al Quran yang menyebutkan bahwa, manusia menurut penciptanya sendiri memang menyenangi kehidupan dunia dan cenderung mengabaikan akhirat, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Qiyaamah ayat 20-21 : “Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat”. Bahkan manusia terperdaya dan menganggap baik atas segala kesenangan mereka sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 14 : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.

Semua sifat-sifat manusia ini, seperti berlebih-lebihan, egois, dan menikmati kesenangan hidup di dunia menjadi semakin total, nyata dan mudah menjadi keniscayaan. Oleh karenanya, tidaklah heran jika kemudian yang terjadi adalah budaya semacam materialisme, konsumerisme, hedonisme laku keras dan mendapat antusias lebih di kalangan makhluk yang bernama manusia.

Paham inilah yang menjadikan manusia lebih mirip hewan ternak bahkan lebih rendah daripadanya. Sehingga tokoh-tokoh seperti Fir’aun, Korun, Abu Jahal dan semisalnya menjadi idola-idola mereka. Fir’aun yang sampai mengaku menjadi tuhan dan membunuh rakyatnya, Korun yang memproklamirkan diri sebagai tuhan karena kekayaannya dapat menghidupi pengikutnya. Abu Jahal, Abu Lahab dan kaum Jahiliyyah yang bangga terhadap berhala dan harta benda. Kaun Ad’, Samud dan sebagainya yang angkuh dan tidak tahu malu. Mereka semua merampas hak orang lain, tega membunuh saudara sendiri, suami yang tak risih menjual istrinya, ibu tega menjual diri dan anaknya, mereka yang serakah dan dengan bangganya mengeruk kekayaan negara, mereka yang senang menjilat yang kuat dan menginjak yang lemah dan seterusnya. Itu semua tidak lain adalah akibat dari mengikuti paham-paham di atas dan memburu kesenangan duniawi. Ketika kehidupan masyarakat kita sudah sedemikian adanya, maka patutlah kiranya kita menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan belaka dan sesuatu yang melalaikan.

Bagi umat Rasulullah saw yang mengimani hari akhir dan memandang dunia ini hanyalah tempat menanam kebaikan akhirat, haruslah menyadari bahwa kecenderungan dari dalam diri dan gebyar iming-iming dari luar adalah merupakan fitnah, ujian dan cobaan. Tinggal kita kuat menghadapi cobaan yang tentunya sangat tergantung pada sejauhmana kesanggupan dan kemampuan kita untuk mengendalikan faktor kecenderungan dan kuatnya godaan dari dalam atau pengaruh kemilau dari luar.

Kunci suksesnya terletak pada keberhasilan kita dalam melakukan olah jiwa secara terpadu dan kompetibel. Paling tidak kita dapat mengimbangi berbagai kecenderungan tersebut dengan hasanah fil akhirah. Sehubungan dengan hal itu, ketika kita mengulang-ulang do’a paten sapu jagat ”Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar” kitapun sadar bahwa sesungguhnya kita sedang memohon kesenangan di dunia dan kesenangan di akhirat, tetapi kitapun harus tahu bahwa sesungguhnya hasanah fiddunya yang sering kita artikan dengan bahagia, sejahtera dan sesenang-senangnya di dunia ini belum tentu merupakan sarana untuk memperoleh hasanah fil akhirot. Sebab tentunya tidak bisa disebut hasanah fiddunya jika mengakibatkan kesengsaraan di hari kemudian. Jadi, keampuhan doa paling tidak justru untuk menangkal kecenderungan semata-mata menikmati kesenangan hidup di dunia.

Oleh,  Drs. H. Sadudin, M.Pd