Menjemput Gelar Mabrur Walaupun Tidak Berangkat Haji

Sekarang ini kita berada di penghujung bulan, dan Insya Allah sebentar lagi akan masuk di bulan dzulhijjah. Apabila kita amati, kita sedang menyaksikan para umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang berbondong-bondong menuju tanah suci dalam rangka melaksanakan, menjemput, bertalbiyah terhadap undangan Allah. Salah satu ayat yang fenomenal ini merupakan dasar bagi kita untuk dapa merespon ibadah haji dan ibadah umroh itu. Banyak orang yang kurang reponsive terhadap panggilan Allah untuk melaksanakan haji dan umroh. Alasannya karena haji itu, betul rukun islam tapi tidak wajib karena tidak mampu. Ayat Al Qur’an yang menyatakan: “Dan laksanakan ibadah haji ke baitullah bagi mereka yang mampu”. Maka persoalan mampu ini yang harus dirubah paradigmanya.

Rukun islam itu ada lima, yaitu: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan ibadah haji. Jika demikian maka ibadah hajipun wajib kepada kita karena rukun Islam. Persoalannya adalah kemampuan itu yang relatif. Oleh karena itu, paradigma yang harus kita susun bahwa haji itu wajib bagi setiap muslim tanpa terkecuali sekedar kemampuan. Sekiranya nanti pada saatnya berakhir umur kita belum berangkat, kita sudah bisa bertanggung jawab dengan menyisihkan sebagian harta kita sesuai dengan kemampuan kita. Oleh karena itu, dengan perubahan paradigma bagaimana rukun islam yang kelima itu merupakan suatu kewajiban, mari kita respon talbiyah wa addin finnasi dengan labbaika. Aku penuhi panggilanMu, sebab Allah sudah menyebarkan undangan bagi umat islam semuanya. Undangan itu sudah sampai, hanya kita merespon undangannya harus sudah menjawab dalam hati. Merespon panggilan itu sekemampuan kita. Maka dengan demikian istito’ah di sini, saya mengartikan bahwa yang istito’ah itu bukan manusianya, istito’ah itu adalah yang Maha kuat, yang Maha mampu yaitu Allah. Jadi orang yang berangkat haji atau umroh, dia itu dimampukan oleh Allah. Maka resepnya kita memohon dimampukan oleh Allah, maka siapa saja yang dimampukan oleh Allah berangkat. Jadi yang berangkat haji atau umroh bukan orang yang kaya, tapi orang yang dimampukan oleh Allah. Dengan demikian juga mengandung implikasi, bahwa orang yang mampu berangkat haji tidak patut sombong, karena dia dimampukan oleh Allah, sebab banyak orang yang kaya pun tidak berangkat karena tidak dimampukan oleh Allah karena hatinya tidak tergetar. Mari sebagai umat islam, kita yakinkan bahwa rukun islam itu betul merupakan kewajiban, dan kita harus merespon secara positif.

Orang yang dimampukan oleh Allah itu luar biasa. Ada orang yang sudah labbaika, tapi ia adalah tukang beca. Ia tidak ada uang dan ia berkata ”Ya Allah mampukan saya”, dan apa yang dia lakukan? Ia mewakafkan tenaganya satu hari untuk menarik beca dan tidak dibayar. Setiap Jum’at ia bekerja menarik beca, dan niat supaya Allah berkenan memberi kesempatan naik haji. Suatu saat ada penumpang, dan sampai di suatu tujuan, kemudian ketika mau dibayar dia tolak karena sudah mewakafkan tenaganya, mudah-mudahan Allah berkenan memampukan saya ibadah haji. Ternyata orang itu sedang mencari orang yang ingin berangkat haji, maka diberikanlah kepada tukang beca tadi. Oleh karena itu, mari kita coba meminta supaya dimampukan oleh Allah supaya dapat istito’ah.Mudah-mudahan kita semua berburu memenuhi panggilan Allah, tidak hanya untuk urusan haji tapi termasuk bagaimana kita akan merespon panggilan-panggilan Allah yang lain diantaranya panggilan untuk shalat, adzan juga kita harus bertalbiyah.

Apa sesungguhnya yang menjadi pendorong bagi orang-orang yang dapat melaksanakan ibadah haji? Apabila kita cari dalam ayat Al Quran hanya ada dua tujuannya. Pertama, sebagai intruksional yaitu tujuan utamanya walillahi mencari ridlo Allah. Yang kedua adalah agar kita menyaksikan berbagai manfaat, mengambil nilai-nilai dari ibadah haji itu. Nilai ibadah haji yang bagaimana yang sesungguhnya oleh Allah dicanangkan? Yang dicanangkan, yang dicari oleh para hujajj adalah haji mabrur. Mabrur antara lain kita temukan dalam ayat-ayat Al quran. Dalam surah Al Baqarah ayat 44 menjelaskan bahwa orang yang berbuat baik itu tidak hanya berbicara tapi harus dengan perbuatannya. Ada juga di surat Al Baqarah ayat 189 bahwa orang yang baik itu adalah orang-orang yang taqwa, di surat Al maidah ayat 3, dan tolong menolonglah dalam berbuat kebaikan. Apabila nanti kita sudah melakukan perbuatan etis, maka masukanlah kami kedalam surga yang penuh dengan kebaikan. Dengan demikian, bahwa sesungguhnya efek atau manfaat dari ibadah haji, dari ibadah-ibadah yang lain agar kita dapat di dunia ini beramal secara etis antara lain penuh dengan kebaikan.

Sekarang bagaimana caranya memperoleh kemabruran? Dianalisis berbagai hadits terkait dengan haji mabrur antara lain kesimpulannya adalah: Pertama, orang yang ingin memperoleh haji mabrur dan ini terimplementasi dalam kehidupan kita sehari-hari adalah orang yang niatnya ikhlas dalam beramal termasuk niatnya ikhlas waktu ibadah haji. Jadi walaupun kita tidak berangkat haji niatnya ikhlas, insya Allah akan mabrur untuk berangkat haji dan amal-amal kita pun tatkala diawali dengan bismillah terpaut komunikatif dengan Allah.

Yang kedua, di dalam hadits diceritakan apabila ingin memperoleh haji mabrur, segala yang digunakan itu harus benar-benar bersumber dari yang halal. Ada hadits yang menceritakan “Ku penuhi panggilan Mu ya Allah, hartaku halal, bajuku halal, kemudian makanan juga halal. Hajimu mabrur”. Kemudian bagaimana tentang seseorang lagi yang lainnya, ternyata pakaiannya haram, ongkosnya haram, maka hajimu tidak mabrur, ditolak oleh Allah SWT. Dengan demikian, maka refleksinya dalam kehidupan, walaupun tidak berangkat haji dan ingin memperoleh mabrur maka sesungguhnya dari mulai niat dan cara melaksanakan termasuk anggota badan kita seluruhnya harus diupayakan hal-hal yang halal, supaya langkah dan langkah kita pun penuh dengan kebaikan.

Yang ketiga, bagaimana supaya memperoleh kemabruran dalam ibadah haji dan mudah-mudahan terefleksi dalam kehidupan kita yaitu melakukan ibadah, meneladani dan mempedomani syariat islam. Jika berbeda dengan aturan syariat maka tidak akan diterima oleh Allah dan tidak mungkin kita mabrur. Implementasinya dalam kehidupan kita, tentu kita mengikuti Quran dan sunah sehingga kita tidak sesat. Dan yang terakhir antara lain terindentifikasi bagaimana cara memperoleh haji mabrur menurut hadits rasul. Ibadah haji yang ditunaikan harus mampu memperbaiki akhlak dan tingkah laku kita, implementasinya tentu kita setiap hari harus meningkatkan kualitas kehidupan kita dalam akhlak, dan kalau akhlak kita bagus maka insya Allah mabrur. Maka sesungguhnya mabrur itu bukan milik orang yang berangkat haji tapi orang yang sudah siap memenuhi panggilan Allah. Jadi kesimpulannya bisa saja kita tidak berangkat haji tapi memperoleh nilai mabrur.

Oleh, Dr. H. Abas Asyafah, M.Pd.