Metode Pendidikan Qurani Dalam Mengatasi Demoralisasi Dikalangan Remaja

Al-Quran adalah firman Allah dan sebagai kitab suci bagi ummat Islam. Di dalamnya berisi petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan atas petunjuk itu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Semakin dalam kita mempelajari isinya semakin menarik kita pelajari. Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris menyatakan “saya sekarang membaca Quran setiap hari”.

Al-Quran bagaikan samudra yang amat luas yang tidak akan pernah kering. Semakin dalam kita menyelaminya semakin banyak mutiara yang kita peroleh. Itulah salah satu ciri kemukjijatan Al-Quran. Banyak Orang Barat yang mempelajari Al-Quran sebagai objek penelitian atau hanya sebagai ilmu pengetahuan saja, namun tidak dapat disangkal, banyak diantara mereka justru tertarik dan masuk Islam karena telah banyak membaca dan mempelajari Al-Quran. Mudah-mudahan Tony Blair juga setelah mempelajari Al-Quran dia diberi hidayah oleh Allah untuk masuk Islam.

Sebagai petunjuk bagi manusia dalam segala hal. Al-Quran menjamin bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan manusia tidak ada yang terlewatkan. Sebagaimana firman Allah: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab”. (QS. Al An’aam [6] : 38). “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.(QS. An Nahl [16] : 89). Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa Al-Quran telah menawarkan sejumlah konsep yang berhubungan dengan segala kebutuhan manusia. Dalam dunia pendidikan, Al-Quran menawarkan berbagai alternatif model dan metode dalam pembinaan akhlak atau moral khususnya bagi para remaja yang dewasa ini sedang marak dibicarakan.

Masalah moralitas di kalangan remaja di Indonesia dewasa ini, khususnya di kalangan siswa dan mahasiswa sudah tidak dapat ditutup-tutupi lagi, bahkan sudah menjadi problema umum yang belum ada jawabannya. Mengapa para siswa, sejak SLTP, bahkan SD, sudah banyak yang mengkonsumsi narkoba dan obat-obatan berbahaya lainnya?. Mengapa para siswa tampak mudah marah dan sangat agresif, sehingga gampang tersinggung dan dengan mudahnya terjadi tawuran di mana-mana ?. Mengapa para siswa begitu bebas bergaul dengan lawan jenis tanpa risi dan malu? Dan mengapa para siswa sekarang ini sepertinya kurang, malah tidak hormat pada orang dewasa, bahkan terhadap orangtuanya sendiri sekalipun?.

Pertanyaan-pertanyaan di atas memicu bebagai spekulasi dan tentunya perlu diuji kebenarannya. Misalnya, apakah telah terjadi “mal-edukasi” baik di sekolah ataupun di lingkungan keluarga? Atau, malah memang sekolah dan keluarga dewasa ini tidak melaksanakan fungsi edukatif, yang terjadi hanyalah “Transfer of Knowledge“? Atau, malah lebih jauh lagi, baik sekolah ataupun keluarga dewasa ini, apakah memang “abai” terhadap pendidikan? Ada juga yang mempertanyakan di luar lingkup pendidikan, yang seolah-olah mengasumsikan bahwa telah terjadi pendidikan (yang benar) tapi ada sistem lain di luar pendidikan yang mengganggunya. Misalnya pertanyaan berikut: Apakah nilai dan norma pergaulan para siswa sekarang ini sudah berubah, sehingga segala aturan (negara, masyarakat, keluarga, dan bahkan agama) yang dirasakan menghambat “kebebasan” mereka abaikan begitu saja?.

Pertanyaan di atas sah-sah saja selama ada landasan dan dasar argumentasi teoritik ataupun empiriknya. Dari segi pendidikan ada satu persoalan yang patut dipertanyakan, yaitu apakah para guru telah melaksanakan pendidikan dengan benar? Kriteria “benar” dalam pertanyaan ini dapat kita telusuri dari teori-teori pendidikan. Teori pendidikan, misalnya saja menyebutkan, bahwa guru hendaknya menjadi teladan bagi para siswa dan masyarakatnya. Pertanyaan kemudian muncul: Apakah para guru sekarang ini sudah dapat menjadi suri-tauladan?, pertanyaan ini patut dipertanyakan sehubungan dalam pemberitaan di media massa bahwa akhir-akhir ini disebutkan adanya sejumlah kasus pelanggaran moral menimpa para guru. Tentu saja peristiwa-peristiwa ini tidak menggambarkan keseluruhan guru, namun kejadian-kejadian serupa sebenarnya ada di mana-mana. Dan untuk menjadikan guru sebagai suri tauladan memang bukan perkara yang mudah, karena akan menyangkut sistem yang lebih luas mulai dari seleksi mahasiswa keguruan, pendidikan keguruan, seleksi guru, hingga pendidikan yang bersifat in-service bagi para guru. Tapi ada teori pendidikan lain yang justru dapat dilakukan oleh semua guru, yaitu bahwa pendidikan itu perlu dilakukan dengan menggunakan “metode-metode” pendidikan yang tepat.

Dunia Islam sebenarnya memiliki sejumlah metode pendidikan yang sudah teruji keampuhannya. Guru-guru kita tampaknya, jangankan menerapkan teori-teori yang dimaksud, malah mengetahuinya saja jangan-jangan belum pernah. Seperti kita ketahui, guru-guru di sekolah masih sangat dominan menggunakan metode kuliah (ceramah) dan tanya jawab. Tentu saja kita tidak bermaksud menyalahkan metode konvensional ini. Hanya saja, metode-metode pendidikan unggulan, dalam hal ini metode-metode Qur’ani, kiranya perlu diketahui dan digunakan dalam pembelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi.

Dalam kajian ilmiah, Al-Qur’an bukan hanya sebagai Kitab Suci bagi umat Islam, melainkan Kitab Ilmu Pengetahuan yang dapat dikaji dan diterapkan kebenarannya bagi kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Para pakar dari berbagai agama telah banyak yang mencoba menelaah sisi-sisi ilmiah dari Al-Qur’an, dan terbukti banyak di antara mereka yang menemukannya. Sebagai contoh, Maurice Bucaille (Prancis) menemukan sejumlah segi ilmiah Al-Qur’an di bidang kedokteran. Toshihiko Izutsu (Jepang) menemukan etik-etik religius Qur’ani yang memang bersifat universal. Dan Anne Maria Schimmel (Jerman) menemukan kebenaran mistik-mistik Islam yang bersifat universal.

Para pakar pendidikan Islami, sejak Rasulullah Saw hingga para ulama pewaris Nabi di masa pertengahan, telah menjalankan pendidikan dengan mengacu pada petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Generasi teladan pun memang tercipta, berkat keteladanan para pendidikan dan ketepatan metode pendidikan. Abdurrahman An-Nahlawi, ulama terkemuka dan pakar pendidikan dari Mesir, kemudian menyusun sebuah karya monumental tentang metode-metode pendidikan Qur’ani. Disebutkannya, bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kehidupan, termasuk petunjuk bagi pengembangan dalam dunia pendidikan. Mengapa para pendidik pada generasi terdahulu cukup berhasil membimbing, mengarahkan dan menanamkan nilai moral dalam kehidupan para pelajar ?, dijawab oleh An-Nahlawi, karena mereka menggunakan metode-metode pendidikan Qur’ani. An-Nahlawi mengajak kita, para pendidik, untuk menengok kembali dan menggunakan metode-metode pendidikan Qur’ani yang sudah lama kita tinggalkan.

An-Nahlawi mengungkapkan delapan model pendidikan Qur’ani, yang masing-masing memiliki keunggulan. Sebagai misal, “Targhib-Tarhib”, sangat tepat untuk menanamkan nilai kesucian diri dan menghindari pergaulan bebas, menjaga makanan-minuman yang halal serta menghindari yang haram dan subhat, dan persoalan-persoalan lain yang serupa. Model ini akan membuat para siswa sangat takut melakukan perbuatan-perbuatan yang haram dan yang subhat, dan sebaliknya akan sangat senang melakukan perbuatan-perbuatan yang justru dianjurkan. Para siswa yang dididik dengan model targhib-tarhib ini akan sangat takut mengkonsumsi segala makanan-minuman yang haram, seperti narkoba, dan sebaliknya hanya akan memilih makanan-minuman yang halal; mereka pun akan sangat takut mendekati perzinaan, dan sebaliknya mereka akan menjaga kesucian dirinya; dan sebagainya. Model lainnya, “Hiwar“. Model ini sangat tepat untuk menanamkan nilai-nilai akhlaqi, seperti penghormatan terhadap orangtua dan guru, membangkitkan motivasi belajar, dan menanamkan ketaatan beribadah. Model “Qishah Qur’ani” sangat tepat untuk menanamkan nilai kebanggaan beragama dan keyakinan yang penuh terhadap kebenaran Al-Qur’an. Model “Uswah Hasanah” sangat tepat bagi penanaman nilai-nilai keteladanan guru pada murid di berbagai jenjang pendidikan terutama dalam membina akhlak.

 

Oleh, Dr. H. Syahidin, M.Pd.