Nilai Hijrah

Ada dua hal yang dapat kita maknai yaitu bagaimana hijrah dan bagaimana kita mewujudkan sumpah pemuda. Karena itu, bertepatan dengan tema kali ini, mari kita tekadkan untuk mengimplementasikan nilai hijrah sepanjang masa.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pelaksanaan hijrah telah dilakukan oleh Rasulullah saw pada masanya. Allah mengutus Rasulullah saw untuk melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah. Apa yang diwujudkan oleh Rasul? Ada berbagai pemahaman dan makna yang dapat kita ambil. Yang paling mendasar adalah bagaimana Rasulullah saw telah melaksanakan dakwah selama 13 tahun. Tidak sedikit keberhasilan yang diperoleh, di mana kaum musyrikin quraisy secara bertahap banyak yang memeluk agama Islam. Tetapi bersamaan dengan perjalanan waktu itu juga tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh Rasul ketika melaksanakan dakwah tersebut.

Ada yang memberikan sebuah pemahaman bahwa inilah sebuah strategi yang dilaksanakan untuk mengokohkan bagaimana dakwah itu lebih berhasil. Juga ada yang memberikan makna terkait mengenai hal itu, yaitu agar kita lebih kokoh menghadapi sebuah kesulitan yang besar. Sebagai contoh kecil: untuk keluar dari kota Makkah, Rasul sudah menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah di mana kaum musyrikin akan membunuhnya. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi penghambat bagi Rasul untuk berhijrah, sekalipun Abu Bakar merasa khawatir di dalamnya. Apa yang dibawa oleh Rasul pada saat itu? Tiada lain kecuali bagaimana mengokohkan keimanan kepada Allah, dan meyakinkan Allah yang Satu, tiada penolong yang lain.

Perjalanan hijrah sudah selesai dilaksanakan oleh rasul dari Makkah ke Madinah. Pertanyaan penting yang harus kita jawab dan kita lebih resapi lagi, sudahkah kekokohan keimanan kita itu teruji? Sudahkah kita menjadikan sebuah penghambaan hanya pada Allah? Jika kita lihat fenomenanya, tidak sedikit pada jaman kekinian ini orang lebih berorientasikan kepada sebuah pemaknaan dimana nilai-nilai yang di luar kepada Allah itu sering kali lebih di utamakan. Sehingga seolah beragama, sebagaimana Islam sudah kita nyatakan: “Inna solati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, Lillahirabbil ‘alamin”, apa sudah betul teruji dalam diri kita. Ini sebuah pernyataan, kenapa demikian? Sebab pada saat kekinian ini, kalaulah orang mengungkapkan tentang materi sepertinya segala-galanya sehingga menghalalkan berbagai cara. Ketika berbicara kepentingan, apapun dilakukan, dalam artian yang batilpun dilakukan. Jika ini sudah menjadikan bagian dari kebudayaan kita, maka persoalan berikutnya adalah akhlakpun tidak baik, yang harampun kita labrak, etikapun tidak muncul dan lain sebagainya.

Bagaimana implementasi kaitannya dengan kondisi kekinian kita? Saatnya kita mengambil makna hijrah yang harus diwujudkan saat ini, yaitu bagaimana hijrah dari perjalanan Rasul itu menjadikan hijrah kita sepanjang masa. Karena Rasul menyatakan kepada kita: “hijrah itu adalah bagaimana kita menjauhkan atau meninggalkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah”. Karena itu, pantas kalau kita melaksanakan shalat belum tentu mendirikan shalat. Kenapa? Sebab orang yang mendirikan shalat itu sudah mencakup keseluruhan hakekat partikel kepada Allah.Sehingga saking kerasnya, ketika kita menjadi orang yang kenyang perutnya sementara di lingkungan kita ada yang lapar, maka tidak sah keimanannya. Itu salah satu yang kita seringkali lebih kepada aspek-aspek yang secara ritual, tetapi seringkali lupa pada aspek-aspek yang sifatnya sosial.

Demikian halnya sikap hidup kita. Saat ini seringkali orang susah mengungkapkan ungkapan terimakasih, yang ada hanyalah bagaimana kita saling menghujat dan menggugat dan lain sebagainya. Bukankah kita selalu mengungkapkan Islam itu kedamaian, sekurang-kurangnya ba’da shalat, kita mengungkapkan “allahumma anta salaam, wa minka salaam, …”, tapi mengapa dalam kekinian ini seringkali orang susah untuk mengungkapkan apa yang menjadikan kebesaran hati. Bahkan kita sangat prihatin bila kita lihat dalam sebuah suasana yang menjadikan tontonan masyarakat. Bagaimana tiba-tiba yang namanya bangku ikut terlempar dan banyak hal lainnya yang menunjukan hal-hal yang seharusnya tidak kita lihat. Ini adalah sebuah hal yang menjadi cerminan bahwa sudahkah kita berhijrah dengan sebaik-baiknya? Ringkasnya, bagaimana berhijrah dari kejahiliyahan menuju keislaman yang sesungguhnya, bagaimana hijrah dari kekufuran menuju iman, bagaimana hijrah dari kesyirikan menuju tauhid, hijrah dari nifak menuju istiqomah, hijrah dari yang haram menuju yang halal.

Itu barangkali yang seharusnya kita lakukan, karena semua itu tidak akan berlaku selama kita hanya memahami hijrah sebagai arti pindah dari tempat ketempat lain. Karena itu Allah menyatakan kepada kita “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak” [An-Nisaa/4 : 100]. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya sebelum sampai ketempat yang menjadikan tujuan kita, maka sesungguhnya telah tetap pahalanya di sisi Allah dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Makna yang paling kuat dan paling kokoh dari semua ini adalah keteguhan hati kita dan tetap istiqomah. Dengan istiqomah kepada Allah maka niscaya Allah akan memberikan kebahagiaan kepada kita. Itulah kebahagiaan yang hakiki yang harus kita capai yaitu dunia pada saat ini yang fana dan akhirat kelak.

Dalam sebuah seminar dinyatakan tujuan pendidikan UNESCO itu hanya diungkapkan bagaimana: to know, to do, to be, and to live together. Tapi ada sebuah pernyataan, bagaimana kita to die, bagaimana kita menghadapi kematian sebenarnya, dan itulah kepastian yang akan kita raih. Sebuah penantian yang kita sekarang sedang antri menghadapinya. Karena itulah, dengan pernyataan yang sangat kita harus maknai lebih dalam lagi. Diungkapkan sebagaimana muawiyah mendengar kata Rasulullah “Hijrah tidak akan terputus hingga terputusnya (pintu) taubat, dan tidak akan terputus (pintu) taubat hingga matahari terbit dari barat”. Mudah-mudahan kita dapat melaksanakan dan sekaligus mengokohkan untuk melakukan hijrah dalam arti yang sebaik-baiknya dan Allah memberikan kemudahan ketika kita menjalankan hijrah.

Oleh, Dr. H. Mufid Hidayat, MA.