Pendidikan Membentuk Pribadi Kaffah

Negara Indonesia adalah Negara yang sangat peduli dan memperhatikan pendidikan secara maksimal, hal ini terlihat jelas pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yang termaktub dalam USPN No. 20, Tahun 2003, Pasal 3: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dengan melihat fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, pendidikan nasional berupaya mengembangkan potensi jasmani dan rohani peserta didik. Potensi-potensi tersebut ialah: potensi iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, demokratis, mandiri dan bertanggung jawab, sehat, cakap, dan kreatif.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia tersebut sesungguhnya berpijak pada landasan ideologis Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, yang menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, yang menunjukkan bahwa sila ketuhanan ini harus melandasi dan menjiwai seluruh sila-sila lainnya. Ini berarti bahwa seluruh gerak kehidupan bangsa Indonesia, dan seluruh aspek kegiatan dalam segala bidangnya harus dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan (Sanusi, A., 2006). Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia yang benar-benar menjadi manusia yang paripurna, utuh, berakhlak karimah, seimbang, insan kamil, ibad arrohman, kaffah, muttakin.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengajak pembaca menelusuri makna manusia utuh atau kaffah. Kata kaffah diambil dari firman Allah dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 208 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesunggunya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

Kata kaffah ini berasal dari bahasa Arab,  , yang dalam kamus “al-Munjid” (1986) berarti  (kelompok), atau   (seluruh mereka). Demkian pula dalam A Dictionary of Moderen Written Arabic (1974), kata   diartikan sebagai totality, entirety (keseluruhan, semuanya). Al-Jalalain (1984) menafsirkan kaffah: masuklah ke dalam Islam dengan seluruh keadaan lahir maupun batin. Hal ini juga sejalan dengan tafsiran al-Wajiz (tnp. Th): masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak sebagian-sebagian, dan amalkanlah seluruh hukum-hukumnya, dan tidak bersikap munafik. Al-Maraghi (tnp. Th) menerangkan bahwa ayat itu berarti perintah untuk mengambil Islam secara keseluruhannya, memahami maksud-maksudnya, dan mengamalkannya, serta jangan mengambilnya untuk saling mendebat satu sama lain yang akan membuahkan perpecahan umat, tapi sebaliknya harus bersatu padu. Shihab, M.Q. (vol.1, 2009) dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam Islam atau perdamaian secara menyeluruh.

Asbab al-Nuzul, riwayat Ibn Jarir dari Ikrimah, katanya: Abdullah bin Salam, Tsa’labah, Ibn Yamin, Asad, Asid, dua putera Ka’ab, Sa’id bin ‘Amr, dan Qais bin Zaid, semuanya orang Yahudi, berkata: ”Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Karena itu, izinkan kami beribadah keyahudian pada hari Sabtu, sedangkan Taurat juga kitab Allah sehingga biarkan kami beribadah di malam harinya”, maka turunlah ayat ini (al-Suyuthi, J., tn.th). Kedua, riwayat Ibn ‘Abbas, ujarnya: Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya, di mana ketika mereka sudah beriman kepada Nabi SAW, mereka menjalankan syari’at beliau SAW juga syari’at Nabi Musa AS, yakni mengagungkan hari Sabtu dan membenci daging unta dan susunya sesudah mereka masuk Islam. Hal itu ditentang oleh kaum muslimin, dengan mengatakan: ”Kami memperoleh kekuatan (tubuh) dengan (makan) ini dan itu”.

Dari penjelasan tersebut, dan dikaitkan sebab-sebab turun ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perintah masuk Islam secara kaffah tersebut menegaskan tentang keharusan orang-orang mukmin menjalankan ajaran Islam itu dengan segenap lahir (jasmani) maupun batinnya (rohaninya), tidak setengah-setengah, bersatu padu, dan mencakup seluruh aspek ajarannya, baik yang berhubungan dengan unsur-unsur lahiriah-jasmaniah maupun unsur-unsur rohaniah, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat.

Pandangan ini senada dengan definisi manusia kaffah (utuh) yang dikemukakan oleh Dahlan, M.D. (1988), yakni “Manusia utuh menurut pandangan yang tuntas mencerminkan manusia kaffah, dalam arti satunya niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan, yang direalisasikan dalam hidup bermasyarakat. Dan itu semua diperhadapkan kepada Allah SWT. Satunya niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan itu, akan membebaskan manusia dari konflik diri yang akan mengarah kepada kepribadian terbelah. Manusia kaffah dalam kehidupan masyarakat bagaimanapun, tidak akan terbawa-bawa dan terpengaruh oleh hasutan apapun. Pengertian manusia utuh/kaffah tersebut jelas mencerminkan unsur-unsur kepribadian kaffah yang berupa aspek rohaniah dan jasmaniah. Niat, pikir dan tujuan merupakan aspek rohaniah, sedangkan ucap dan perilaku adalah aspek jasmaniah atau lahiriah. Keseluruhan unsur tersebut harus terpadu pada diri seseorang.

Hal tersebut juga sejalan dengan pandangan Sauri, S. (2011) bahwa kepribadian kaffah yang seimbang diwujudkan sebagai manusia yang benar-benar menjadi manusia yang benar. Adanya keseimbangan pribadi dalam pengetahuannya, pengamalannya dan tindakannya. Digambarkan dalam sosok manusia yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya dalam hal-hal yang positif, mensinergikan dalam berpikir, berdzikir, dan berikhtiar, yang dioperasionalkan dengan bekerja cerdas, ikhlas, keras, tuntas, puas dan berkualitas (6tas). Semua perbuatannya diniatkan semata-mata ibadah kepada Allah, yang dilakukannya semata-mata perintah Allah bukan larangan Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan hasilnyapun diterima sebagai bukti ketentuan Allah.

Wallohu a’lam


Oleh : Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

Leave a Reply

Your email address will not be published.