Prinsip-Prinsip Pembelajaran Qurani

Apabila suatu umat atau suatu bangsa berbangga dengan ajarannya, pihak yang paling pantas berbangga adalah umat Islam dengan Al-Qurannya. Berbagai penemuan ilmiah modern yang membuktikan kebenaran Al-Quran, merupakan fakta tak terbantahkan yang menguatkan keunggulan Al-Quran di atas seluruh ajaran yang ada. Padahal, keunggulan tersebut hanya satu segi saja dari kemukjizatan Al-Quran. Ada kemukjizatan lain yang lebih besar, yaitu kandungan ajarannya yang bersifat solutif bagi pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia sepanjang zaman.

Al-Quran hadir sebagai solusi terbaik bagi seluruh problematika hidup dan kehidupan manusia sepanjang masa (QS Al-Isrâ’, 17:9). Pendidikan merupakan salah satu misi utama dari seluruh kandungannya. Bertanya ke Barat, ke Timur atau ke pihak mana pun tentang pendidikan merupakan keniscayaan dari mata rantai perkembangan ilmu itu sendiri. Sedangkan bertanya kepada Al-Quran merupakan kebutuhan hakiki dari hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan penuh kepada Khaliq-nya. Lari dari bimbingan-Nya hanya berarti pengingkaran atas hakikat jati diri sebagai makhluk sekaligus pengingkaran atas hakikat eksistensi Rabb-nya.

Tentang pendidikan, Al-Quran memiliki konsep-konsep yang sangat jelas dan spesifik. Ada konsep yang mengandung arti pendidikan secara menyeluruh, seperti tarbiyah. Ada konsep yang mengandung arti pembelajaran, seperti ta’lim. Ada pula konsep-konsep lain seperti tilawah, tazkiyah, dan sebagainya. Setiap konsep memiliki orietasi dan spesifikasi makna yang berbeda-beda sehingga dapat membangun konsep pendidikan dan pembelajaran yang komprehensif dan integratif.

Konsep ta’lim misalnya. Di dalam Al-Quran, konsep ta’lim memiliki arti “pembelajaran” yang dibedakan dari “pengajaran”. Paradigma, prinsip-prinsip, definisi, tujuan dan langkah-langkah pembelajarannya pun dapat diungkap dari konsep ini. Setidaknya ada tiga orientasi prinsip yang terkandung dalam konsep ta’lim. Pertama, prinsip-prinsip tentang cara pandang terhadap semua entitas, baik entitas konkret atau abstrak, nyata atau gaib, yang mencakup prinsip syumûliyyah (komprehensif), takâmuliyyah (integratif), dan tawâzuniyyah (keseimbangan). Prinsip-prinsip tersebut memandang semua entitas sebagai satu kesatuan sistem yang menempatkan Allah Al-Ghaniyy sebagai satu-satunya sentral (asal, rujukan dan tujuan). Cara pandang ini tidak mengakui adanya parsialitas yang lepas atau dikotomis.
Kedua, prinsip-prinsip tentang pengembangan strategi pembelajaran, yaitu wasaliyyah (kemediaan), wâqi’iyyah (kontektual), dan istimrâriyyah (kontinu). Wasaliyyah menghendaki agar materi atau sumber belajar benar-benar diberdayakan supaya aktivitas belajar terjadi secara mandiri. Adapun wâqi’iyyah menghendaki agar pembelajaran tersebut menemukan hubungannya dengan konteks kehidupan nyata.

Ketiga, prinsip-prinsip tentang pengembangan komunikasi edukatif yang mencakup rahmâniyyah (kasih sayang), rabbâniyyah (teosentris), dan uswiyyah (keteladanan). Rahmâniyyah menghendaki agar kasih sayang melandasi dan membasahi seluruh komunikasi edukatif. Penggunaan istilah tersebut menunjukkan arti kasih sayang yang teraktualisasikan. Dengan demikian, kasih sayang pendidik pun dapat terbaca dan terapresiasi oleh terdidik dari komunikasi edukatifnya. Rabbâniyyah menghendaki agar komunikasi edukatif mengacu dan mengarah kepada nilai-nilai Ilahiyah. Nilai-nilai Ilahiyah tersebut inheren dalam diri manusia dan merupakan nilai tertinggi di hadapan nilai-nilai kebaikan lainnya. Uswiyyah berarti bahwa pendidik tidak hanya mewakili dirinya sendiri. Ia lebih mewakili nilai-nilai. Prinsip ini menghendaki agar nilai-nilai tersebut terbaca oleh terdidik dari seluruh penampilan pendidiknya.

Secara dramatis, prinsip-prinsip tersebut didemontrasikan oleh Allah Swt dalam QS Ar-Rahmân. Akan tetapi, proses pemahamannya memerlukan pendekatan dan pisau analisis yang memadai, yaitu pendekatan dan kajian bayani atau balaghi.

Prinsip-prinsip tersebut akan terasa asing dan terlalu mewah untuk diberikan dan diaktualisasikan dalam dunia pendidikan yang cenderung bersifat mekanistik, saintistik, dan materialistik. Boleh jadi, itulah yang menyebabkan dunia pendidikan sekarang ini menjadi minus karakter. Padahal, dunia pendidikan dewasa ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Pada pendidikan dasar (SD) sudah jarang guru yang bukan S1, begitu pula pada komponen pendidikan lainnya telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dalam euforia kemajuan tersebut, dunia pendidikan dikejutkan dengan hilangnya sesuatu yang sangat substansial, yaitu moralitas dan karakter. Wallâhu ‘Alam.

Oleh, Dr. H. Aam Abdussalam, M.Pd.