Hukum Islam Dan Pembagiannya (Bag. 2)

Tujuan Hukum Islam

Tujuan Syar’I dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri, hajiyyi, atau pun yang tahsini (Khalaf,1968: 197).

Yang dimaksud dharuri adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka akan dihadapkan  pada mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuan-ketentuan dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.

Sedang yang dimaksud dengan Hajiyyi adalah ketentuan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharuri. Sementara ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut mukallaf untuk menjalankan ketentuan dharuri dengan cara yang paling baik. Oleh sebab itu, ketentuan tahsini ini berkaitan erat dengan pembiasaan akhlak yang terpuji, dan menjalankan berbagai ketentuan dharuri dengan cara yang paling sempurna.
Pembagian Hukum

Ada tiga bentuk ketentuan syar’i terhadap para mukallaf, yaitu : tuntutan, pilihan dan wadh’i. Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum Wadh’i.

  1. Hukum Taklifi

Yang dimaksud hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Hukum taklifi terbagi empat, yaitu: wajib, mandub, haram dan makruh. Hukum wajib dapat dilihat dari empat segi, yaitu:

(1)   Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya;

(2)   Wajib dilihat dari segi subyek pelakunya;

(3)   Wajib dilihat dari segi batas dan ukuran tuntutannya;

(4)   Wajib dilihat dari segi perbuatan yang dituntutnya.

Mandub terbagi tiga, yaitu : sunah muakkad, zaidah, dan fadhilah. Sunah Muakkad adalah ketentuan syara yang tidak mengikat tapi sangat penting, karena Rasulullah SAW senantiasa melakukannya, dan hamper tidak pernah meninggalkannya. Seperti: adzan sebelum shalat, shalat berjama’ah untuk shalat-shalat fardhu, dan dua sembahyang ‘ied. Sunah Zaidah adalah ketentuan syara yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunah muakkad, karena Rasulullah SAW biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya. Seperti: berpuasa di hari senin-kamis. Sedang sunah fadhillah adalah mengikuti tradisi Rasulullah dari segi kebiasaan-kebiasaan kulturalnya. Seperti: cara beliau makan, minum, tidur dan sebagainya.

Haram itu ada dua, yaitu haram dzati dan haram ‘aridhi. Haram dzati adalah perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan oleh syar’I semenjak perbuatan itu lahir. Seperti: pencurian, pernikahan antara mahram, shalat tanpa bersuci, jual beli bangkai dan sebagainya. Sedang yang dimaksud dengan haram ‘aridhi adalah perbuatan-perbuatan yang pada awalnya tidak haram, tapi pada saat perbuatan itu dilaksanakan disertai berbagai hal yang membuat perbuatan itu menjadi haram. Seperti: shalat dengan memakai pakaian hasil pencurian, jual beli dengan cara menipu dan sebagainya.

Ketentuan makruh biasanya dinyatakan dengan shigat larangan, namun disertai dengan qarinah yang menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat. Seperti pada QS.5:101,” Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tas aluu ‘an asy yaa-a in tubda lakum tasu’kum”, artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian banyak bertanya tentang berbagai hal, karena kalau dibeberkan semuanya justru akan membuat kalian sukar”.

Penggalan ayat ”laa tas aluu ‘an asy yaa-a” merupakan shigat larangan yang menimbulkan pengertian hukum haram, yakni haram bertanya tentang berbagai hal. Namun kata-kata “in tubda lakum tasu’kum” merupakan qarinah yang menurunkan konotasi hukumnya menjadi makruh.

2.  Hukum Takhyiri

Dalam pembahasan ilmu ushul hukum, takhyiri biasa disebut dengan mubah. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan syar’I dalam tiga bentuk, yaitu: dengan menafikan dosa pada perbuatan yang dimaksud, seperti: QS.2: 173, yang artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa. Memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.

Kemudian dengan ungkapan penghalalan, seperti pada QS.5: 5. Dan terakhir dengan tidak ada pernyataan apa-apa tentang perbuatan dimaksud. Seperti: mendengarkan radio, menonton televisi, dan yang sebangsanya yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap mereka.
3.  Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i adalah ketentuan-ketentuan yang dituntut syar’I untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan-ketentuan wadh’I tersebut. Hukum wadh’I ada tiga, yaitu: sabab, syarath dan mani’.

Sebab adalah sesuatu yang Nampak dan jelas yang dijadikan oleh syar’I sebagai penentu adanya hukum. Seperti: masuknya waktu shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat.

Secara umum, sebab terbagi dua, yaitu: sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian keadaan dhorurot yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang. Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti : melakukan perjalanan jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab bolehnya melakukan hubungan seksual.

Yang dimaksud dengan syarath adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Syarath ada dua macam, yaitu: syarath yang menyempurnakan sebab, seperti haul yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus juga menjadi penyempurna terhadap nishab, yang merupakan sebab wajibnya zakat. Kedua, syarath yang menyempurnakan musabab, seperti : wudhu, menutup aurat dan menghadap qiblat dalam shalat.

Mani’ merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain. Seperti: nishab itu merupakan sebab wajibnya bayar zakat. Akan tetapi , kalau pemilik barang itu mempunyai hutang senilai nishab, atau mengurangi jumlah nishab, maka dia tidak wajib bayar zakat. Dengan demikian, hutang itu merupakan mani’, sekaligus menjadi sebab yang merintangi pelaksanaan pembayaran zakat.

Mani’ terbagi menjadi dua, yaitu mani’ yang mempengaruhi sebab, seperti contoh di atas, dan mani’ yang mempengaruhi musabab. Contoh: seorang ayah membunuh anaknya. Secara hukum, setiap pembunuhan harus diselesaikan dengan qishas. Akan tetapi, karena pembunuhnya itu bapaknya sendiri, hukuman qishas menjadi gugur. Dengan demikian, posisi kebapakan menjadi mani’ terhadap pelaksanaan qishas.

Oleh: Dr. Edi Suresman, M.Ag

Leave a Reply

Your email address will not be published.