Konsep Tauhid “TAUHIDULLAH”

Konsep atau prinsip yang paling mendasar, sekaligus paling luas atau komprehensif untuk menata dan mengembangkan kehidupan secara keseluruhan, tiada lain adalah konsep tauhid “tauhidullah”. Banyak tafsir, antara lain tafsir Fi Zhilalil Quran, memastikan bahwa konsep inti yang ada pada seluruh ungkapan Al Quran adalah tauhid. Seluruh dimensi dan masalah kehidupan yang diangkat dalam Al Quran berangkat dan bermuara pada konsep tauhidullah. Tauhidullah disini diartikan atau berpandangan, bahwa alam dan kehidupan seluruh gerak dan diamnya merupakan satu kesatuan sistem yang menyebabkan Allah sebagai satu-satunya. Semuanya gerak dan diamnya memiliki makna dan tujuan yang jelas, memiliki fungsi yang proporsional yang pasti menjamin harmonis alam dan sekitarnya. Semuanya hanya ada di satu tangan kehendak yaitu satu-satunya yang esa, tempat bergantung semuanya, tidak tergantung kepada apapun.

Al Quran secara berani mengkorelasikan do’a manusia, dzikir dan istigfarnya dengan perilaku alam. Manusia beristigfar, alam merespon. Kebenaran yang dipastikan oleh manusia hanya kebenaran yang berujung pada fakta empirik, agak sulit diterima dan dibenarkan, tapi tatkala kita memastikan keadilan Allah yang Maha satu satunya, menjadi satu keniscayaan. Tauhidullah merupakan segala-galanya. Haji, qurban, hijrah, semuanya bersendikan dan berintikan tauhidullah. Haji dengan segala perosesnya membina dan menanamkan secara pasti tauhidullah, sesungguhnya kebanggaan, kemuliaan, nikmat, jabatan, hanya milik Allah. Qurban merupakan implementasi nyata dari tauhidullah dengan prinsip penyerahan total kepada bimbingan Allah. Sejak awalpun sulit dimengerti, Nabi Ibrahim yang mendambakan kehadiran anaknya, begitu lahir dan masih bayi, ditinggalkan begitu saja dengan ibunya di tanah tandus tanpa tetangga, sepertinya Ibrahim kurang perhitungan, tapi karena perintah Allah masing-masing rela melakukan, lebih dari itu ketika Ismail sudah menginjak remaja malah disembelihnya. Prinsip kemanusiaan mana yang bisa melakukan itu, tapi karena perintah Allah, Ibrahim dan keluarganya rela. Adakah sisi-sisi kemanusiaan Ismail yang terampas? Atau sisi kemanusiaan perasaan ibu dan ayahnya terampas sehingga betul-betul jatuh? Ternyata tidak, semuanya hanya proses kaderisasi Ismail sebagai calon Nabi.

Hijrah luar biasa. Hijrah adalah pembelaan habis-habisan terhadap tauhidullah. Rasulullah saw dengan para sahabatnya terpaksa harus meninggalkan sebagian keluarganya di Makkah. Tidak ada yang dibawa pindah ke Madinah, harta ditinggalkan, apa yang mereka bela habis-habisan seperti itu? Syu’aib seumpamanya yang di Makkah terbilang orang mampu, dia pergi hijrah dicegat oleh orang-orang quraisy, akhirnya Syu’aib meminta “biarkan saya pergi, kalau mau silakan kalian ambil harta saya di Makkah, dan datang ke Madinah, Syu’aib tanpa rumah, tanpa apa-apa dan tinggal di Masjid. Apa yang mereka bela? Tidak ada yang dibela kecuali akidah, tauhidullah. Tatkala di Makkah sudah tidak mendapatkan posisi yang tidak kondusip, maka pembelaan habis-habisan supaya Madinah menjadi tempat yang kondusip untuk pengembangan tauhidullah ini.

Rasulullah saw jelas sekali habis-habisan menyerahkan diri untuk membela tauhid itu. Ketika itu dilempari oleh orang-orang Syakieb, seperti kepada orang gila. Setelah itu Rasulullah berdoa “Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepadaMu akan lemahnya kekuatanku, minimnya dayaku dan remehnya aku di mata orang lain. Wahai Dzat Yang Maha Penyayang diantara para penyayang, Tuhan orang-orang tertindas, Engkau adalah Tuhanku, kepada siapakah Engkau akan menyerahkan diriku? Apakah kepada kerabat yang memusuhi diriku atau kepada musuh engkau kuasakan kepadanya urusanku? Akan tetapi, aku tidak peduli dengan semuanya selama Engkau tidak murka terhadapku, sedang pemaafanMu kepadaku lebih luas (dari pada MurkaMu). Aku berlindung kepada cahaya Dzat-Mu yang menerangi gegelapan dan urusan dunia dan akhiratku menjadi baik karenanya, agar jangan Engkau turunkan murkaMu kepadaku atau Engkau timpakan kemarahanMu kepadaku. Hanya kepada Engkaulah aku memohon belas kasihan hingga Engkau ridha. Tiada daya (untuk menghindar dari kemaksiatan) dan tidak ada kekuatan (untuk melakukan ketaatan), kecuali dengan pertolonganMu”. Ini pernyataan, pengorbanan yang luar biasa. Maka konsep apapun, kebijakan apapun yang berujung hanya kepada pertimbangan-pertimbangan aksesoris materi dan atribut duniawi semata, tanpa terkait kepada prinsip yang mendasar ini, maka Al Quran mengatakannya “tak ubahnya bagai fatamorgana di tanah lapang, yang dikira air oleh orang yang dahaga, sehingga tatkala dia mendatanginya ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa, justeru dia mendapatkan (ketetapan) Allah disana, kemudian Dia menyempurnakan penghisaban-Nya”.

Maka pembelaan implementasi pengembangan Al Quran harus dilandasi seluruh kepentingan di atas segala kepentingan. Dan tatkala menempatkan tauhidullah, tidak akan ada yang terlukai dan terdzolimi. Terlukai karena dzolim, justru hanya tatkala betul-betul mengindahkan larangan Allah, tetap semuanya terjamin dan tidak boleh ada yang terdzolimi.

 

Oleh, Dr. H. Aam Abdusalam, M.Pd.