Pengembangan Kecerdasan Ruhaniah

Pengembangan Kecerdasan Ruhaniah Sebagai Tujuan Pendidikan *)

Dalam pasal 4 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Permasalahannya adalah potensi apa yang paling mendasar untuk dikembangkan sehingga peserta didik itu bertaqwa dan memiliki akhlak yang mulia?

Allah swt. Berfirman :

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuhnya) roh (ciptaan) Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan Hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”(QS. As Sajdah:9)

Ayat ini memberikan isyarat bahwa manusia terlahir dengan dibekali potensi (kecerdasan) ruhaniah. Apa itu kecerdasan ruhaniah? Kecerdasan ruhaniah ialah kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, dan beradaptasi.

Kecerdasan ruhaniah sangat ditentukan oleh upaya untuk membersihkan dan memberikan pencerahan qolbu (tazkiyah, tarbiyatul quluub) sehingga mampu memberikan nasihat dan arah tindakan sertacaranya kita mengambil keputusan.qolbu harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatan kebenaran dan kecintaan kepada Ilahi.

Rasullullah saw. Bersabda:

“Mintalah nasihat pada dirimu, mintalah nasihat pada hati nuranimu (Istafti nafsaka, istafti qolbuka) wahai Habishah (nabi mengulanginya tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan membuat hati tenang. Dosa adalah sesuatu yang membuat jiwa tidak tentram dan terasa bimbang didalam hati.” (HR.Ahmad)

Salah satu Fungsi qolbu adalah merasakan dan mengalami, artinya dia mampu menangkap fungsi indrawi yang dirangkum dan dipantulkan kembali kedunia luar, dan proses ini kita sebut sebagai menghayati. Dalam proses mengalami dan menghayati itu, dia sadar akan dirinya dalam konteksnya dengan dunia luar. Sedangkan, di dalam proses menghayati, dia sadar akan seluruh tanggung jawab perbuatannya.Pengalaman bersifat kuantitafif (badani, nafsiah), sedangkan penghayatan bersifat kualitatif (ruhiyah)

Pada tubuh kita terdapat tiga rasa yang melekat, pertama, rasa indrawi (badaniah), misalnya pahit, manis dan asin. Kedua rasa Vital (nafsiyah) misalnya segar dan bugar. Ketiga rasa qolbiyah (ruhaniah) misalnya: cinta, benci, bahagia, dan derita (sa’adah & saqawwah); termasuk rasa qolbiyah ini adalah rasa yang paling luhur, yaitu rasa ruhiyah yang mencakup kearifan dan kebenaran Ilahi atau yang sering kita kenal dengan istilah ma’rifah.

Rasa ruhiyah merupakan rasa yang paling Fitrah, sebuah potensi yang secara hakiki ditiupkan kedalam tubuh manusia ruh kebenaran, yang selalu mengajk kepada kebenaran. Pada ruh tersebut terdapat potensi bertuhan.nilai kehidupan yang hakiki, tidak lain berada dalam nilai yang sangat luhur tersebut, apakah setiap orang tetap setia pada hati nuraninya untuk mendengarkan kebenaran yang melangit (meng Ilahi) ataukan dia tersungkur menjadi orang yang hina karena seluruh potensinya telah terkubur dalam kegelapan.

Di dalam qolbu, selain memiliki fungsi indrawi, didalamnya ada ruhani, yaitu moral dan nilai-nilai etika, artinya dialah yang menentukan tentang rasa bersalah, baik buruk, serta mengambil keputusan berdasarkan tanggung jawab moral tersebut, itulah sebabnya, penilaian akhir dari sebuah perbuatan sangat ditentukan oleh fungsi qolbu. Kecerdasan ruhani tidak hanya mampu mengetahui nilai-nilai, tata susila, dan adat istiadat saja, melainkan kesetiaannya pada suara hati yang paling sejati dari lubuk hatinya sendiri (conscience)

Bila kecerdasan ruhaniyah itu ukuran hanya mampu mengetahui etika tata susila, seorang koruptor pun sanggup menunjukan sikap yang sopan dan manis tutur katanya, memikat dan simpatik. Apa yang ditampakan koruptor tersebut, baru pada tahapan cerdas secara intelektual dan sosial. Koruptor tersebut mungkin saja seorang sarjana yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan bisa jadi mempunyai hubungan atau relasi sosial yang banyak (kecerdasan sosial yang tinggi),bahkan dia mampu mengendalikan diri untuk berpura-pura sehingga dalam kondisi tertentu tampak sabar, bersikap manis, dan mengendalikan diri (kecerdasan emosionalnya tinggi), diapun termasuk seorang yang piawai bermain golf, tubuhnya atletis, dan segar bugar (kecerdasan physicalnya tinggi),tetapi pada koruptor tersebut tidak ada kekuatan spiritual, lemah dan bodoh qolbunya. Tindakannya terlepas dari nilai hanifiyah yaitu kecendrungan kepada kebenaran.Mereka lupa pada firman Allah dalam surat Ruum ayat 30.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Kecerdasan ruhaniyah adalah kecerdasan paling sejati tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan ilahi. Kecerdasan ruhaniah ini membuahkan rasa cinta yang sangat mendalam kepada kebenaran (mahabbah lillah), sehingga seluruh tindakannya akan dibimbing oleh ilmu Ilahiah (Ilm alladunni) yang mengantarkannya pada ma’rifatullah. Adapun, kecerdasan lainnya lebih bersifat pada kemampuannya untuk mengolah segala hal yang berkaitan dengan bentuk lahiriah, Sebab itu, dapat kita katakan bahwa setiap niat yang terlepas dari nilai-nilai kebenaran Ilahiyah, merupakan kecerdasan duniawi dan fana (temporer), sedangkan kecerdasan ruhaniyah qolbiyah bersifat autentik, universal, dan abadi.

Dalam kehidupan, kita dapat menyaksikan betapa manusia bisa bersandiwara, manis madu dimulutnya, tetapi sepahit empedu rasa benci yang bergelayut di qolbunya. Menghormat bahkan menjilat seseorang yang dibutuhkannya, kemudian menghujat dan menghumpat bila seseorang itu tidak lagi dibutuhkan. Mereka memandang manusia hanya pada batas”kebutuhan” bukan dengan rasa cinta.hal lain dapat kita simak pada seorang laki-laki yang kepalanya terbentur pintu, masih bisa tersenyum memandang pacarnya, rasa nyeri kalah oleh cinta. Seorang penjahat bisa menampakkan wajah kelinci, lemah lembut, halus tutur katanya, tetapi di hatinya tersimpan tipu muslihat serigala yang siap menerkam mangsanya yang terpedaya.

Banyak orang tertipu kalau hanya mengandalkan apa yang tampak secara lahiriah. Hal ini dikarenakan, perilaku seseorang belum tentu menampakkan orisinalitas dari kemauan sebenarnya yang tersimpan secara misterius di balik dada manusia. Kita tidak boleh mengandalkan sepenuhnya pada potensi indrawi, tanpa mendengarkan bisikan suara hati (ruhiyah). Perilaku tanpa muatan moral adalah kering, tidak ada kedalaman dan dimensi kemanusiaan. Kita sering terjebak pada penilaian semu, keputusan tergesa-gesa hanya karena melihat “kulit luar” sering mengalami kekecewaan setelah terlibat jauh dengan orang yang kita nilai tersebut.

Manusia adalah makhluk yang sangat kreatif, penuh dengan daya imajinasi. Apabila potensi yang dimilikinya itu terlepas dari cahaya ilahi, maka masuklah dalam qolbunya itu kekuasaan setan sehingga seluruh kreatifitasnya, imajinasinya, dapat menyesatkan pandangan lahir manusia lainnya. Disinilah pentingnya peranan qolbu yang selalu diketuk dari dalam agar timbul kesadaran moral serta rasa tanggung jawabnya sebagai manusia dalam kebersamaan dengan manusia lainnya. Ketukan itu tidak lain adalah potensi ruhani yang selalu mengajak manusia kepada kebenaran Ilahiah yang bersifat universal, seperti ajakan bertuhan, kedamaian, cinta kasih, dan persahabatan.

Potensi bertuhan sebagai fitrah manusia yang bersemayam dalam ruh, tidak pernah hilang, dan suatu saat dia muncul untuk menyadarkan manusia. Disinilah pentingnya pendidikan yaitu berupaya untuk mengembangkan kecerdasan ruhaniah dengan cara membersihkan dan mencerahkan qolbu. Sebab qolbu yang bersih dan cerah selalu mendengarkan bisikan ruhaniah yang tajam dan sensitive terhadap rangsangan luar. Qolbu yang dikuasai cahaya ruhani yang selalu meng-Ilahi (dalam bahasa metaphor disebut melangit) mencari, merindu, dan mewujudkan nilai kebenaran  akan semakin sensitive dan memberikan atsar “bekas” yang sangat mendalam sehingga di dalam diri kita akan ada semacam etxtra sensory perception indra ke enam yang menyatakan ya atau tidak dalam mengambil keputusan. Itulah sebabnya Allah memanggil qolbu untuk mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan perilakunya,karena seluruh perbuatan manusia diputuskan oleh.qolbu.

Kesadaran akan kebenaran dan tanggung jawab, memang berasal dari ruh yang diserahkan pengelolaannya kepada qolbu. Tidak ada sebuah perbuatan tanpa keterlibatan qolbu. Al-Quran menempatkan rangkaian kesadaran, dzikir, jiwa, iman, dan taqwa, tidak pernah terlepas dari peran dan fungsi qolbu yang oleh Nabi Allah Rasullulah saw. Diperlambangkannya bagaikan segumpal daging atau mudghah, yang apabila mudghah itu baik, maka baiklah seluruh jasad dan perilaku manusia, sebaliknya apabila mudghah itu rusak penuh penyakit (maradh) maka rusaklah seluruh kepribadian manusia itu.

Qolbu merupakan padang pertempuran yang paling dahsyat, dimana kebenaran akan selalu bertempur dengan kebatilan, cahaya berhadapan dengan kegelapan,. Jiwa yang melangit merindu cinta kasih Ilahi, dihadang hawa nafsu yang membumi penuh dengan sikap ambisius dalam alam hedonis (kenikmatan duniawi yang sementara). Ketika taqwa membujuk Qolbu untuk berpihak kepada Allah, maka sang Hawa nafsu  memaksaknya untuk berpaling dari Allah. Konflik batiniah merupakan salah satu fitrah manusia, dan dengan iman dan taqwanya itulah, mereka harus memenangkan pertempuran dahsyat yang tak kenal henti.

Kecerdasan ruhaniah akan terus cemerlang selama kita mau mengasahnya/melatihnya dengan kewaspadaan yang penuh. Bagaikan seorang prajurit tempur yang piawai, dia selalu waspada takut akan adanya penyusupan musuh yang akan memporak-porandakan pertahanannya. Qolbu harus berani bertanggung jawab untuk menampilkan wajahnya yang suci dan selalu berupaya untuk berpihak kepada Allah, menghidupkan getaran jiwa melalui kesadaran yang hakiki. Kesadaran inilah yang dituntut dari proses dzikir, karena dzikir yang menghasilkan getaran jiwa, getaran kesadaran.”Aku dihadapan Tuhanku,” dapat menjadikan seseorang mencapai puncak keimanan. Aamiin

*) Oleh :  Prof. Dr. H. Achmad Juntika Nurihsan, M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published.