Pemimpin “Jujur” Belum Cukup bagi Indonesia 2014

“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” ( HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107)

Jika diizinkan untuk berteori; Indonesia sebenarnya selalu membutuhkan pemimpin dengan kriteria yang berbeda di setiap generasi. Dari tiga jaman yang telah dilalui, hanya ada satu fase yang mungkin terpenuhi. Periode itu telah diisi oleh orang-orang yang memenuhi kriteria kebutuhan jamannya. Artinya ia hadir dan menampilkan peranannya sesuai dengan kebutuhan. Jaman itu adalah periode kemerdekaan RI, ketika Indonesia ingin menunjukkan dirinya sebagai bangsa yang terhormat, para pemimpin di jaman itu menampilkan kecerdikan dan dan kecerdasan dalam berdiplomasi. Maka tercatatlah dalam sejarah nama-nama yang tersohor seperti Soekarno, Moh. Hatta, Moh Room, Agus Salim, Natsir, dan lain-lain.

Memasuki periode Orde Baru, kita membutuhkan pemimpin cerdas dan adil. Namun tidak muncul di periode ini. Untuk mengukur tingkat kecerdasannya, nampaknya belum ada fakta sejarah yang menggembirakan kecuali banyak rumor bahwa selama Orde Baru kita kehilangan hutan 1.080.000 ha per tahun (lihat:www.irwantoshut.net) dan kontrak karya pertambangan yang bekerjasama dengan perusahaan asing, banyak yang tidak menguntungkan Indonesia. Selama 30 tahun berkuasa, perusahaan freeport di Papua hanya menyisakan 1% keuntungnya bagi pemerintah Indonesia. Apakah kebijakan itu sebagai suatu yang cerdas?. Selain itu, keadilan pun sulit diperoleh karena kesenjangan sangat terbuka lebar antar wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Angka kemiskinan masih tinggi dan banyak kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak terselesaikan.

Periode reformasi, bangsa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang adil dan jujur. Fakta membuktikan, selain sulit mencari keadilan juga tumbuh subur kecurangan. Saat ini kejujuran sangat sulit ditemukan, semuanya serba relatif tergantung dari sudut pandangnya masing-masing. Setiap pemimpin yang terjerat kasus korupsi akan dianggap “jujur” ketika pengadilan meloloskannya. Sistem keuangan juga seolah-olah “membenarkan” aturan bahwa anggaran kegiatan akan dapat dicairkan manakala sudah ada bukti laporan fiktifnya. Logika mana yang dapat menerima, laporan dibuat duluan lalu anggaran dapat dicairkan?. Setelah cair, apalagi yang akan dilakukan kecuali sebagian dari itu akan dikorupsi. Intinya, para pemimpin jaman sekarang tidak lagi mampu membedakan antara barang haram, halal, dan subhat (ragu-ragu).

Pemimpin yang hanya mau mengambil harta halal dan menolak harta haram (seperti sogokan), kita sebut sebagai pemimpin yang jujur. Masalahnya, apakah setiap persoalan yang dihadapi terlihat akan hukum halal dan haramnya?. Di jaman akhir, sangat sulit membedakan. Seolah-olah semua barang terkumpul dalam status yang abu-abu atau subhat. Halal terlihat haram dan yang haram terlihat halal. Orang yang sudah bersikap jujur belum tentu selamat sehingga banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri walaupun harus berbuat tidak jujur. Orang jujur akan ditolak oleh sistem yang menghendaki perilaku rekayasa dan kecurangan.

Apakah masih ada harapan?. Ada, yaitu ketika kita dapat menemukan sosok kepemimpinan yang dapat memilah barang halal dan haram di antara tumpukan barang-barang subhat melalui Power of Wara’. Menurut istilah, Wara’ adalah rasa takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh namun tidak diambilnya karena bersikap hati-hati. Menurut Syeikh Muhammad Sholeh Al-Munjid dalam bukunya Silsilatu A’malil Qulub halaman 315, Wara’ adalah meninggalkan apa yang membuatmu ragu, dan menghilangkan segala sesuatu yang mendatangkan ‘aib bagimu, serta mengambil (sesuatu) yang lebih dipercaya (diyakini), dan membawa diri pada yang paling hati-hati (online:http://keluargaumarfauzi.blogspot.com/2013/01/sifat-wara.html).

Apakah di jaman saiki ada pemimpin yang mampu bersikap Wara’?
Saya pikir, di sejumlah daerah di tanah air ini sudah ada yang mencoba keampuhan Wara’. Dari sikap dan kebijakannya terlihat “ringan” untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dahulu mungkin dianggap rumit. Mereka berusaha untuk membuktikan segala janji kampanye dengan bekerja keras. Mereka mengambil kebijakan dengan selalu hati-hati yaitu selalu melakukan uji coba, melakukan survey, dan persuasif. Di kening mereka terlihat ada rasa takut dan khawatir jika kebijakan yang diambilnya mengakibatkan bencana bagi rakyat. Terhadap pemimpin macam ini, orang tidak berani untuk coba-coba “menyogok”. Tanpa publikasi, mereka terus menelusuri jalan, sungai, dan pelosok untuk mendengar aspirasi rakyatnya. Itulah gambaran umum tentang pemimpin yang bersikap wara’.

Untuk menjadi pemimpin wara’ sangat sulit karena harus memiliki niat yang kuat karena Allah. Di dalam hatinya tidak bernafsu untuk menjadi pemimpin nomor satu, karena sudah tertanam keyakinan bahwa kekuasaannya milik Allah: “…. Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS: Al Imran ayat 26). Andalan mereka dalam perjuangan adalah doa, sabar, dan tawakal.

Di dalam dada pemimpin wara’ memiliki semangat kerja yang konsisten. Jika ditanya mengapa harus bekerja keras?, mereka akan menjawab bahwa kerja kerasnya adalah dalam rangka “menghalalkan” gaji yang telah diterimanya. Jika tidak berbuat baik, ia merasa “haram” untuk memakan gajinya sendiri. Setiap hari ia waspada dan sangat sensitif terhadap barang-barang yang dimakan. Jika terdeteksi ada barang subhat (apalagi haram), maka segera akan membuangnya.

Mungkin kita pernah mendengar kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan lampu istananya. Suatu malam, sang Khalifah sibuk merampungkan tugas-tugas di ruang kerjanya. Ia bekerja diterangi oleh lampu yang diminyaki oleh negara. Suatu saat, putranya masuk ke ruangan kerja dan hendak membicarakan sesuatu tentang urusan keluarga. Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya sehingga suasana menjadi gelap.
”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.
”Putraku, lampu yang sedang ayah gunakan adalah milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dari uang negara. Sementara perkara yang kita bicarakan adalah urusan keluarga,” jelas Umar. Umar kemudian meminta pembantunya untuk mengambil lampu yang minyaknya berasal dari uangnya sendiri.

Secara taktis sebenarnya sangat mudah untuk berbuat seperti khalifah Umar, karena kekuasaan berada di tangannya. Pemimpin dapat berbuat apa saja sesuai koridor hukum yang berlaku. Berbuat dengan sikap yang wara’ atau sebaliknya adalah sebuah pilihan. Namun Allah menyuruh kepada para pemimpin untuk bersikap wara’ dan rakyat juga diperintahkan untuk memilih pemimpin yang terbaik dan tersholeh di antara rakyatnya.
Akhirnya, marilah kita songsong 2014 dengan cara memilih calon pemimpin yang terbaik berdasarkan kriteria sifat terpuji: cerdik, cerdas, adil, jujur, dan wara’. Semoga Alloh memberi kita pemimpin yang terbaik. Wallauhu’alam.

Oleh, Dr. Ahmad Yani, M.Si.