Lima Shilla Membangun Bangsa

Paket tradisi umat Islam di tanah air pasca Ramadhan adalah mengadakan shillaturrahim massal di suatu tempat perkantoran atau sejenisnya. Kegiatan itu lebih populer dinamai halal bil halal. Entah dari mana asal muasalnya shillaturrahim berubah atau disinonimkan halal bil halal yang orang Arab sendiri tidak akan mengerti.

Kegiatan silaturahmi yang diselenggarakan secara massal oleh kelembagaan oleh pihak manapun, seolah sudah menjadi salah satu paket “wajib” amaliah ibadah Ramadhan yang dilakukan oleh umat setiap tahun. Ini bisa saja dipahami karena dengan argumen bahwa masyarakat muslim kita ada yang mudik ke kampung kelahirannya untuk beridul fitri, maka ada kesulitan pragmatis saling meluangkan waktu secara individual untuk bersalaman. Tetapi apapun alasannya kegiatan halal bil halal itu merupakan salah satu model dari syiar ajaran Islam.

Sekalipun kegiatan silaturahim ini dalam teks-teks keagamaan kita tidak menemukan penegasan yang pasti untuk diadakan secara massal, namun itu bisa dianggap sebagai bagian dari ijtihad umat Islam Indonesia semata. Bahkan hasil ijtihad yang lebih spesifik lagi ketika kita menjumpai dan mempergunakan kata halal bil halal pada acara silaturahim itu. Lagi-lagi ini ijtihad semata, yang muatan maknanya tentu saja positif.

Setidaknya, nilai positif dalam acara itu terlihat karena pada saat seorang bawahan bisa bertemu langsung dengan atasannya, seorang prajurit bisa berjabat tangan langsung dengan jenderal, seorang pembantu rumah tangga bisa bersenda gurau dengan majikannya, dan sebagainya. Kesemuanya menunjukkan betapa silaturahim dalam ajaran Islam memperlihatkan sifat egalitarian dan bisa menghilangkan status sosial antar-sesama serta mengembalikan posisi manusia pada derajat yang sama, sebagai ‘abd atau hambamya Allah.

Jika kita melakukan penelusuran ke belakang mengenai bagaimana riwayat dari mana, sejak kapan dan siapa yang pertama kali memunculkan istilah halal bil halal dari tanah air, maka kita akan memperoleh jawaban yang pasti “tidak tahu”. Sama halnya dengan istilah-istilah masyarakat lainnya, umumnya kita tidak memiliki perhatian secara serius bagaimana sejarah awal dan proses perkembangannya, tetapi tiba-tiba tersosialisasikan dengan begitu saja.

Terlepas dari soal istilah yang dipakai, sesungguhnya makna utama dari kegiatan silaturahim adalah bagaimana menghubungkan kasih sayang Allah SWT yang ditanamkan dalam diri seorang hamba Allah dengan hamba Allah yang lainnya. Makna kasih sayang itu akan semakin terasa nikmatnya bila dikemas dalam momen Ramadhan sebagai rangkaian idul fitri dan silaturahim itu.

Begitu larutnya dalam kenikmatan ruhiyah itu sampai-sampai ada dua insan yang berpelukan erat bahkan sampai menitikkan air mata sambil mengucapkan Taqabballahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum minal aidinalfaidzin kullu ‘ amin wa antum bi khayr, selanjutnya diiringi ungkapan bersahutan “Maafkan kesalah saya. Saya maafkan kesalahan Anda. Dan, Saya pun mohon demikian”. Ungkapan yang bernilai luhur dan jarang kita jumpai dalam kehidupan biasa.

Biarkanlah ungkapan dan suasana itu larut dalam keharuan, tanpa harus malu-malu siapa tahu dilihat orang lain. Kehangatan jabat tangan atau pelukan seseorang itu, insya Allah akan memancarkan keikhlasan antar-hambanya Allah SWT untuk saling memaafkan dan menyadari kesalahannya.

Perlu diingatkan bahwa secara biologis, simbol-simbol kasih sayang Allah swt itu terukir secara monumental di telapak tangan kita masing-masing orang. Buka lalu lihat saja telapak tangan kanan dan kiri Anda! Di situ Anda akan melihat garis tangan di tengah telapak tangan kanan yang menunjukkan angka 18 (Arab), dan sebaliknya pada telapak tangan kiri, menunjukkan angka 81 (Arab) yang jika keduanya dijumlah akan menjadi 99. Penjumlahan angka ini tertuju pada sifat-sifat Allah yang lazim kita kenal dengan asmaul husna. Asmaul husna adalah nama-nama yang menunjukkan sifat-sifat Allah yang harus diwujudnyatakan oleh setiap manusia selama hidupnya. Hakikatnya ketika sudah berjabat tangan tidak boleh lagi ada permusuhan melainkan persahabatan dan kedamaian.

Di dalam praktik begaimana cara kita menghubungkan kasih sayang Allah itu, terdapat berbagai cara yang dilakukan, misalnya: ada yang sungkem di hadapan orang tuanya, ada yang mudik ke kampung halamannya, ada yang menyatakannya melalui dekapan kedua belah telapak tangan di mana kedua ujung jarinya dipersentuhkan dengan jari-jari tangan saudaranya yang lain, ada juga yang hanya berjabat-tangan antartangan kanannya, ada yang mengirimkan kartu, ada yang menelephone, ada pula yang mengirim faximile, ada yang meweselkan THR-nya saja ke kampung.

Jika kita menghayati makna kesemua perilaku kegamaan itu dengan mendalam itu sesungguhnya boleh jadi bermaaf-maafan dalam suasana idul fitri dan silaturahim itu bisa dijadikan sebagai media dan momen untuk meredam keresahan-keresahan sosial yang marak belakangan ini terjadi karena berbagai sebab.

Betapa tidak! Salah satu sifat yang terbaik diajarkan oleh Islam kepada umat manusia adalah bagaimana agar di antara umat manusia mau saling memaafkan kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh orang lain.

Mumpung masih dalam suasana idul fitri, silaturahim, dan atau halal bil halal, marilah kita mernulai “hidup baru” ini untuk menciptakan diri masing-masing sebagai individu yang setiap saat dapat menebarkan sifat Allah itu melalui sayang-menyayangi, sebagai pilar komunitas bangsa dan negara yang penuh rasa maaf-memaafkan terhadap sesamanya setiap saat, untuk selanjutnya kita berusaha meninggalkan dan menanggalkan gengsi-gengsi individu dan sosial yang justeru sering menodai kehidupan kollektif kita sebagai manusia, apalah lagi sebagai satu bangsa dan negara.

Persoalannya tentu terpulang pada soal maukah kita sejak sekarang membulatkan tekad untuk menjadi manusia pemaaf, pengasih dan penyayang selanjutnya kita mensosialisasikan sifat-sifat itu sebagai realisasi dari kemampuan kita “menangkap” makna idul fitri, silaturahim dan halal bil halal itu ke dalam amal-amalan sosial melalui individu, lingkungan menuju sebuah perwujudan bangsa dan negara Indonesia yang penuh dengan kasih sayang Allah, limpahan rahmat dan dilindungi-Nya kita dari segala macam cobaan yang tidak kita imani bersama.

Maka tidak perlu ada lagi istilah malu untuk memulai sesuatu yang terbaik. Tidak ada lagi kamus untuk menyatakan “Ah, sudah terlambat”. Tidak ada alasan untuk mengatakan “gengsi ah”!

Sebagai sesama anak bangsa dari negeri Indonesia tercinta ini marilah kita bangkit dan bangun bersama wujud peradaban bangsa dan kemanusiaan yang lebih humanistik di atas lima prinsip shilla atau hubungan-hubungan secara lebih komprehensif, yaitu melalui (1) shillat al-rahim, (2) shillat al-qalbi, (3) shillat al-fikr, (4) shillat al-‘ amal, (5) shillat al-ummat.

Oleh,  Prof. Dr. H. Abdul Majid, M.A.