Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS: Al Ma’aarij: 19)
Mungkin kita pernah mendengar hadits yang berbunyi: “Al-insanu machalul khoto’ wan nisyaan” (manusia adalah tempatnya kesalahan dan kelalaian). Dengan informasi ini, kita sering mengatakan:“Aduh… mohon maaf ya. Saya lupa!. Harap dimaklum saja, ‘kan manusia itu tempatnya kesalahan dan kelalaian…!”. Setelah mengatakan itu, hatinya tiba-tiba plong karena merasa “dibenarkan” oleh hadits tersebut. Begitu pula dengan informasi ayat di atas, umumnya orang dimaknai sebagai “permakluman” terhadap keresahan dan kegalauan hatinya. Kita anggap bahwa setiap “tema” keresahan (takut miskin, takut kehilangan jabatan, takut pamornya redup, dan lain-lain) adalah sesuatu yang diperbolehkan? Benarkan demikian?
Saya punya cerita. Seorang ibu merasa gelisah ketika anak putrinya belum pulang sekolah. Sekali waktu ibu tersebut juga gelisah jangan-jangan suaminya selingkuh. Sebagai perempuan karier, ia pun gelisah takut dimutasi oleh atasannya. Ia gelisah karena wajahnya terlihat cepat menua. Ia gelisah karena belum kesampaian membeli perhiasan permata. Pada saat bersamaan, ia juga gelisah di setiap akhir sholat malamnya, takut dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lalu tidak terampuni oleh Allah SWT. Nah, dari sekian banyak kegelisahan di atas, manakah rasa “gelisah” yang menurut Anda proporsional, baik, dan dimaklumi?.
Kita dapat berbeda pendapat. Menurut saya, rasa gelisah yang proporsional, baik, dan dapat dimaklumi dari cerita di atas adalah gelisah ketika anak putrinya belum pulang sekolah atau gelisah karena takut dosa-dosa yang telah dilakukakan di masa lalu tidak terampuni oleh Allah SWT. Sedangkan kegelisahan yang dianggap naif (tidak proporsional) adalah rasa gelisah karena belum terbeli perhiasan yang diimpikannya. Mengapa dianggap naif?, karena kita memiliki asumsi bahwa hanya nilai-nilai luhur sajalah yang patut digelisahkan. Sebaliknya nilai-nilai yang memiliki nilai syahwat duniawi dianggap tidak patut “digelisahkan”. Jika kita sepakat dengan asumsi di atas, maka pada akhirnya, sadar atau tidak sadar, kita telah mengelompokkan rasa gelisah menjadi dua yaitu alasan gelisah yang membuat orang menjadi “terhormat” dan alasan gelisah yang membuat orang menjadi “tidak terhormat”.
Tulisan ini mencoba ingin mengajak kepada para pembaca untuk bijak ketika gelisah. Gelisah bagaikan api, ketika jumlahnya terkendali maka api sangat dibutuhkan karena sangat bermanfaat. Sebaliknya jika jumlahnya tidak terkendali maka sangat membahayakan. Begitu pula dengan rasa gelisah, jika terkendali maka dapat menjadi motivator untuk menjalani kehidupan. Hidup menjadi bersemangat. Dengan adanya rasa gelisah, manusia menjadi makhluk yang memiliki tanggung jawab. Tidak mungkin seorang kepala keluarga berjuang untuk memiliki rumah tempat tinggal, jika di dalam dirinya tidak ada rasa gelisah akan keselamatan keluarganya dan kehormatannya.
Kegelisahan yang tidak terkendali akan menjadi ancaman bagi pemiliknya. Kegelisahannya akan membakar hati dan jiwa. Hati yang terbakar oleh rasa gelisah dimotivasi oleh keserakahan. Barangkali kejahatan korupsi yang merebak saat ini bukan karena didasari oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi karena ada rasa takut miskin atau karena ingin menjadi orang paling kaya di lingkungan sekitarnya.
Karena kegelisahan itu dibutuhkan, maka manusia harus cerdas dalam mengendalikannya. Kegelisahan manakah yang disarankan untuk tetap hidup dalam diri setiap muslim? Rasa gelisah yang patut dipelihara adalah gelisah terhadap apa yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, kelak setelah kematian. Rasa gelisah ini harus tetap hidup dalam jiwa kita sehingga menjadi pengendali terhadap apa yang kita perbuat di dunia ini. Jika efektif, rasa gelisah ini akan menjadi pengendali sehingga kita dapat memperbaiki perilaku kita secara terus menerus sesuai dengan ketentuan hukum Allah dan rasul-Nya.
Kegelisahan yang tidak perlu dipelihara adalah kegelisahan karena alasan-alasan duniawi yang mengarah pada keserakahan dan menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Padahal kita tahu bahwa kegelisahan akan terus berkembang; setelah meraih suatu kekayaan maka akan resah kembali untuk meraih kekayaan yang lebih besar lagi. Ketika memiliki satu kendaraan, maka ingin memiliki puluhan kendaraan.
Namun demikian, kegelisahan bisa saja tiba-tiba hadir karena datangnya ujian dari Allah SWT. Allah memiliki skenario untuk menguji seorang hamba sebagaimana firman-Nya yang berbunyi: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi ?Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3). Pada saat itu, muncullah rasa gelisah.
Apa yang harus dilakukan?. Marilah setiap diri harus menghayati ayat-ayat Allah berikut ini untuk meredam rasa gelisah:
- Pada saat ada bisikan, mengapa banyak keinginan kita yang tidak terwujud?, maka segeralah mengingat Allah: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216)
- Jika ada bisikan hati, mengapa ujian ini berat sekali?, maka segera ingatlah bahwa: “Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
- Jika ada bisikan lagi untuk menyerah, maka dendangkanlah ayat berikut ini: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yg paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Al-Imran: 139).
- Mintalah selalu pertolongan Allah dan jangan putus asa karena ada ayat yang mengatakan:“….dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yg kafir.” (QS. Yusuf : 87)
Penjelasan di atas merupakan rumus umum ketika ujian menghampiri kita. Sampai tulisan ini diterbitkan, saya memiliki keyakinan bahwa semua “ujian” itu hadir atas kehendak-Nya. Namun turunnya ujian, menurut penulis ada yang “dihadirkan” oleh Allah, karena Dia ingin menguji seorang hamba, dan ada pula ujian yang disengaja “dihadirkan” oleh yang bersangkutan. Saya sebut sebagai orang itu sebagai makhluk yang suka “memproduksi masalah”. Ujian yang sengaja dihadirkan misalnya berhutang kepada orang lain tetapi melebihi kemampuannya untuk membayar utang tersebut. Orang tersebut pantas disebut sebagai orang yang memproduksi masalah.
Menurut saya, hidup itu sesungguhnya sudah sulit. Dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk gelisah, maka sebaiknya jangan membuat hidup ini semakin sulit dengan sering menghadirkan masalah-masalah yang tidak perlu. Contoh kecil orang yang suka menghadirkan masalah (dihadirkan tanpa manfaat dan bermakna) misalnya mengejek orang lewat statusnya di facebook. Bayangkanlah oleh Anda, jika orang yang Anda cela menuntut maka Anda akan berurusan di kantor polisi. Jika Anda menyadari sebagai makhluk gelisah atau galau, maka janganlah berbuat sesuatu dengan sengaja yang menghadirkan masalah. Maka berhati-hatilah dalam hidup. Wallahu’alam.
Oleh: Dr. Ahmad Yani, M.Si.