Nilai Pendidikan dalam Obsesi Orangtua

Para pembaca yang budiman. Penulis dengan senang hati dapat berjumpa dengan pembaca lewat tulisan. Dalam kesempatan ini seraya kita bersyukur atas berbagai potensi yang Allah titipkan kepada kita, di antaranya potensi generasi penerus kita yang akan menjadi aset bangsa.

Sewaktu bahtera rumah tangga pertama-tama diarungi, salah satu obsesi yang terlintas dalam benak suami istri adalah jumlah anak yang diharapkan. Anak adalah buah hati bagi orang tua. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam bersabda: ”Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku bangga pada kalian pada hari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i, kata Al Haitsamin).

Problem yang muncul setelah dikarunia anak adalah mau diarahkan ke mana anak kita? Nilai pendidikan seperti apa yang mesti diberikan kepada anak/buah hati? Di satu pihak ada sebagian orang tua menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih. Obsesi orang tua seperti itu kadang tidak sejalan dengan upaya yang dilakukannya. Padahal konten upaya merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan watak dan karakter anak. Di lain pihak, ada sebagian orang tua itu menginginkan anak-anaknya menjadi bintang film, bintang iklan, dan fotomodel. Dalam hal ini mereka beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur, seperti deretan selebritis yang terkenal. Padahal di balik itu semua mereka kering informasi tentang kehidupan kaum selebritis yang mereka puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang tua yang sering mengkonsumsi berbagai macam acara-acara hiburan di berbagai media cetak dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka lihat.

Sebuah pertanyaan atas upaya orang tua disebut tadi. Apakah kita menginginkan anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka” (Qur’an Surat An Nisa: 9). Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual, dan lemah ekonomi. Oleh karena itu, orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya adalah orang tua yang memperhatikan empat hal tadi. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan pada anak sebagai generasi penerus.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir I: 432, Imam Ibnu Katsir mengeritisi pengertian lemah pada ayat itu tentang ekonomi, yakni selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin .

Ada orang tua yang mementingkan nilai pendidikan anak dari segi intelektual, fisik dan ekonomi, dan mengabaikan perkembangan keimanan anak. Orang tua terkadang berani melakukan hal apa pun yang penting kebutuhan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi, sekali pun sekolah yang tidak memberikan asupan bahan ajar karakter keimanan. Padahal aspek keimanan merupakan kebutuhan mendasar bagi anak. Pada kelompok lain, ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak mereka dari keempat nilai pendidikan di atas, namun usaha yang dilakukannya ke arah tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Ada orang tua yang berusaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual telah cukup maksimal, segala sarana dan prasarana ke arah tercapainya tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh, namun dalam usahanya memenuhi kebutuhan anak dalam hal keimanan, orang tua ada yang setengah hati.

Bukankah orang tua yang bijaksana mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam melahirkan anak yang shalih. Secara teoretis, ada alternatif solusi mewujudkan obsesi orang tua menjadikan anak seimbang, yakni orang tua merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah, dan menciptakan lingkungan kondusif untuk anak. Keterangan di bawah ini menjadi acuan.

”Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Shadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)

Indikator anak shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak yang sedari kecil telah terbiasa melaksanakan kebaikan-kebaikan, melaksanakan perintah-perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala , dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan nilai-nilai pendidikan dalam agamanya. Suatu keniscayaan, mustahil anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan terbiasa bermaksiat kepada-Nya. Anak yang terbiasa bermaksiat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, memiliki kecenderungan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.

Kandungan pesan moral hadist ini merujuk pada keuntungan memiliki anak shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya, walaupun orang tua mereka telah wafat. Jika anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya, maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah terciptanya anak yang shalih. Lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan/sekolah, lingkungan masyarakat dan sahabat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: Artinya: ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari) Selanjutnya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, bersabda: Artinya: ”Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imran: 110). “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali-Imran: 104).

Hanya Allahlah yang Maha Tahu atas segala sesuatu.

Oleh,  Prof. Dr. H. Rahman, M.Pd.