Bagaimanapun, kita wajib bersyukur kepada Allah swt. Karena atas anugerah kasih sayang-Nya jualah yang telah menurunkan kitab suci Alquran al-Karim kepada umat manusia melalui utusan-Nya yang terakhir, nabi Muhammad saw. Alquran yang diterima oleh Muhammad saw 15 abad silam merupakan mu’jizat terbesarnya yang sampai secara konkret kepada kita sekarang. Fungsi utamanya adalah hudan lil al-nas, demikian firman-Nya yang termaktub di dalam surah Al-Baqarah/2:185. Salah satu kandungan hudan dan informasi penting kepada kita umat manusia, bahwa Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk menjadi manusia yang kaffah. Udkhulu fi al-silmi kaffah, demikian perintah Allah swt di dalam Alquran surah Al-Baqarah/2:208.
Mengapa harus manjadi manusia yang kaffah? Setiap manusia diciptakan dari paduan dua unsur utama, yaitu jasad (physic) dan ruh (psychis). Ruh adalah esensi hidup manusia, ditiupkan oleh Allah ke dalam jasad setiap calon manusia yang akan menghuni jagad ini, di alam rahim ibunya. Ruh bersifat fitrah. Fitrah adalah potensi bawaan manusia yang paling mendasar untuk meyakini dan mengimani Allah swt sebagai Rabb al-‘Alamin.
Fitrah itu abadi, istiqamah sesuai dengan ketentuan Allah swt, dan oleh sebab itu tidak bisa dirubah oleh siapapun serta dalam situasi dan keadaan apapun. Hal ini dengan jelas Allah swt nyatakan di dalam Alquran, surah Al-Rum/30:30 bahwa “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah; (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Kaffah adalah totalitas mengenai kepribadian seseorang. Ciri-ciri kaffah itu adalah:
- Adanya kualitas iman yang kuat dan istiqamah (Q.s. Fushshilat/41:30, Al-Ahqaf/46:13);
- Mempunyai kepribadian yang mulia sehingga di manapun ia berada selalu mewarnai dan menjadi suri tauladan bagi sesamanya (Q.s. Al-Qalam/68:4);
- Mampu memanfaatkan dan mengembangkan akal yang dianugerahkan oleh Allah swt sebagai suatu potensi dasar manusia untuk bisa cerdas (Q.s. Al-Zumar/39:9);
- Senantiasa meningkatkan mutu kinerjanya dan mendorong lingkungan atau mitra kerjanya untuk terus berinovasi, berkompetisi secara profesional, sehat dan positif atau yang di dalam Al-Quran disebut fastabiq al-khayrat (Q.s. Al-Baqarah/2:148);
- Perangainya sopan dan tutur bahasanya santun, lembut lagi mengesankan sehingga enak dan menyentuh kalbu setiap orang yang mendengarkannya atau yang dalam Alquran disebut sebagai qawl al-ma’ruf (Q.s. Al-Nisa/4:5);
- Selalu berusaha untuk menunjukkan dedikasi yang terbaik sehingga selalu tampil menjadi pelopor bagi semua gagasan dan tindakan nyata yang bermanfaat bagi kepentingan atau kemaslahatan orang banyak (Q.s. Ali `Imran/3: 104, 110);
- Hidup dan segala macam aktifitas kehidupannya ditundukkan pada kemahakuasaan Allah swt semata (Q.s. Al-Baqarah/46, 146);
- Tidak pernah merugikan pihak-pihak lain dan selalu berlaku adil dalam meutuskan suatu perkara (Q.s. Al-Maidah/5:8);
- Dan banyak lagi indikator lainnya yang tersebar banyak di dalam teks kitab suci Alquran maupun muatan hadits rasulillah Muhammad saw.
Kekaffahan itu hanya mungkin diraih oleh siapapun dengan terlebih dahulu meyakini dan mempedomani ajaran Islam. Salah satu pembuktian keyakinan itu ialah apa yang sedang kita laksanakan dari salah satu pilar Islam, yaitu ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan yang mulia dan penuh berkah atau syahrun mubarak.
Puasa yang kita laksanakan setiap tahun bukanlah merupakan sebuah rutinitas bentuk kehidupan duniawi, tetapi ramadlan yang di dalamnya ada puasa wajib dan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti membaca mushaf dan tafsir Alquran atau tadarus Alquran, qiyam al-layl, saya ibaratkan sebagai bulan pendidikan bagi madrasah kehidupan manusia untuk menaikkan mutu ketaqwaannya kepada Allah swt.
Betapa tidak! Ramadhan dibangun atas tiga macam pilar utama, yaitu (1) iman, (2) puasa, dan (3) taqwa (Q.s. Al-Baqarah/2:183). Nah, yang menantang kita, terutama kaum intelektual mengkajinya secara cermat, komprehensif, dan lebih mendalam ialah ada apa di balik kewajiban berpuasa yang diharapkan Allah mampu meningkatkan kualitas ketaqwaan kita, atau mengapa taqwa yang menjadi tujuan akhir puasa?
Taqwa merupakan satuan sistem nilai yang komprehensif dari seorang hamba kepada Tuhannya, Allah swt. Derajat taqwa dari waktu mutlak ditingkatkan oleh karena banyaknya jenis gangguan yang memungkinkan derajat turun atau konstan.
Belajar dari pengalaman pribadi rasulillah Muhammad saw dalam membina iman dan taqwanya kepada Allah, nabi Muhammad dari waktu ke waktu belajar terus menerus secara otodidak baik dari pengalaman pribadinya maupun orang lain dan lingkungannya.
Prestasi di berbagai bidang dan cobaan hidupnya silih berganti. Bukannya menurun melainkan meningkat terus dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Namun, nabi Muhammad saw tidak pernah berputus asa. Dia meyakini bahwa apa yang benar harus dijalankan secara konsisten hatta yang tidak baik dan bersifat merugikan dijauhinya.
Pelajaran apa yang bisa kita adopsi untuk bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari ibadah puasa dalam upaya meningkatkan taqwa, serta pengalaman keberagaman dari seorang nabi agung, Muhammad saw?
Pertama, jikat kita perhatikan dari segi latar belakang kekeluargaan, sebenarnya Muhammad saw itu berasal dari kelangan keluarga yang tidak mempertuhankan Allah swt, namun karena dia meyakini dan mampu menumbuhkembangkan embrio keimanannya bahwa fitrah itu berkorelasi dengan iman kepada Allah swt sebagai modal yang amat fundamental dalam menjalani kehidupan ini.
Tanpa iman kepada-Nya maka perjalanan hidup seseorang bisa-bisa kesasar atau keliru dan malah bisa terjebak dalam lingkaran setan yang memang selalu dan lihai membuat perangkap yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid kepada siapapun agar manusia bisa bersamanya. Itulah sebabnya Tuhan mengingatkan kepada kita bahwa setan itu adalah musuh nyata bagimu. Innahu lakum `aduwwun mubiin demikian firman Allah swt yang bisa kita jumpai di dalam Al Quran surah Al-Baqarah/2:168.
Kedua, kemampuan mengendalikan diri. Dalam banyak riwayat sirah nabawiyah diungkapkan bahwa nabi Muhammad adalah orang yang paling memiliki kemampuan menguasai, mengendalikan dan menahan emosi. Nabi Muhammad ternyata menyadari betul bahwa tidak ada masalah yang bisa diselesaikan melalui cara-cara yang emosional. Menentukan program kerja dan memutuskan suatu perkara haruslah tenang disertai jiwa yang selalu memohon petunjuk-Nya. Sifat dan perilaku seperti itu tercermin dalam konsep sabar. Itulah sebabnya Allah menempatkan orang-orang sabar sebagai pihak komunitas yang senantiasa bersama-Nya. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang sabar” (Q.s. Al-Anfal/8:46).
Ketiga, tidak pernah berputus asa. Seorang muslim yang baik selalu mencari jalan penyelesaian alternatif yang terbaik bila menghadapi masalah. Sebab ia menyadari segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya, ada penyelesaiannya yang terbaik. “Sesungguhnya di balik kesusahan selalu ada kemudahan” (Q.s. Alamnayrah/94:6). Sikap, pikiran dan pandangan seperti ini disertai dengan optimalisasi ikhtiar dan permohonan kepada Allah. La taqnatu min rahmat Allah, demikian firman Allah (Q.s. Al-Zumar/39:53).
Keempat, belajar. Belajar adalah bagian terpenting dalam perjalanan hidup. Orang yang tidak mau belajar akan menyia-nyiakan diri sendiri dan kehidupannya. Belajar tidak mengenal waktu dan usia; harus dimulai sejak usia dini hingga akhir hayat. Dalam banyak teori dan konsep belajar ternyata menunjukkan bahwa siapapun ia akan bisa hidup secara lebih baik dan maju dalam segala hal jika ia belajar dengan sungguh-sungguh. Kalau kita memperhatikan lima ayat pertama (Q.s Al-`Alaq/96:1-5) yang diberikan Allah kepada nabi-Nya Muhammada saw, maka jelas sekali bahwa belajar, iqra, adalah perintah pertama dan karenanya menjadi kunci bagi kemajuan seseorang, keluarga dan bangsa.
Kelima, senantiasa berperilaku mulia atau yang dalam istilah masyarakat kita disebut adat, sopan santun, tatakrama. Salah satu kata kunci yang dapat kita peroleh dari keberhasilan nabi Muhammad memimpin umatnya ialah karena akhlaqnya. Banyak riset dari para ahli tarikh yang telah membenarkan letak kesuksesan nabi Muhammad saw itu. Demikian gemilangnya prestasi dan kesuksesan tersebut sampai-sampai diabadikan dalam Al Quran dengan redaksi Wa innaka la`ala khuluqin `adzim (Q.s. Al-Qalam/68:4).
Keenam, ikhlas dalam melakukan apa saja. Ikhlas adalah dasar pengabdian bagi seluruh aktifitas. Ada banyak orang putus asa dalam hidup ini, karena setiap melakukan sesuatu hanya ingin memperoleh materi dan pujian dari sesamanya. Perintah ikhlas menjadi penekanan penting dari Allah sebagai dasar motivasi untuk melakukan amal perbuatan. Firman Allah swt jelas bahwa “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah (ikhlas) kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya” (Q.s. Al-Mu’min/40:14), dan memang Allah memerintahkan kita untuk disuruh melakukan apa saja secara ikhlas “Padahal mereka tidak disuruh supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat; dan yang demikian itu adalah agama yang lurus” (Q.s. Al-Bayyinah/98:5).
Ketujuh, dalam hidup ini selalu mencari keridlaan Allah swt. Sikap ridla banyak kita dengar namun kadang belum bersesuaian dengan perilaku. Ridla adalah sikap yang hanya mengharapkan segala sesuatunya dari Allah, sebab disadari bahwa itulah yang paling tinggi maknanya dalam kehidupan ini. Jika ridla Allah telah dicapai oleh seseorang maka ia memperoleh anugerah yang tiada lagi tara bandingan nilainya. Maka berusahalah terus mencari keridlaan-Nya. “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang selalu menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridlaan Allah, niscaya kelak mereka akan Kami beri pahala yang besar”, demikian gambaran imbalan perbuatan ridla yang pasti dan jelas melalui firman Allah (Q.s. Al-Nisa/4:114).
Seluruh petikan di atas, bila mampu kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan profesi masing-masing, maka insya Allah, dapat mengantar kita semua untuk menaikkan peringkat kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah, sebagaimana halnya yang sedang kita lakukan sekarang dalam bentuk ibadah puasa wajib. Dengan demikian, puasa ramadlan ini sungguh merupakan saat pengintegrasian seluruh nilai mulia untuk meningkatkan kualitas taqwa.
Ramadlan yang demikian agung, mulia, dan penuh berkah ini, sebentar lagi akan meninggalkan kita. Marilah kita manfaatkan sisa waktu ini seoptimal mungkin dengan berbagai perbuata ma`ruf seperti i`tikaf di masjid, bermunajat kepada Allah, bersedekah, melakukan berbagai macam kebajikan yang dirasakan langsung manfaatnya oleh diri, keluarga dan masyarakat kita.
Sebagai komunitas umat yang terbesar di negeri ini, saya mengajak, marilah kita berkontribusi terus secara positif, profesional sesuai dengan profesi masing-masing untuk kepentingan hidup bersama di negeri kita tercinta ini. Sebab, itulah saham kita untuk mewujudkan sebuah bersama di kawasan yang sama, negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana deskripsi negeri yang Allah sebut lewat firman-Nya Baldatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur (Q.s. Saba/34:51). Insya Allah !
Oleh: Prof. Dr. H. Abdul Majid, M.A.
Guru Besar Pengkajian Islam UPI