“Kenapa kerjamu menangis saja, hai sahabatku, di saat orang lain semua bersuka ria. Bukankah Tuhan telah menyempurnakan agama kita?” tanya para sahabat. Beliau menjawab: “Kamu semua tidak tahu bencana-bencana apakah kelak yang akan terjadi menimpa kita semua. Apakah kamu tidak mengerti bahwa tidak ada sesuatu apabila ia telah sampai kepada titik kesempurnaan, melainkan itu berarti permulaan kemerosotannya. Dalam ayat terbayang perpecahan di kalangan kita nanti, dan nasib Hasan Husein yang akan menjadi anak yatim, serta para isteri Nabi yang menjadi janda.”
Umurnya lebih tua 2 tahun dari orang yang paling dicintainya, seorang sahabat yang setia yang bersegera membenarkan ajaran yang dibawa sahabatnya itu. Arti dari namanya adalah ‘ayah si gadis’, yaitu ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. nama lainnya adalah Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’). Beliau adalah shiddiqul akbar yaitu seorang yang selalu membenarkan berita yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semustahil apa pun menurut manusia. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah bukti nyata bahwa beliau adalah shiddiqul akbar. Tatkala manusia datang beramai-ramai sambil mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ceritanya tersebut, tetapi apa yang diucapkan oleh sahabat yang satu ini? Beliau justru mengatakan, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan hal itu, maka sungguh dia telah benar.”Karena itu, tidak berlebihan bila beliau disebut sebagai Ash-Shiddiq. Bahkan yang menggelari beliau Ash-Shiddiq adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Siddiq; orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu’jam al-Wasit).
Setelah diangkat menjadi khalifah, Beliau segera melakukan tugasnya. Yang pertama ialah memerangi Musailamah Al Kazab (si Nabi palsu) yang mengaku menjadi Nabi setelah Rosul Muhammad. Tugas selanjutnya adalah memaksa dan memerangi suku-suku yang tidak mau membayar zakat. Menurut suku-suku itu, zakat adalah upeti kepada Nabi Muhammad dan bila Nabi wafat maka tak ada kewajiban lagi membayarnya. Padahal zakat adalah harta yang harus dibayarkan setiap muslim yang telah mencapai nishob dan diniatkan untuk ridha Allah bukan upeti. Melihat tugas yang pertama kalau dispesifikasikan seperti ini, setidaknya ada 2 tugas utama; pertama memberantas profesi nabi-nabi palsu dan yang kedua memutus mata rantai kader-kader musailamah al Kazab sampai ke akar-akarnya. Namun sepertinya kedua tugas utama itu belum selesai sampai saat ini.
Nabi adalah seseorang yang membawa kabar, bisa juga sebagai pembawa berita dsb. Nah, kenapa dikatakan palsu, karena perkataan dan perbuatannya tidak konsisten (yaquluna bi afwahihim ma laysa fi qulubihim, lain di mulut lain di hati) , kurang lebih seperti itu, atau mungkin dia tahu akan suatu kebenaran dalam berita yang disampaikannya namun dalam aplikasinya dia sendiri mengingkarinya (Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan, 61:2). Dan yang lebih parah lagi, dia tahu kalau yang dilakukannya itu membuat Tuhan murka dan menambah dosanya, tapi tetap nyaman dalam kesalahan, selain karena sudah terbiasa namun juga sudah menjadi tradisi. Sesekali dia berargumen dengan ilmunya atau bahkan dengan (menjual) ayat-ayat Tuhan hanya untuk menutupi kesalahannya. (Dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya, 2:42)
Bagaimanapun juga Musailamah al Kazab dan antek-anteknya adalah musuh utama generasi As Shiddiq, sampai kapanpun. Tergantung kita mau menjadi pengikut yang mana, karena sudah terlalu banyak media atau alat yang memfasilitasi, mendukung, membantu seseorang untuk menjadi pengikut al Kazab hanya untuk keuntungan, kebahagiaan duniawi semata yang fana dan sesaat. (Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada, 22:46)
Sebenarnya tidak perlu adanya pendidikan anti korupsi, kantin kejujuran, alat pendeteksi kebohongan lie detector dsb, kalau saja kita mau belajar dan mengajarkan tentang sosok Muhammad saw dan Abu Bakr, belajar tentang bagaimana kedua manusia itu bergelar al-Amin dan Ash-Shiddiq, sehingga melahirkan generasi amirul mukminin.
“Untuk menjadi orang jujur itu sulit lho, apalagi zaman sekarang” kata seorang teman. “Sudahlah, biarkan Tuhan mengungkap dengan caraNya sendiri, gumamku.” Harapan itu selalu ada, semoga! (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar, 9:119).
Oleh : Pandu Hyangsewu, M.Ag