Sabda Nabi saw :” Sungguh aku telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan”.
Kita bisa membayangkan apabila kita setiap hari menabung di bank, kemudian pada saat kita membutuhkan uang itu ternyata tidak ada sepeser pun uang di dalam tabungan kita. Kita juga bisa membayangkan kalau kita sedang pergi ke luar negeri dengan membawa bekal yang cukup, tetapi ketika kita sedang dalam perjalanan, kemudian uang kita hilang entah dicuri atau apapun. Kita bisa membayangkan betapa bingungnya kita saat itu jika tidak ada seorang pun yang bisa membantu kita.
Di dalam surat Az Zalzalah, kebingungan itu digambarkan seperti pada saat hari kiamat “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
Kita bisa membayangkan, begitu kita bangkit dari kubur, kemudian melihat apa yang sudah kita lakukan, dan kita melihat pada kolom kebaikan, ternyata di sana tidak ada satupun kebaikan yang tertulis sebagai amal shaleh. Tentu saja pada saat krisis seperti itu, amal shaleh ini akan menjadi andalan seluruh manusia untuk menghadapi hisab yang akan dilakukan langsung oleh Allah SWT. Mendengar ini para sahabat semuanya shock dan kemudian seorang shabat bertanya : ya Rasulullah jelaskan siapa mereka, gambarkan siapa mereka, jangan sampai kita masuk kedalam golongan itu, padahal kita tidak mengetahuinya. Kemudian Rasulullah menjawab: mereka itu adalah dari bangsa kamu dari kulit yang sama, bahkan mereka itu sangat malang, mereka melakukan qiyamul lail seperti kamu melakukannya, akan tetapi mereka adalah kaum-kaum yang apabila sedang sendirian dan ada hal yang di harapkan, ia melakukannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sangat banyak orang melakukan kebaikan seperti umrah, naik haji, bersedekah pada pakir miskin, mendirikan yayasan kemanusiaan, tapi pada saat orang itu sendirian dan tidak ada orang yang melihat, kemudian ada di situ hal-hal yag dilarang oleh Allah, diharamkan oleh Allah, ia lakukan hal yang haram tersebut. Hadits ini juga bisa kita pahami bahwa banyak kasus pada saat ini, apabila orang banyak melihat maka dia berbuat kebaikan, tetapi kemudian pada saat tidak ada seorang manusia lain pun yang melihatnya, ia justru melakukan berbagai hal yang Allah telah melarangnya.
Nabi menegaskan, bahwa di dalam kehidupan agama bukan hanya melaksanakan hal-hal yang baik tetapi di dalam agama itu juga menjauhi hal-hal yang diharamkan. Nabi bersabda :” Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya”. Dari sebuah hadits ini dapat dipahami bahwa amal kebaikan saja tidak cukup untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat, tetapi kita juga harus meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah. Aturan-aturan Allah adalah larangannya. Dalam konteks hal yang terlarang ini, hadits tadi mengajarkan bahwa kita harus selalu menjauhinya meskipun tidak ada manusia lain yang melihatnya, meskipun tidak ada penegak hukum yang memperhatikan kita.
Marilah kita lihat, apa yang bisa kita observasi dari kehidupan kita sehari-hari. Sejak kecil kita semua diajari oleh orang tua, kerabat dan tetangga kita tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Kita diajari mana yang benar dan mana yang salah. Kita diajari bahwa tidak boleh berbohong, kita diajari tidak boleh mencuri, tidak boleh menyakiti orang lain, kita diajari mana yang haram dan mana yang halal, kita diajari pekerjaan mana yang berdosa dan mana yanga akan mendatangkan pahala. Kemudian dengan memahami semua itu kita jadi tahu apa yang benar dan harus kita lakukan dan apa yang salah dalam kehidupan ini. Inilah yang kita kenal sebagai fondasi moral dan etika, yakni nilai sikap dan perilaku seperti apa yang harus kita lakukan agar memperoleh keselamatan di dalam kehidupan ini.
Kita bisa melihat bahwa hampir semua orang dan etika ini diturunkan dari ajaran agama, bahkan tidak sedikit moral dan etika yang jelas sekali ayat Al Quran dan haditsnya yang menyatakan halal dan haram apabila seorang melakukan perbuatan. Di atas landasan etika inilah kemudian pemerintah, baik pusat maupun daerah membuat hukum, yaitu suatu aturan dan perundang-undangan tertulis, yang dibuat untuk mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan sebuah negara atau daerah. Kita semua tahu bahwa hukum itu selalu dilengkapi dengan sanksi berupa hukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum. Itu kemudian dibangun sebuah sistem hukum, dan di dalam sistem hukum ini kita mengenal adanya lembaga legislatif, eksekutif, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, dan penegak hukum lainnya.
Dengan demikian pada hakikatnya hukum dapat dilihat sebagai formalitasi dan posisitasi jumlah etika tertentu yang dipilih dari eksistensi kita yang hidup dalam masyarakat untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh semua anggota masyarakat agar kita bisa menjadi negara hukum yang hakiki, yaitu agar kita senantiasa bisa beraktifitas dengan berlandaskan pada hukum yang berlaku. Tetapi tentu saja kita semua menyadari bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan konsistensi semua etika yang hidup dalam masyarakat ini. Bahkan apabila kita mampu membuat sebuah hukum tertulis, maka tidak mungkin kita akan mampu membuat hukum tertulis yang sempurna tanpa kekurangan sedikitpun, karena kita memiliki keterbatasan dana, waktu, dan kemampuan untuk memahami. Disinilah kemudian muncul berbagai masalah, yaitu tidak sedikit orang yang memanfaatkan ruang yang tampak sebagai ketidaksempurnaan ini, atau celah yang menunjukan kekosongan hukum atau main kucing-kucingan dengan penegak hukum yaitu menjadi manusia yang patuh pada hukum hanya apabila berada di depan mata penegak hukum.
Kita bisa menyimpulkan bahwa pelanggaran terhadap etika belum tentu merupakan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku, tetapi pelanggaran terhadap hukum pasti sekaligus merupakan pelanggaran terhadap etika. Hubungan ini mudah dipahami karena kita bisa meihat bahwa hukum hukum merupakan sunset dari etika, artinya tidak semua etika berhasil dibuatkan hukum tertulisnya tetapi hukum dibuat berlandaskan pada etika. Dengan demikian kita dan bangsa ini akan ada dalam kehidupan yang patuh terhadap hukum, apabila kita selain mendasarkan diri kepada hukum yang tertulis, kita pun mengedepankan etika. Sebaliknya apabila seorang yang sudah jelas melanggar suatu etika tertentu tetapi masih saja berpendapat bahwa tidak ada satupun hukum yang terlanggar, maka pada dasarnya orang ini penuh dengan kepura-puraan dan hanya mencari-cari pembenaran atas pelanggaran etika yang sudah dia lakukan. Oleh karena itu, marilah kita gunakan etika dan hati nurani dalam belajar dan bekerja dalam kehidupan kita sehari-hari. Marilah kita berhenti sejenak setiap kali kita akan melakukan apapun dalam kehidupan untuk bertanya pada diri, apakah tindakan yang akan kita lakukan melanggar etika atau tidak. Marilah kita berhenti sejenak setiap kali kita akan melakukan dalam kehidupan ini untuk bertanya pada diri sendiri, apakah tindakan ini halal, haram, makruh atau hukum lainnya. Pada saat kita memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, marilah kita mengedepankan etiak dan hati nurani ketimbang mempertanyakan aturan mana yang terlanggar atau mengatakan biarkan saja toh tidak ketahuan orang lain.
Nabi bersabda dalam sebuah hadits: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”. Dengan hadits ini Nabi mengisyaratkan bahwa karena hati inilah maka kehidupan seorang bisa sangat terhormat, bukan hanya di akhirat nanti tapi dalam kehidupan di dunia ini. Karena hati inilah maka kehidupan seorang bisa jadi sangat terhina, bukan hanya di akhirat nanti tapi juga dalam kehidupan di dunia. Betapa Nabi Ibrahim sangat khawatir terhadap kedahsyatan hari kiamat dan takut akan kesengsaraan pada hari kiamat, hingga Nabi Ibrahim pun memanjatkan doa “Dan janganlah engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, yaitu pada hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. Ayat ini juga menunjukan suatu kesadaran Nabi Ibrahim, bahwa harta dan anak menjadi tidak bermanfaat, bahwa kekayaan dan gelar akademik menjadi tidak bermanfaat, tetapi yang akan bermanfaat adalah hati yang sempurna dalam pengabdian kepada Allah, hati yang bersih dari segala macam penyakit hati dan hati yang terbebaskan dari penyimpangan dan ketergantungan diri terhadap apapun atau siapapun kecuali Allah SWT.
Oleh, Prof. H. Abdul Hakim Halim