Cara Menghadapi Ramadhan

Setiap menjelang tiba bulan Ramadlan, masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia, bersuka cita menyambutnya. Mereka girang karena akan bersua lagi dengan bulan yang mereka namai Syahrun mubarak atau bulan bertaburan berkah dari Allah. Ramadlan adalah bulan yang penuh suka cita. Karena itu mereka banyak di antaranya yang bersedekah kepada fakir miskin, memberi makan buka dan sahur kepada saudara-saudaranya yang kurang mampu dalam kehidupannya. Dengan itu pulalah mereka sangat memuliakan Ramadlan dengan berbagai aktivitas ibadah maghdlah dan ghayr maghdlah, siang malam di mana pun mereka berada. Karena itu, mereka pula namakan Ramadlan dengan Syahrun karim atau bulan yang penuh dengan kemuliaan.

Dari berbagai aktifitas yang bervariasi dan dinamis itu, ada benang merah yang perlu kita tarik dari mereka, yaitu semua pihak mempunyai suatu tata cara. Cara itu bisa umum atau universal dan ada pula yang lokal atau tipical. Representasi cara itu sangat terlihat sewaktu mereka menyambut, mengisi, dan ketika pada akhirnya berpisah lagi dengan Ramadlan yang dijalaninya.

Cara Menyambut Ramadlan

Ada banyak cara yang dilakukan oleh umat muslim menyambut kedatangan Ramadlan. Untuk menjelaskan itu semua, saya ingin terlebih dahulu menyebut beberapa buku referensi akademis untuk membangun argumen kita secara rasional pada tulisan ini, seperti (1) Tradisional Islam in The Modern World karya Seyyed Hossein Nasr, (2) Ramadhan: Pengendalian Diri dan Keshalehan Sosial karya Affandi Mochtar dkk, (3) Ma’a al-Nabi fi Ramadlan karya Syaikh Samih Kurayyim, (4) Al-Fiqh al-Islam al-Madzahib al Arba’in karya Abdulrahman Al-Jaziry, (5) Pedoman Puasa karya Hasbi Ashshiddieqy, (6) Mencari Ritus Hikmah Puasa karya Endang A. Effendi, (7) Untuk Apa Berpuasa karya Agus Mustofa, (8) Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur karya Nurcholish Madjid, (9) Orang Batak Berpuasa karya Baharuddin Aritonang (10) Ramadhan in Java karya Andre Moller, agar kita mampu lebih memahami betapa bulan Ramadlan dan ibadah puasa sebagai intinya dan berbagai aktivitas yang dijalani oleh umat muslim selama periode itu telah berproses dan terdokumentasi dengan baik.

Bahkan perlu menyebut secara khusus satu buku yaitu karya Andre Moller karena buku tersebut adalah hasil riset yang memenuhi standar ilmiah mengenai orang-orang Islam di Indonesia (khususnya di Jawa) memahami dan menunaikan ibadah Ramadlan yang kaya dengan ibadah ritual dan kemanusiaannya. Dan, Moller telah menulis dan mempertahankan hasil risetnya itu melalui ujian disertasi dan meraih gelar doktor di Swedia.

Maka, boleh jadi Ramadlan adalah bulan yang sangat istimewa, mengesankan, dan turut membekas dalam diri setiap pribadi muslim yang disadari atau tidak, Ramadlan telah mempunyai saham bagi terbentuknya karakter dasar dalam diri dan komunitas sosial lingkungannya.

Walau telah secara bergenerasi umat muslim menjalani Ramadlan dan berpuasa wajib di dalamnya, mulai dari nabi Muhammad saw hingga umat manusia sekarang ini mempunyai nilai universal dalam menyambutnya seperti dengan berdoa sejak masuk bulan Rajab agar umur disampaikan oleh Allah swt ke Ramadlan seperti munajat mereka: “Allahumma baariklana fi Rajab wa Sya’ban wa ballighna Ramadlan”, kemudian mereka membina dan mempererat ukhuwah, saling memaafkan, dan menghindari perbuatan yang tercela. Semua itu adalah aktivitas yang bersifat universal karena dilakukan oleh hampir semua umat muslim di mana pun mereka berada.

Ramadlan adalah periode yang sangat nikmat dan mengesankan, mungkin hal ini antara lain dimotivasi oleh ayat: “barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya, Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Qs. al-Baqarah/2: 184). Tetapi ada pula aktivitas tipical yang tidak kalah menariknya karena kegiatan umat muslim yang bersifat lokal. Karena kita tinggal di negeri sendiri, Indonesia, maka di hampir seluruh wilayah nusantara kita ada beragam kegiatan yang dilakukan dan dianggap telah melembaga sehingga perlu dilakukan melalui suatu bentuk upacara-upacara “ritual”. Misalnya, puasa sosialisasi puasa sunnat nisf al-Sya’ban, ada ceramah-ceramah keagamaan tertentu menyongsong datangnya Ramadlan, ramai-ramai berziarah ke kuburan para leluhur dan saudaranya, ada kirab makan dan doa bersama, ada pula yang beramai-ramai ke pinggir pantai atau sungai kemudian mandi “suci” dengan cara menyelam, kemudian mereka makan-makan bersama hingga ramai-ramai pulang kampung dan berlibur pada awal puasa sebagaimana yang telah dijustifikasi oleh negara. Semua itu mereka lakukan sebagai rangkaian ungkapan rasa syukur kepada Allah dan luapan emosi kegembiraan karena berjumpa kembali dengan Ramadlan. Bahkan yang terakhir ini terjadi di beberapa bandar udara tiket pesawat terbang dari Jakarta dan sebaliknya semakin sulit diperoleh dan harganya pun semakin naik.

Cara Mengisi Ramadlan

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan yang mensucikan diri” (Qs. al-Baqarah/ 2:222). Mungkin bisa diduga bahwa antara lain ayat inilah yang mendorong umat muslim untuk semampu dirinya memaksimalkan diri memanfaatkan Ramadlan sebagai momen muhasabah atau self correction terhadap kedua hal tersebut. Ramadlan digunakan oleh umat muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, bertaubat dan membersihkan diri dari perbuatan yang tidak baik melalui, antara lain, mereka memperbanyak ibadah ritual yang maghdlah.

Satu di antara ritus yang ramai mereka lakukan adalah shalat tarawih. Cara yang masih banyak dianut oleh masyarakat kita di tanah air ialah melakukannya sebanyak 11 dan atau 23 rakaat. Tarawih umumnya dilakukan seusai shalat fardlu isya, tetapi didahului oleh ceramah singkat antara 10-20 menit dari pengurus DKM atau muballigh yang sengaja dijadwal dan didatangkan oleh pengurus atau panitia kegiatan Ramadlan sejak malam pertama hingga akhir Ramadlan.

Ada hal menarik dari ceramah singkat itu di mana para pendidik di sekolah dasar dan menengah yang mengampuh mata pelajaran atau bidang studi pendidikan agama Islam memanfaatkan media itu untuk mengetahui anak didiknya yang muslim apakah aktif mengikuti ceramah dan shalat tarawih yang ada di dekat rumahnya. Seluruh materi ceramah tersebut dimintakan guru kepada muridnya agar mengikuti dan mencatat dalam satu buku khusus yang mereka beli di sekolahnya masing-masing karena setelah masuk kembali ke sekolah buku-buku mereka akan dikumpulkan dan dinilai oleh guru agamanya masing-masing.

Namun, dari keseluruhan ceramah tarawih dan kultum shubuh sebulan itu belum ada yang diterbitkan menjadi buku khusus sebagai produk Ramadlan di masjid yang bersangkutan. Hal ini perlu dilakukan oleh pengurus masjid atau panitia Ramadlan untuk dijadikan bahan evaluasi guna mengetahui kesinambungan materi, keluasan ilmu, dan kompetensi atau kualifikasi profesi penceramah.

Demikian itulah peristiwa ritual keagamaan berlangsung pada umumnya ramai pengunjung masjid hingga hari ke-20 Ramadlan. Mengapa? Walau telah banyak masyarakat muslim yang tahu bahwa contoh dari nabi Muhammad saw semakin menjelang akhir Ramadlan semakin mempergiat diri dan keluarganya beribadah kepada Allah swt, sebagaimana riwayat Abu Dawud “Apabila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadlan, nabi saw menghidupkan malam-malamnya, mengencangkan ikat pinggangnya, dan membangunkan keluarganya”.

Namun umumnya berbeda dengan kita umatnya. Yang mengikuti dan yang diiukuti tidak selamanya persis sama. Umatnya kini, semakin tidak lagi nampak kelihatan di masjid karena telah sibuk dan bersiap diri untuk pulang ke kampung halaman guna ber’id al-fitri dengan keluarga besarnya, yang jualan semakin sibuk berdagang karena konsumennya semakin banyak yang datang berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya di hari lebaran. Jadi, tidaklah mengherankan jika banyak pasar, toko, pabrik, dan pusat-pusat transportasi darat, udara, dan laut sesak oleh manusia yang akan memenuhi hajatnya.

Dan ragam hiruk pikuk dinamika umat muslim dan manusia pada umumnya itulah yang bisa dijadikan sebagai indikator Ramadlan sehingga ia dinamakan Syahrun mubarak. Karena ternyata, keberkahan bukan hanya dinikmati oleh mereka yang berpuasa tetapi kepada siapapun yang beraktivitas di dalamnya.

Cara Mengakhiri Ramadlan

Bagi mereka yang sejak awal Ramadlan berniat untuk khatam Alquran maka akan semakin memperbanyak membaca Alquran. Bagi mereka yang akan mudik lebaran ke kampung halaman maka akan semakin banyak yang mendekati pusat-pusat alat transportasi. Dan banyak lagi contoh lain yang memperlihatkan pergerakan diri dengan orientasinya menjelang dan di akhir Ramadlan.

Pada periode itu, ada satu hal yang menarik diamati adalah bagi para pengurus masjid atau panitia Ramadlan semakin meningkat frekuensi kegiatannya menerirna titipan zakat fitrah, zakat mal, shadaqah, serta mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan kesuksesan penyelenggaraan kegiatan shalat sunnat Id al-fitri. Dalam soal shalat sunnah ‘id al-fitri yang terpenting adalah tempat, khatib, imam, alat-alat pendukung keberlangsungan shalat sunnat itu sendiri.

Pada malam takbiran tidak ada lagi sunnat tarawih, tidak banyak lagi jamaah di masjid namun yang ada di masjid hanyalah ketua dan sekretaris panitia, seksi zakat, seksi shalat sunnat ‘id al-fitri dan beberapa orang anak kecil yang takbiran hingga larut malam.

Demikian itulah beberapa cara yang umurnnya dilakukan oleh umat muslim, khususnya di tanah air kita, dalam menghadapi Ramadlan dengan senantiasa berharap kiranya keseluruhan aktivitas ibadah dan amaliyahnya di bulan Ramadlan yang sedang dijalaninya diterima oleh Allah dan bertemu kembali dengan Ramadlan karim pada tahun yang akan datang. Aamiin!

Oleh, Prof. Dr. H. Abdul Majid, MA.
Guru Besar Pengkajian Islam UPI