Tertipu Fatamorgana Ramadhan

Orang – Orang Yang Tertipu Fatamorgana Ramadhan

Meski bulan Ramadhan adalah bulan ampunan, terkadang orang selalu terkelabui oleh aktivitas-aktivitas yang justru tidak ada dalam konteks mencari ridho di bulan suci Ramadhan, artinya dalam kekeliruan umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan masih terjadi.

“Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah dan Nasai). Namun setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaanya, semoga poin-poin kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar shiyam kita tahun ini, lebih paripurna dan bermakna.

Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan suci Ramadhan acap kali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa identik dengan istirahat, break dan aktivitas-akvifitas non produktif lainnya, sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki daya tahan yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar dalam futuhaat (pembahasan wilayah yang disertai dengan peperangan yang dilancarkan oleh Rasul dan para sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan. Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak bermental loyo dan malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.

Pertama
, berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat fardhu lima waktu, ini penyakit yang diakui atau tidak menghinggapi sebagian umat Islam, mereka mengira bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa semata, tanpa mau repot mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal shalat dan puasa termasuk rangkaian kumulatif (rangkaian yang tak terpisah/satu paket) rukun Islam, sehingga konsekuensinya, bila salah satunya dilalaikan, maka akan berakibat gugurnya predikat “MUSLIM” dari dirinya.

Kedua,
berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap hidangan berbuka serta sahur ini biasanya menimpa sebagian umat muslim yang tak kunjung dewasa dalam menyikapi puasa Ramadhan, kendati telah berpuluh-puluh kali mereka melakoni bulan puasa tetapi tetap saja paradigma mereka tentang ibadah puasa tak kunjung berubah. Dalam benak mereka, saat berbuka adalah saat balas dendam atas segala keterkekangan yang melilit mereka sepanjang +12 jam sebelumnya, tingkah mereka tak ubahnya anak berusia 8-10 tahun yang baru belajar puasa kemarin sore.

Ketiga, berpuasa tapi juga melakukan maksiat. Asal makna berpuasa adalah menahan diri dari segala aktivitas, dalam Islam, ibadah puasa membatasi bukan hanya dari aktivitas yang diharamkan di luar Ramadhan, bahkan puasa Ramadhan juga membatasi kita dari hal-hal yang halal di luar Ramadhan, seperti: makan, minum, berhubungan suami-istri di siang hari.

Kesimpulannya, jika yang halal saja kita dibatasi, apalagi yang haram, jelas lebih dilarang. “Barang siapa yang belum mampu meninggalkan perkataan dosa (dusta, ghibah, namimah, dll) dan perbuatan dosa, maka Allah tak membutuhkan puasanya (pahala puasanya tertolak).

Keempat,
sibuk makan sahur sehingga melalaikan shalat subuh, sibuk berbuka puasa sehingga melupakan shalat magrib. Para pelaku hal ini biasanya derivasi dari orang-orang yang berlebihan dalam makan atau minum, baik pada waktu buka ataupun pada saat sahur. Sebab cara pandang mereka terhadap puasa tak lebih dari “agar badan saya tetap fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan yang banyak, tidur yang banyak sehingga saya tidak loyo”. Kecenderungan terhadap hak-hak badan yang over (berlebihan).

Kelima,
menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan. Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat dari sebuah hadis Rasul yang berbunyi “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Memang selintas perilaku tidur di siang hari adalah syah dengan pedoman hadis di atas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksudkan oleh hadis di atas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan untuk sekedar menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekedar bermalas-malasan, sehingga tak heran bila sebagian besar umat ini bermental loyo saat berpuasa Ramadhan.

Tidur itu diniatkan untuk menghindari aktivitas yang? Bila tidak tidur dikhawatirkan akan melanggar rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal ghibah (menggunjing), menonton acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata dan sebagainya.

Keenam,
meninggalkan shalat tarawih tanpa udzur/halangan. Benar bahwa shalat tarawih adalah sunnah tetapi bila dikaji lebih seksama niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus shalat tarawih adalah sesuatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunnah d ibulan ini diganjar sama dengan amalan wajib.

Ketujuh,
Masih sering meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah tanpa udzur/halangan (terutama untuk laki-laki). Hukum shalat fardhu secara berjamaah di mesjid di kalangan para fuqaha’ adalah fardhu kifayah, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain, berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang mengisahkan bahwa beliau rasanya ingin membakar rumah kaum muslimin yang tidak shalat berjamaah di mesjid, sebagai sebuah ungkapan kekecewaan beliau yang dalam, atas keengganan umatnya pergi ke mesjid untuk berjama’ah.

Kedelapan,
bersemangat dan sibuk beribadah sunnah selama Ramadhan tetapi setelah Ramadhan berlalu, shalat lima waktu masih tetap saja dilalaikan inipun contoh dari orang yang tertipu dengan Ramadhan, hanya sedikit lebih berat dibandingkan poin-poin di atas. Karena mereka hanya beribadah di bulan Ramadhan, itupun yang sunnah-sunnah saja, semisal shalat tarawih dan setelah Ramadhan berlalu, berlalu pula ibadah shalat fardhunya.

Kesembilan,
semakin jarang membaca al-Quran dan maknanya. Semakin jarang bershadaqah. Tidak termotivasi untuk banyak berbuat kebajikan. Tidak memiliki keinginan dihatinya untuk memburu malam Lailatu al-Qadar. Hal-hal tersebut secara umum adalah indikasi-indikasi kecilnya ilmu, minat dan apresiasi yang dimiliki oleh seeseorang terhadap bulan Ramadhan, Karena semakin besar perhatian dan apresiasi seseorang kepada Ramadhan, maka sebesar itu pula ibadah yang dijalankannya selama Ramadhan.

Kesepuluh,
biaya belanja dan pengeluaran (konsumtif) selama bulan Ramadhan lebih besar dan lebih tinggi daripada pengeluaran di luar bulan Ramadhan kecuali bila biaya pengeluaran itu untuk shadaqah. Lebih menyibukkan diri dengan belanja baju baru, cemilan dan masak-memasak untuk keperluan hari raya  daripada amalan puasa.

Orang-orang yang tertipu oleh “Fatamorgana Ramadhan” betapa tidak? Pada hari-hari puncak Ramadhan mereka malah menyibukkan diri mereka dan keluarganya dengan belanja ini-itu, substansi puasa yang bermakna menahan diri, justru membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi “produk Ramadhan” yang nampak begitu konsumtif, memborong apa saja yang mampu mereka beli. Tak terasa ratusan ribu hingga jutaan rupiah mengalir begitu saja, padahal di luar Ramadhan, belum tentu mereka lakukan. Semoga sentilan yang menyatakan bahwa orang Islam tidak konsisten dengan agamanya, karena di bulan Ramadhan yang seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat konsumerisme dan cenderung boros, dapat menggugah kita dari “fatamorgana Ramadhan”.

Semoga Allah menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang kerap kali menghinggapi mayoritas umat ini, amin. Hanya dengan keikhlasan perenungan dan napak tilas Rasul SAW insya Allah kita mampu meng-up grade (naik kelas) puasa kita.


Oleh : Drs. Cecep Sudirman Anshari, M.A

Leave a Reply

Your email address will not be published.