Ibadah Haji Sebagai Wahana Pembelajaran Dialogis dengan Al-Haqq Menuju Internalisasi Haqq

Ibadah Haji  Sebagai Wahana Pembelajaran Dialogis 

dengan Al-Haqq Menuju Internalisasi Haqq

 

(Sebuah Refleksi Maknawi dari Manasik Haji)

Oleh: Aam Abdussalam.

Sidang Ied yang mulia.

Mengawali khutbah ini, tidak ada kata yang paling mulia, tidak ada ungkapan yang paling indah, kecuali ungkapkan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Inilah ungkapan yang mampu memenuhi relung-relung hati dengan rasa kagum dan bangga kepada-Nya. Merupakan sebuah keniscayaan apabila takbir, tahlil, dan tahmid memenuhi setiap sudut alam semesta, baik alam makro maupun mikro. Betapa tidak, semua adalah milik-Nya yang hadir karena kuasa dan kesempurnaan ilmu-Nya. Satu bintang di langit, setetes air di lautan, hingga satu sel dalam diri manusia, semua mewujudkan sebuah jaringan kerja yang unik, kompleks, sistemik, dan integratif. Semuanya menjadi bukti akan kebesaran dan keagungan Allah Azza wa Jalla..

Pada hari yang mulia ini, takbir, tahlil, dan tahmid membahana di mana-mana. Dengan sepenuh hati dan kesadaran, kaum Muslimin di berbagai belahan dunia mengumandangkan kalimat-kalimat suci ini berulang-ulang. Selayaknya hati orang beriman hanya diisi dengan kebesaran dan keagungan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang layak disetarakan dengan keagungan-Nya. Semua makhluk yang hadir di alam ini membawa berbagai pesan yang dibutuhkan oleh manusia. Pesan tertinggi yang dibawanya adalah bahwa keagungan, nikmat, dan kekuasaan adalah milik Allah semata. Semua fenomena alam dan kehidupan dihadirkan sebagai wahana pembelajaran agar manusia mampu memahami, menginternalisasi, dan mengaktualisasikan pesan-pesan yang dikandungnya.

 

 

 

Sidang Ied yang mulia.

Nabiyullah Ibrahim adalah sosok manusia agung yang dibelajarkan oleh Rabb-nya. Allah Al-Haqq membimbing Nabi Ibrahim as. melalui dialog dengan menjadikan fenomena alam sebagai media. Al-Quran mengabadikan dialog intensif ini agar menjadi bahan renungan, bimbingan, dan pembelajaran bagi generasi penerusnya. Dengan demikian, sebagai pewaris ajaran ketauhidan, para pendidik harus mampu memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. dalam seluruh proses pendidikan dan pembelajaran sepanjang masa.

Mari kita meneladani Nabi yang dijuluki ”Khalilullâh” atau ”Kekasih Allah” ini.

Hidup dalam budaya ”materialistik” yang menyandarkan pemikirannya pada dunia kasat mata, Ibrahim muda telah merasakan adanya ketimpangan pemikiran di dalam kehidupan kaumnya. Pada masa itu, pemikirin hanya terfokus pada yang hal-hal indrawi semata sehingga tuhan pun dipersonifikasikan dengan benda yang diciptakannya sendiri. Bahkan, ayah Ibrahim sendiri, yaitu Azar, berprofesi sebagai pembuat patung. Patung tersebut kemudian dijadikan tuhan yang disembahnya.

Di tengah budaya seperti itu, Ibrahim dengan fitrah insaniyahnya yang masih lurus, bangkit menggugat dan melakukan peninjauan ulang. Dengan mengamati fenomena alam, Ibrahim as. melakukan dialog untuk mencari kebenaran sejati (haqq). Pada awalnya, Ibrahim as. mengikuti metode pengamatan indrawi (ru’yah) untuk mencari kebenaran tertinggi (Al-Haqq) dalam wujud benda-benda. Namun, aneka jawaban yang ia dapatkan tetap saja tidak memuaskan. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tuhan bukan seperti yang dipersonifikasikan dalam bentuk benda-benda. Benda langit yang tampak begitu sempurna pada akhirnya mati. Ia timbul tenggelam. Ada lalu tiada. Padahal, Tuhan dalam benak Ibrahim as. tidak seperti itu. Akhirnya, Ibrahim as. membebaskan dirinya dari pemikiran yang mengakumulasikan kebenarannya pada hal-hal indrawi semata. Ia keluar dari budaya berpikir kaumnya untuk memastikan adanya kebenaran yang lebih tinggi di balik fenomena alam yang kasat mata tersebut. Ia memastikan adanya Zat Pencipta Yang Mahabesar di belakang semua fenomena alam yang terindra olehnya. Allah Swt. kemudian mengabadikan proses pencarian ketuhanan ini dalam Al-Quran; Surat Al-An’âm ayat 75-79.

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, dan (Kami memprlihatkannya) agar ia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang, ia berkata, ’Inilah Tuhanku’. Tetapi ketika bintang itu tenggelam, ia berkata, ’Aku tidak suka yang tenggelam’. Tetapi setelah bulan itupun terbenam, ia berkata, ’Sungguh, jika Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang sesat’. Kemudian ketika ia melihat matahari terbit, ia berkata, ’Inilah Tuhanku, ini lebih besar’. Maka ketika matahari pun terbenam, ia berkata, ’Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutuhkan. Sesungguhnya aku hadapkan diriku kepada  Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan penyerahan secara penuh, dan aku tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’.(Q.S Al An’aam 6 : 75 -79)

Rangkaian ayat ini menggambarkan pengembaraan pemikiran Nabi Ibrahim as. yang sangat dramatis. Setelah ia merasa lelah dalam petualangan mencari Tuhan, ia pun memohon petunjuk agar dibimbing untuk menemukan kebenaran sejati. Setelah ia sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak mungkin memiliki sifat-sifat berubah seperti makhluk, ia pun memutuskan untuk membebaskan diri dari segala kemusyrikan yang menjadikan makhluk sebagai Tuhan. Tidak hanya sampai di sana, Ibrahim as. mengikrarkan diri untuk mempersembahkan hidup dan matinya kepada Zat Yang Menciptakan langit dan bumi.

Proses dialogis fantastis ini disajikan oleh Al-Quran agar menjadi bimbingan bagi manusia dalam melakukan pengamatan terhadap fenomena alam dan mengembangkan pemikirannya. Jika pemikiran dan kebenaran hanya berakumulasi pada hal yang kasat mata dan indrawi, hasil akhirnya adalah mempertuhankan makhluk itu sendiri. Betapa tidak, fitrah ketuhanan inheren pada semua makhluk yang namanya manusia sehingga di mana pun dan kapan pun ia akan cenderung mencari sesuatu yang dapat dipertuhankannya. Jika prinsip keteramatan dan keterukuran secara indrawi hanya dimaksud untuk membedakan kebenaran ilmiah dengan kebenaran diniyah, keterlibatan Tuhan dalam ciptaan-Nya menjadi sangat dibatasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai pemikiran sekular di dunia modern. Kedua pemikiran ini bertentangan dengan prinsip tauhid yang dibawa oleh sosok Ibrahim as. beserta para rasul penerusnya.

Prinsip tauhid memandang alam dan kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh (komprehensif dan integratif). Pandangan tauhid tidak mengakui adanya peristiwa atau fenomena alam yang melayang keluar dari sistem integratif ini. Bagaimana mungkin kita memisahkan dan membeda-bedakan hal-hal yang tercipta dalam satu kesatuan? Bukankah semuanya hadir karena iradah dan kuasa-Nya? Bukankah semua ada dalam genggaman-Nya? Maka, Al-Quran pun menegaskan bahwa tidak ada selembar pun daun yang jatuh dari pohonnya melainkan ia ada dalam kontrol Allah Swt. (QS Al-An’âm, 6:5). Al-Quran menghubungkan pula antara istighfar (doa) dengan turunnya hujan (QS Nuh, 71:10). Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Dr. Masaru Emoto tentang perubahan molekul air ketika dibacakan doa dan mantera kiranya cukup menjadi bukti akan kebenaran prinsip ketauhidan ini.

 

 

Sidang Ied yang mulia.

Ibadah haji adalah pembelajaran teramat intensif yang akan membawa manusia menemukan Kebenaran Tertinggi (Al-Haqq). Di dalam ibadah haji, proses dialog dengan Al-Haqq berlangsung begitu dekat dan intensif. Maka, setiap Muslim yang berhaji sejatinya adalah orang-orang yang mendapat kehormatan yang teramat besar dari Yang Maha Rahmân. Mereka pun dipanggil sebagai ”Tamu Ar-Rahmân” atau ”Dhuyufurrahmân”. Allah Ta’ala menghormati para tamu undangan-Nya dengan jamuan terbaik; namanya dimuliakan, derajatnya ditinggikan, pahala ibadahnya dilipatgandakan, doa-doanya dikabulkan, dosa-dosanya pun digugurkan bagaikan gugurnya daun-daun dari tangkainya. Adapun harta, tenaga, dan waktu yang diluangkan, Allah Ta’ala akan menggantinya dengan yang ganti lebih baik. Jamuan dari Allah kepada para tetamu-Nya pun terlihat jelas dalam rangkaian ibadah haji beserta semua kenyataan yang ditemui di Tanah Haram. Semua itu adalah proses pembinaan untuk menjadikan manusia makin berkualitas hidupnya. Dengan jamuan tersebut, Allah Ar-Rahmân seakan mengajak segenap hamba-Nya untuk berdialog. Apabila ia mampu menyantap jamuan-Nya dengan lahap, senang, dan hati yang puas, para tetamu Allah pasti akan merasakan kehadiran Rabb-nya yang begitu dekat dalam realitas hidup yang tengah dialaminya.

Ketika seorang jamaah merasa kuat menghadapi terpaan udara dingin misalnya, ia berkata dalam hatinya saat melihat orang lain mengenakan masker, “Aneh, dalam cuaca sedingin ini harus pakai masker segala!” Ia merespons jamuan Allah yang diperlihatkan kepadanya dengan perasaan takabur. Ia merasa diri lebih kuat dan lebih sehat daripada orang lain. Namun, apa yang terjadi? Allah Swt. memperlihatkan kekuasaan-Nya. Dalam hitungan jam, yang bersangkutan terkena flu yang lebih berat sehingga harus menggunakan masker yang lebih ketat dibandingkan orang yang ”diremehkannya” tadi. Ada pula seorang ibu yang kehilangan sandal di depan pintu Masjidil Haram sampai tiga kali dalam sehari. Setiap kali sandalnya hilang, ia pasrah dan hanya berkata, “Jangankan sekadar sandal, diri kita juga bukan milik kita”. Apa yang terjadi? Sesampainya di hotel, ia mendapati ketiga pasang sandalnya yang hilang tadi telah terusun rapi di depan pintu kamarnya. Subhanallâh. Peristiwa-peristiwa semacam ini merupakan jamuan dari Allah Swt. untuk mengajak hamba-Nya berdialog sehingga ia mampu melihat betapa dekatnya Zat Yang Mahakuasa dengan dirinya. Memang, demikianlah keadaannya, Allah Ta’ala benar-benar hadir, Dia benar-benar terlibat dan teramat sayang kepada hamba-hamba-Nya.

Ada banyak pengalaman lain dari para jamaah yang lebih dramatis dan mengesankan. Sekali lagi, semua itu hadir sebagai sebuah jamuan untuk membelajarkan hamba-Nya agar terjadi dialog batiniah yang intens. Tujuan utamanya adalah agar mereka mampu melihat kehadiran dan keterlibatan Ar-Rahmân yang tengah menjamunya.

Hakikat dari kejadian tersebut, di mana pun dan kapan pun, sejatinya sama dan serupa. Melalui berbagai peristiwa yang dialami manusia, Allah Swt. ingin membelajarkan manusia, mengajak berdialog, membimbing pikiran dan emosi, sehingga ia bisa semakin kenal dan dekat dengan-Nya. Melalui limpahan nikmat yang diterima ataupun aneka musibah yang menimpa, Allah Swt. senantiasa membelajarkan manusia. Melalui jabatan yang didapatkan atau hilangnya jabatan, Allah Swt. sedang membelajarkan dan mengajak berdialog agar manusia semakin dekat dengan-Nya. Dengan hadirnya kesadaran seperti itu, nikmat yang kita peroleh akan lebih berlimpah dan penuh makna. Musibah yang menimpa pun akan berubah menjadi kebaikan yang semakin mendewasakan. Maka, dalam menghadapi semua kenyataan tersebut, manusia hanya pantas berucap.

Ya Allah aku penuhi harapan-Mu, ya Allah. Aku penuhi, tidak ada sesuatu pun yang pantas disetarakan dengan-Mu, ya Allah. Sesungguhnya semua pujian (kemuliaan), nikmat dan kekuasaan adalah hanya milik-Mu, ya Allah. Tidak ada sesuatu pun yang layak disetarakan dengan-Mu, ya Allah.

 

Profesi pendidik adalah sebuah kemuliaan yang Allah karuniakan sehingga tidak layak kita mengklaimnya sebagai milik pribadi. Semuanya milik Allah sehingga tidak pantas digunakan untuk mengagungkan dan menghebatkan diri. Kenikmatan ini harus menjadi jalan untuk memuliakan nama-Nya. Nikmat berupa fasilitas hidup pun tidak layak kita klaim sebagai milik sendiri. Semuanya milik Allah sehingga tidak pantas digunakan hanya untuk membanggakan diri kita di hadapan manusia lain. Semuanya harus menjadi jembatan untuk mengagungkan asma’ Allah. Kekuasaan dan jabatan yang kita peroleh adalah milik Allah sehingga tidak pantas diklaim sebagai milik diri atau menjadi alat untuk mengagungkan diri. Semuanya harus menjadi jalan untuk mengagungkan Allah. Semuanya harus dikembangkan  dalam rangka  memuliakan, membanggakan, dan mengagungkan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang layak disetarakan dengan-Nya.

Nilai tauhid inilah yang menjadi inti dalam seluruh pembelajaran, baik pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan nyata maupun pembelajaran yang dirancang secara lebih spesifik. Nilai inti inilah yang akan menjamin pengembangan kepribadian utuh sebagai insan kamil. Nilai inti ini memiliki daya kendali yang sangat kuat bagi pengembangan seluruh nilai kebaikan. Kejujuran, ketulusan, kedamaian, toleransi, kasih sayang, keadilan, keteladanan, dan sebagainya hanya bisa terwujud dengan baik apabila mengakar pada nilai tauhid yang lurus; nilai tauhid yang tidak menyetarakan sesuatu pun dengan Allah Azza wa Jalla.

 

 

Sidang Ied yang mulia.

Ibadah haji adalah proses pembelajaran dialogis yang sangat intensif. Semuanya ditujukan agar manusia menemukan hakikat tertinggi (Al-Haqq) secara lebih nyata dan dekat. Melalui pertemuan maknawi tersebut, manusia diharapkan lebih merasakan kehadiran Al-Haqq dalam kehidupannya.

Ibadah haji dimulai dengan mengenakan kain ihrom. Ritual ini membawa pesan bahwa para haji harus melucuti seluruh atribut duniawi, sekaligus memasuki ruang hampa raga tapi penuh makna. Semua kenyataan yang terlihat, terdengar, bahkan yang telintas dalam pikiran harus mengantarkannya pada makna yang paling esensial. Dalam keseluruhan situasi tersebut, Allah Swt. sedang berdialog dengan para tamunya dengan sangat mesra.

Inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Di tempat yang dimuliakan ini, secara ragawi, tidak ada ibadah khusus yang sangat ditekankan selain berdiam diri menunggu waktu tergelincirnya matahari. Ini artinya, semua aktivitas batiniah harus terjadi dengan lebih dahsyat tanpa harus terganggu dengan aktivitas ragawi. Sekalipun raga duduk di atas tanah, batiniah kita diharapkan terus berputar di sekitar Arasy mendekati Allah Azza wa Jalla. Hitunglah semuanya dari awal sampai akhir, sehingga semuanya jelas: Bagaimana warna wajah kita di hadapan keagungan Allah? Dari usia kita yang sudah lama menghuni bumi Allah, berapa tahunkah kita sudah baligh? Selama baligh tersebut, berapa tahun kita telah mampu melaksanakan shalat dengan baik? Berapa tahun kita telah menambahnya dengan amal-amal sunnat? Berapa tahun kita telah mampu berbuat baik kepada kedua orangtua? Berapa banyak kita telah berbuat kepada keluarga, kerabat, sahabat, dan tetangga?  Berapa banyak orang yang pernah kita ganggu haknya? Berapa banyak orang yang pernah kita sakiti hatinya? Hitunglah semuanya sampai kita benar-benar memahami kedudukan diri di hadapan Ar-Rahmân; Zat yang tengah menjamu dan membelajarkan kita. Inilah kedahsyatan Arafah sehingga ia dijadikan sebagai inti dari ibadah haji. Apabila terjadi aktivitas batiniah semacam itu, seseorang akan keluar sebagai orang yang bersih dari dosa.

 

 

Sidang Ied yang mulia.

Balang jamarat adalah simbol perjuangan hidup yang harus terus dinamis. Ada banyak kendala, halangan, dan rintangan yang bersifat destruktif yang harus dihadapi manusia dalam menjalani hidup. Hal ini sangat wajar karena manusia pun ada yang berkarakter setan (QS An-Nâs) sehingga menjadi gangguan bagi manusia lainnya. Dalam menghadapi semua kenyataan yang bersifat destruktif (munkar) tersebut, seorang Muslim harus peduli. Ia harus mampu mengambil posisi yang jelas, harus mampu mengatakan yang hak, dan harus mampu menangkal kebatilan. Jika tidak, kebatilanlah yang akan mengambil posisi untuk menutupi yang hak.

Nabiyullah Ibrahim as. adalah contoh yang sangat baik. Walaupun harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri, ia tetap mengambil posisi yang jelas, tidak bersikap abu-abu atau bersembunyi dari kegalauan yang terjadi. Secara dialogis, ia berkata tegas tentang kebenaran dan kesesatan. Keberanian, kelugasan, ketulusan, dan kesungguhan beliau tergambar dalam dialog berikut:

 

”Sesungguhnya Kami telah menganugerkahkan hidayah kebenaran kepada Ibrahim sebelum Musa dan Harun. Ingatlah, ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, ’Patung-patung apakah yang kalian sembah dengan tekun ini?’ Mereka menjawab, ’Sejak dahulu kami menjumpai bapak-bapak kami menyembahnya’. Ibrahim berkata, ’Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata’. Mereka menjawab, ’Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main saja?’ Ibrahim berkata, ’Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan langit dan bumi. Dialah yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang yang dapat memberi bukti atasnya. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.” (Q.S. Al Anbiyaa’ 21: 51 -57 )

 

Pada saat dunia pendidikan dilanda kegalauan moral yang mengkhawatirkan, para pewaris ajaran Ibrahim as. (ajaran tauhid) harus mampu mengambil posisi yang jelas dan lugas, serta mampu menampilkan kebenaran sebagaimana mestinya. Ketika tawuran antar pelajar merajalela, pendidik kehilangan daya spiritualnya, tokoh agama  kehilangan kharismanya, masyarakat pun terseok-seok mengikuti amarahnya. Saling serang dan saling membakar seakan menjadi cara ”terbaik” untuk menyelesaikan aneka masalah. Jika demikian, siapa lagi yang akan peduli kalau bukan para pendidik Muslim yang mewarisi ajaran Nabi Ibrahim as.?

Maka, di bawah lantunan takbir, tahlil, dan tahmid, tidak ada yang lebih besar dan lebih penting daripada mematuhi dan menyelaraskan diri dengan nilai-nilai ketauhidan tersebut. Jika tidak, lantunan takbir, tahlil, dan tahmid hanya menjadi ungkapan kosong yang jauh dari makna. Para pendidik Muslim dari berbagai kalangan harus mampu berdialog secara elegan sehingga wajah kebenaran tetap tampil dengan wajah aslinya.

 

 

Sidang Ied yang mulia

Agar manusia memiliki kekuatan untuk mengendalikan kehidupan sehingga kehidupan dapat berjalan sesuai dengan jalan yang ditetapkan Al-Khalik, ia harus melakukan prosesi tawaf dan sa’i secara terus menerus. Tawaf dan sa’i adalah simbol dari gerak alam dan kehidupan dalam mempertahankan eksistensinya. Dari mikrokosmos sampai makrokosmos; dari perputaran milyaran galaksi yang tiada terukur besarnya dan luasnya hingga pergerakan proton dan neutron pada inti atom yang tiasa terkira kecilnya; semua berada pada kesinambungan yang sangat mengagumkan. Sebagaimana gerak putaran bumi, bulan, dan matahari pada porosnya, semua berputar, bergerak, bertasbih dengan bahasa tubuhnya masing-masing. Gerak inti alam adalah berputar (tawaf) dan bolak-balik (sa’i). Selama alam semesta bergerak sesuai hukum yang telah ditetapkan oleh Khaliknya, selama itu pula ia akan tetap bertahan dalam manzilahnya. Namun, apabila gerak tersebut menyimpang sedikit saja daripadanya, ia pun akan hancur binasa.

Semua makhluk eksis dengan mempertahankan geraknya yang proporsional dan stabil. Aktivitas gerak yang paling dahsyat pada diri manusia adalah gerakan hatinya. Gerakan hati ini akan mampu melampaui seluruh gerak yang dimiliki oleh alam. Itulah mengapa, manusia dapat memegang kendali akan kesinambungan atau pun kehancuran alam. Hati manusia seharusnya berputar (tawaf) dan bolak-balik (sa’i). Berputar, berarti manusia harus menggerakan hatinya dari fenomena alam atau gejala kehidupan menuju kepada Rabbnya. Jangan membiarkan hatinya berlama-lama mengendap pada alam, sebab akan mengakibatkan hatinya tercemari kotoran. Bersegeralah untuk ”menerbangkan” hati menuju Arasy menemui Rabb agar pengaruh-pengaruh alam dapat segera dinetralkan. Bolak-balik, berarti manusia langsung menerbangkan hatinya secara terus menerus dengan perantaraan zikir tanpa terlebih dahulu melewati fenomena alam atau peristiwa kehidupan lainnya. Inilah gerak yang paling dahsyat pada diri manusia. Inilah gerak yang akan mempengaruhi kualitas manusia. Semakin cepat dan stabil gerakan putaran dan bolak-balik hati kepada Rabb, semakin jernih hatinya dan semakin tangguh pula kepribadiannya.

   Di dalam Al-Quran, tidak kurang dari 700 ayat yang mengungkapkan tentang fenomena alam. Hampir semuanya diarahkan untuk membimbing manusia melihat kehadiran dan keagungan Allah Al-Khaliq. Oleh karena itu, dalam seluruh pengkajian fenomena alam melalui aktivitas pembelajaran, seyogyanya tidak hanya memutar otak untuk menemukan hukum-hukum alam. Kita pun harus memutar dan membolak-balikan hati agar penemuan kebenaran ilmiah alamiah disertai dengan penemuan Kebenaran Tertinggi (Al-Haqq). Jika penemuan kebenaran ilmiah alamiah dapat mengantarkan kepuasan nalar, penemuan Kebenaran Tertinggi akan menciptakan kepuasan batin dan keutuhan pribadi. Di sinilah fenomena alam sebagai ayat Allah benar-benar berfungsi sebagai ayat yang mampu membimbing pada Kebenaran Tertinggi yang ada di belakang setiap fenomena. Allah Swt. berfirman:

 

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia (Al-Quran) adalah benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?(Q.S. Fushshilat 41: 53 )

 

 

 

Sidang Ied yang mulia

Qurban adalah puncak pernyataan ketauhidan. Qurban adalah pembuktian penyerahan, ketaatan, dan ketulusan yang menempatkan Allah Swt. sebagai satu-satunya puncak pertaruhan. Qurban adalah pertaruhan cinta yang menempatkan cinta Allah di atas segala-galanya. Inilah nilai ideal yang harus diperjuangkan oleh seorang yang mengaku beriman. Tidak ada kecintaan kepada sesuatu pun yang layak disetarakan dengan kecintaan kepada-Nya. Qurban adalan ungkapan sekaligus pembuktian cinta yang menempatkan kecintaan kepada makhluk sebagai wahana pewujudan cinta kepada Khaliq.

Kita mencintai orangtua karena kebaikan dan kasih sayangnya yang sangat tulus. Kita mencintai seseorang karena akhlak atau kecantikannya, umpamanya. Kita mencitai diri kita karena kelebihan-kelebihan yang kita miliki. Akan tetapi, kita pun sadar, bahwa kebaikan dan kasih sayang orangtua, kecantikan atau kebaikan seseorang, dan kelebihan yang kita miliki hanyalah setetes saja dari lautan anugerah Allah Swt. Semua yang tampak dan terasa adalah pewujudan dari kebaikan dan kasih sayang Allah Swt. Maka, sangat logis, ketika kita mencintai sesuatu, cinta kepada Allah Ta’ala senantiasa berada di atasnya. Mengapa? Sebab, semua makluk yang kita cintai hanyalah anugerah dan kebaikan dari-Nya. Maka, sangat tidak wajar apabila kita mengakumulasikan cinta yang berujung pada makhluk itu sendiri. Jika demikian, kita telah melupakan pihak yang lebih layak dicintai, yaitu Zat yang memberi segala sesuatu yang kita cintai, bahkan Dialah yang memberi rasa cinta itu sendiri.

Secara sangat dramatis Nabiyullah Ibrahim as. telah mempertaruhkan segala cintanya untuk Allah semata. Bahkan. anugerah yang paling dicintai oleh manusia di atas cinta kepada segala anugerah lainnya, yaitu anaknya (Ismail), harus dikurbankan atas nama cinta kepada Allah. Adakah Ibrahim dimudharatkan dengan prilakunya tersebut? Tidak, sama sekali tidak. Tuntutan mencintai Allah hadir karena Allah teramat mencintai hamba-Nya. Penyerahan total kepada Allah merupakan jaminan kebaikan dan kemuliaan yang hakiki bagi setiap hamba. Kepuasan, ketenangan, kekuatan, keberanian, dan kebahagiaan dalam arti sebenarnya hanya akan dinikmati ketika manusia menempatkan semua pertimbangan, keputusan, dan tindakannya dalam rangka pewujudan cinta kepada Allah Azza wa Jalla.

Tuntutan cinta kepada Allah bukanlah tuntutan yang akan merenduksi apalagi memperkosa hak-hak kemanusiaan manusia. Tuntutan cinta kepada Allah adalah tuntutan nurani manusia yang paling sejati. Cinta kepada Allah tidak akan mengurangi kemanusiaan manusia. Cinta kepada Allah adalah bimbingan agar manusia senantiasa bermesraan dengan kasih sayang, ampunan, dan ridla-Nya.

Wajar apabila manusia mencintai keindahan, harta, dan jabatan, selama cinta tersebut ditempatkan sebagai jalan untuk merealisasikan cintanya kepada Allah Ta’ala. Hal yang tidak wajar adalah menumpukan cintanya hanya pada ujung-ujung makhluk. Hal tersebut dinyatakan tidak wajar atau bahkan dilarang karena cinta kepada makhluk hanya akan berakhir dengan kesengsaraan. Manusia yang melabuhkan cintanya pada ujung-ujung keindahan dan kehebatan makhluk, tanpa dijiwai dengan cinta kepada  Allah, derajatnya pasti akan jatuh di bawah makhluk atau benda yang tidak berakal. Ia akan menjadi budak dari makhluk atau benda yang dicintainya. Padahal, manusia diciptakan agar mampu tampil sebagai makhluk paling mulia dan unggul dalam mengelola alam beserta kehidupan.  Itulah sebabnya, Allah Ta’ala sangat cemburu kepada manusia yang hatinya mendua. Allah Swt. sangat sayang dan cinta kepada manusia. Dia tidak rela kalau manusia terjerumus pada kehinaan dan kenistaan. Maka, Allah Swt. mengingatkan manusia dengan sangat tegas:

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah, rasul-Nya dan berjihad di jalannya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan (akibat atau azab)-Nya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.(Q.S. At Taubah 9 : 24)

Allah Ta’ala begitu tegas menyatakan keharusan mencintai-Nya. Betapa tidak, inilah yang menjadi akar bagi berkembangnya segala kebaikan. Sebaliknya, cinta kepada dunia atau makhluk yang tidak dijiwai dengan cinta kepada Allah akan menjadi akar bagi segala keburukan. Rasulullah saw. bersabda, ”Hubbud dunya ra’su kulli khathi’ah; cinta dunia adalah pangkal segala keburukan.” Allah Ta’ala sangat sayang kepada manusia. Dia begitu cemburu kalau cintanya hanya dilabuhkan pada ujung-ujung materi karena akan menghancurkan manusia itu sendiri.

 

 

Sidang Ied yang mulia!

Haji merupakan proses pembelajaran dialogis yang sangat intens antara seorang hamba dan Rabbnya. Dimulai dengan memasuki ruang hampa raga (Ihram), semua jamaah diharapkan larut dalam dunia makna sampai benar-benar mengenal jati dirinya yang hakiki di hadapan Rabbnya (Arafah). Pada waktu itu, tidak ada sedikit pun noda yang layak disembunyikan atau dilewatkan. Semua harus dihamparkan secara terbuka di hadapan samudera rahmat dan ampunan-Nya. Di ujung proses dialog inilah seorang hamba tidak akan mampu menengadahkan wajahnya ke hadapan Rabbnya. Pengenalan dirinya yang menyeluruh di hadapan keagungan Rabb akan membuatnya malu mengangkat kepala dan menatap keagungan dan keindahan wajah Rabbnya.

Kondisi insani yang fitri tersebut harus dijaga dari segala pengaruh yang dapat merusak dan menodai kesuciannya. Segala halangan, rintangan, dan ancaman harus dihadapi dan dilawan secara gigih dan bijak (jamarat). Semuanya harus mengambil posisi yang jelas dan berani menegaskan sikap dan eksistensi dirinya di tengah-tengah kehidupan. Jangan ragu atau bersikap abu-abu, sebab sikap tersebut termasuk kemunafikan. Pastikan langkah dan kokohkan diri dengan melakukan tawaf dan sa’i secara terus menerus. Gerakanlah raga dan rasa sesuai bimbingan syariat. Jadikan semua yang ditemukan dan dilakukan raga sebagai jalan untuk memutar dan membolak-balikan hati kepada-Nya. Gerakkan hati (berputar dan bolak balik) yang konsisten dan stabil dalam mengelilingi Arasy-Nya akan membuahkan kekuatan dahsyat dalam menghidupi dan menghadapi hidupnya. Kekuatan tersebut adalah cinta.

Jika hati seorang hamba senantiasa berputar di sekitar Arasy untuk memadu cinta dengan Rabbnya, qurban akan menjadi kebutuhannya. Qurban akan menjadi pembuktian cinta seorang hamba kepada Rabbnya. Rasa suka atau cintanya pada dunia akan menjadi jalan untuk merealisasikan cintanya kepada Rabb. Semuanya akan dikendalikan dengan cinta kepada-Nya. Di sinilah seorang hamba akan menemukan ketenangan, kepuasaan, keberanian, kekokohan, dan kebahagiaan yang hakiki. Setiap saat ia akan bermesraan dengan kasih sayang, ridha, dan cinta Rabb kepadanya.

Apabila situasi psikologis seorang hamba senantiasa dibasahi dengan cinta kepada Rabbnya, kedatangan Wada’ (perpisahan) tidak akan mengagetkannya. Semua perjalanan dan periode kehidupan akan mengalir bagaikan air yang tanpa gejolak. Jangan ada rasa memiliki, sebab bisa membuat rasa berat saat berpisah. Jangan ada rasa sedih terhadap yang telah lalu, sebab semuanya dihadiri oleh sang Kekasih. Jangan ada rasa khawatir terhadap yang akan terjadi, sebab semuanya sudah ada dalam jaminan sang Kekasih. Dalam kondisi batiniah seperti itulah, seorang hamba sebaiknya pulang karena sang Kekasih telah menantinya.

Wahai jiwa yang tenang, kembalih kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.(Q.S. Al Fajr 89: 30 – 27)