Kebahagiaan Hakiki

Setiap kita, manusia dalam kehidupan ini selalu berusaha mencari sesuatu yang bernama bahagia. Setiap hari sejak matahari terbit dari arah timur, disambut oleh kicau murai di dahan dan kokok ayam di kandang, sejak dari petani yang turun ke ladang, para pedangang yang pergi ke pasar, para pelajar yang pergi ke sekolah, seluruhnya tidak lain hanya mencari sesuatu yang bernama bahagia. Tanpa harta orang memang sulit untuk bahagia, tapi harta semata-mata bukanlah jaminan lantas orang bisa bahagia.
Tidak lain bahwa kekayaan atau kebahagiaan yang hakiki adalah ketika kita dekat dengan Allah, merasa kehadiran Allah sangat dekat dalam kehidupan ini.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS: Ar-Ra’d Ayat: 28)

Baginda Rosulullah Muhammad SAW mengajarkan itu. Beliau punya sandaran vertikal, punya backing, backingnya tidak kepalang tanggung, yaitu Allah, melalui Apa? Melalui jalur ibadah. Pernah Siti Aisyah mengatakan satu malam selesai sholat Isya’ saya mau tidur, saya lihat Rosul sedang sholat sayapun tidur, tengah malam saya terjaga, saya lihat beliau masih sholat, saya tidur lagi 1/3 malam yang akhir saya bangun, saya lihat, beliau masih sholat, selesai beliau sholat saya hampiri beliau, saya katakan : “Ya Rasul. mengapa Engkau ibadah kepada Allah sampai tidak mengenal lelah.” mendengar teguran istrinya, Rasul menjawab: “Apa saya tidak senang kalau saya oleh Allah diberi gelar “Hamba yang pandai bersyukur” hamba yang tahu berterima kasih.”

Makin diampuni, makin banyak sujud, makin diampuni makin banyak sholat, ini prinsip beliau. Dosanya sudah mendapat jaminan ampun tapi sujudnya makin banyak. Dalam suatu riwayat disebutkan istighfarnya 100 x sehari semalam. Dalam riwayat lain 70 x sehari sernalam. Dosanya sudah dapat jaminan ampun tapi istighfarnya, mohon ampunnya kepada Allah, minimal 70 x sehari semalam, padahal beliau sendiri oleh Allah menjadi jaminan keselamatan buat ummatnya, dalam ayat disebutkan:
“Allah sama sekali tidak akan menurunkan adzab, selama engkau (Muhammad) masih ada dan hidup di tengah-tengah mereka.”

Maka kalau kita baca sejarah, bandingkan dengan Rasul-rasul terdahulu. Syari’atnya itu paten, tidak mau rnenerima dakwah, adzab turun. Lihat umatnya Nabi Nuh ketika menentang, habis ditelan banjir. Ada umat yang disumpah dan dikutuk menjadi monyet, ada yang ditenggelamkan di lautan, seolah-olah syari’at jaman dulu itu paten begitu penolakan, langsung adzab turun. Tapi Abu Jahal, Abu Lahab itu kalau dilihat, luar biasa kurang ajarnya kepada Nabi, kenapa tidak turun adzab? Nabi jaminan keselamatan, setelah tidak ada, apa jaminan keselamatan yang kedua?
Allah sama sekali tidak akan menurunkan adzab, selama diantara mereka masih banyak yang istighfar minta ampun kepada Allah.

Minimal tujuh puluh kali Rosulullah istighfar sehari semalam walaupun sudah mendapat jaminan ampun. Efek psikologisnya adalah lantaran ibadahnya beres Allah dekat, lantaran Allah dekat pertolongan selalu datang, lantaran ada pertolongan Allah bagaimanapun usaha kafir Quraisy mengucilkan perjuangan beliau tidak pernah berhasil. Mari kita lihat ketika terjadi perang Badar, tentara kafir menghadapi tentara Islam. Jumlah 3x lebih banyak, strategi militer yang manapun akan berkata: umat Islam hancur waktu itu. Sebagian sahabat sudah kecil hati, Nabi dengan tenang naik ke atas bukit, dengan tangan bergetar, penuh perasaan khusyu’ dan tawadhu beliau angkat tangan ke langit. Wahai Allah kalau kami kalah hari ini rasanya tidak akan ada lagi yang akan ruku’ dan sujud kepadamu . Ya Allah, kalau kami hancur hari ini tamat riwayat Islam. Tolonglah kami ya Allah, karena ibadahnya beres, pertolongan datang. Allah turunkan tentara kafir tidak melihat, malaikat turun membantu tentara Islam, sehingga jumlah yang lebih sedikit bisa menang menghadapi jumlah yang lebih besar. Dan itu bukan satu hal yang mustahil, sehingga Al Qur’an mengibaratkan:
Betapa banyak golongan yang kecil mampu menumbangkan golongan yang lebih besar dengan izin Allah.
Hanya kepadamu, Ya Allah kami menyembah dan hanya kepadamu ya Allah kami mohon pertolongan, artinya jikalau ibadah beres pertolongan Allah pasti datang.
Orang bisa saja teriak: “Saudara-saudara jangan takut Allah bersama kita, Allah maha besar, selain Allah kecil, jangan katakan pada Allah kita punya masalah besar tapi katakanlah pada masalah bahwa kita punya Allah yang maha besar.” Atau dengan kata-kata lain, laa ilaa ha illallah, kalau saya yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka saya tidak akan menyembah kecuali hanya kepada Allah, saya tidak akan mengadukan persoalan kecuali hanya kepada Allah, tidak akan melarikan persoalan kecuali hanya kepada Allah.

Mulut memang bisa bicara begitu, tapi kalau dia jauh dari Allah, tidak ada sandaran vertikal, tidak ada hubungan, mulutnya berkata begitu tapi hatinya perang antara keyakinan dan keraguan. Jadi keyakinan dalam arti visual. keyakinan yang kamuflase, keyakinan yang dibuat-buat untuk menghibur diri saja. Tidak berakar dari nilai hati yang paling dalam. Adapun Rasul ketika di gua Tsur bersama Abu Bakar, datang orang-orang Quraisy mencari beliau, beliau tenang dan berkata: Abu Bakar lidak usah takut jangan ragu, jangan sedih Allah Allah bersama kita.

Mantap, lantaran ibadahnya beres, dekat dengan Allah bukan hanya sekedar perasaan beliau, tapi memang hakekatnya demikian adanya.
Kalau nilai-nilai ibadah ini dilaksanakan dengan baik. Allah dekat, kalau Allah dekat maka: everything is runing well. Segalanya akan berjalan dengan lancar.

Kita beribadah tidak untuk menggembirakan Allah tetapi untuk kepentingan kita sendiri supaya ada keseimbangan. Bukankah manusia itu sendiri juga menganut sistem keseimbangan sebagai tujuan jangka pendek, tujuan jangka panjang. Dunia dengan segala isinya dan akhirat dengan ridha Allah keduanya kita ingin gapai, keduanya kita ingin bahagia, keduanya kita capai, keduanya kita ingin jaya oleh sebab itu dituntut kepandaian untuk membagi orientasi.

Bahkan Al Qur’an menekankan: Bahwa akhirat itu lebih utama daripada dunia artinya seperti pepatah: orang yang tanam padi, rumput akan ikut tumbuh tapi jika orang tanam rumput jangan mimpi akan tumbuh padi. Maksudnya kalau akhirat lebih diutamakan dunia mesti ikut, tapi kalau dunia yang diutamakan akhirat bisa jadi luput. Bukanlah orang yang terbaik orang yang menyia-nyiakan seluruh waktu dunianya cuma buat kepentingan akhiratnya. Sebagaimana juga lebih tidak baik orang-orang yang melalaikan akhiratnya, hanya karena kepentingan dunianya. Orang yang terbaik adalah yang pandai membagi waktu dan orientasi. Suatu saat dia tenggelam dalam kesibukan dunia dan seluruh isinya (giat bekerja dan berusaha), lain saat dia tenggelam memadatkan diri berhubungan kepada Allah untuk bekal di hari esok. Islam mengajarkan:

Bekerjalah kamu buat duniamu seolah-olah kamu bakal hidup buat selamanya, tapi jangan lupa, bekerja buat akhiratnmu, seolah-olah kamu akan mati besok.

Jadi kalau sudah di kantor, di tempat dagang, di tempat usaha anggaplah akan hidup buat selamanya, supaya timbul gairah kerja, tapi kalau sudah menghadap Allah, anggaplah kita akan mati besok, supaya timbul kekhusu’an dalam shalat.
Begitu juga hal membagi orientasi tadi, bekerja buat dunia seolah-olah kita akan hidup untuk selama-lamanya. Bekerja untuk akhirat seolah-olah kita akan mati besok, makanya Imam al Ghazali membagi manusia menjadi 4:

  1.  Ada orang bahagia di dunia bahagia di akhirat. Saya rasa ini target setiap muslim. di dunia rumahnya bertingkat, mobil mewah, isterinya cantik, punya perusahaan, uangnya berlipat, ibadahnya khusyu’. Dunia akhirat dia bahagia.
  2. Ada orang di dunia bahagia di akhirat celaka. di dunia rumahnya besar, hartanya banyak karena korupsi, manipulasi, tidak peduli halal haram yang penting perut kenyang, sikat terus dosa urusan belakangan katanya. Orang macam ini cuma sekedar bahagia dunia tapi celaka di akhirat.
  3. Ada orang tidak begitu beruntung di dunia tapi bahagia di akhirat. Rumahnya kadang-kadang kontrak, buat keperluaan sehari-hari kadang-kadang tutup lubang gali lubang, tapi kemiskinannya, kesulitannya tidak menghalangi dia untuk ibadah kepada Allah, orang ini cuma tidak begitu beruntung di dunia, di akhirat dia memperoleh kebahagiaan abadi.
  4. Ada orang celaka di dunia, celaka di akhirat. Rumahnya di pinggir kali, gubuk, di kolong jembatan, sudah begitu tidak pernah sujud, tidak pernah ngaji, tidak pernah hadir di majelis ta’lim, sudah di dunia celaka di akhirat pun dia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu paling kurang, target minimal, biarlah sederhana di dunia tetapi di akhirat menunggu kebahagiaan abadi, syukur kalau bisa, kebahagiaan dunia kita raih kebahagiaan akhirat kita nikmati. Genggamlah dunia ditanganmu hujamkan akhirat di hatimu.

Jadi jika kita ingin bahagia dalam hidup jangan jauh-jauh dari Allah. Takut kita kepada ular harus lari, takut kita dengan harimau jauhi, takut kita kepadaa Allah, dekati. Mau sukses dalam hidup jangan jauh-jauh dari Allah.

Dalam hadits Qudsi Allah berfirman: Wahai anak Adam, jika engkau mengingati-KU dalam dirimu, maka AKU akan mengingati mu dalam diri-Ku. Dan jika engkau mengingati-Ku dalam suatu majlis, maka Aku akan mengingatimu dalam majlis para Malaikat, Atau Allah berfirman: “Di tengah majlis yang lebih baik darinya” – Dan jika engkau mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadamu sehasta, dan jika engkau mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepada mu sedepa, Dan jika engkau mendatangi-KU dengan berjalan, maka aku akan mendatangimu dengan berlari kecil” (HR Bukhari dengan sanad-sanad nya Sahih)

 

Oleh, Selamet Nur Anom, S.Pd.