Pelajaran Amanah dari Kisah Urwah

Rasulullah saw bersabda: Kendati kehidupan kita di alam dunia hanyalah ibarat setitik air di lautan dibandingkan dengan kehidupan di akhirat. Tapi yang setitik air inilah yang menentukan selamat dan tidaknya di yaumil akhir nanti. Oleh karena itu sebagai seorang mukmin , kehidupan di alam dunia ini adalah amanah yang suatu saat nanti akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah di yaumil akhir.

Berkaitan dengan ini saya teringat dengan satu riwayat seorang tabi’in. Tabi’in adalah generasi yang tidak langsung berjumpa dengan Rasul, tapi mereka berjumpa dengan para sahabat. Namun tabi’in yang satu ini sangat istimewa, karena beliau masih termasuk cucunda Rasulullah saw, namanya adalah Urwah bin Zubair.

Suatu ketika Urwah bin Zubair mendapat tugas untuk menemui khalifah di Damascus. Beliaupun pergi dengan mengendarai seekor unta didampingi oleh anaknya yang masih kecil. Takut kalau beliau termasuk yang mendzolimi unta, kadang-kadang beliau turun dari punggung unta dan berjalan kaki, saat berjalan itulah diriwayatkan kakinya tertusuk pecahan tulang. Sampai di Damascus khalifah sangat terkejut, tamu yang sangat dimuliakan ini datang dengan kaki kirinya yang sudah bengkak, lalu dihadirkanlah empat orang tabib. Kesimpulan para tabib pada waktu itu, pecahan tulang ini sudah mengandung racun yang kini sudah menjalar sampai mendekati pangkal paha. Bagi dunia medis pada waktu itu tidak ada pilihan bagi para tabib kecuali harus mengamputasi kakinya. Alangkah berat hati khalifah menyampaikan hal ini, tapi kemudian mereka sangat terkejutnya ketika Urwah bin Zubair kemudian mengatakan dengan tenang: “Jika memang itu sudah keputusan para tabib, kenapa tidak segera dilaksanakan? ”. Maka disodorkanlah kepada dia secangkir minuman. Saat dia akan minum terciumlah aroma yang asin, lalu dia bertanya, “minuman apa ini?” Dijawab oleh para tabib: “ini khamer/minuman keras”. Ia bertanya lagi, “lalu apa urusan saya dengan barang haram ini?” Kata para tabib: “Kami akan mengamputasi kaki anda dari pangkal paha ini, tentu setelah nanti kami berhasil menggergaji kaki anda akan terjadi pendarahan yang sangat luar biasa, maka kami sudah siapkan kuali besar dengan minyak goreng yang sudah mendidih, kaki anda akan kami masukan kedalam kuali itu untuk menghentikan pendarahannya. Dalam bayangan kami manusia mana yang tahan dengan semua ini, maka kami sodorkan khamer ini dengan harapan mudah-mudahan agak berkurang rasa sakit itu”. Apa jawaban Urwah bin Zubair? “Buang barang haram ini dari depan muka saya, karena saya tidak pernah rela membiarkan setetes barang haram masuk kedalam tubuh saya, yang kemudian akan menjadi darah dan daging dalam diri saya. Dan yang kedua, saya tidak pernah ingin berpisah dengan Allah walaupun hanya satu detik. Jika saya mabuk artinya saya berpisah dengan Allah dengan sengaja”.

Sesuai dengan permintaannya, maka amputasi segera dilakukan tanpa minuman keras. Konon beliau sempat pingsan. Bangun dari pingsannya, kemudian dia mengatakan pada khalifah: “Wahai khalifah tentu saja saya belum mampu turun dari ranjang ini, maukah anda menolong saya?”. Khalifah menjawab, “ apa yang bisa saya tolong?”. Ia berkata lagi, “ Jika potongan kaki saya sudah dimandikan dan dikafani serta siap untuk dikuburkan, saya ingin menyentuhnya barang sejenak”. Sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu tinggi-tinggi, lalu ia mengatakan: “ Ya Allah, Alhamdulillah Engkau telah karuniakan saya dua kaki selama ini. Kini Engkau ambil salah satu di antaranya milikMu ya Allah, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, berakhirlah sudah amanah ini. Kelak kaki ini akan bersaksi di yaumil akhir nanti. Demi Allah saya tidak pernah sedetikpun membawa dia melangkah ke jalan yang tidak Engkau ridhoi”. Inilah yang ada dalam benak Urwah, yaitu dia harus yakin betul bahwa dirinya tidak pernah membawa kaki itu melangkah sedetikpun ke tempat maksiat. Karena kaki ini pasti akan dimintai pertanggungjawan oleh Allah dan kaki ini pasti akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT.

Baru saja potongan kaki itu diserahkan, muncul lagi pegawai khalifah menyampaikan bahwa anaknya yang masih kecil yang ikut bersama urwah ke Damascus, bermain dengan anak khalifah kemudian anak itu naik tembok lalu jatuh dan meninggal dunia. Kata Urwah, sekali lagi saya mohon pertolongan khalifah: “Jika anak saya sudah dimandikan, dikafani, sudah disholatkan dan siap untuk dikuburkan, ijinkan saya ingin menyentuhnya barang sejenak”. Setelah dibawa mayat anaknya, lalu disentuh dengan tangan kirinya sambil kemudian dia mengatakan: “Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah karuniai saya tujuh anak selama ini, mudah-mudahan saya sebagai ayahnya telah memelihara fitrah iman islam mereka. Kini engkau ambil salah satu di antaranya milikMu ya Allah, mudah-mudahan saya telah amanah dengan anak ini dan insya Allah saya akan berusaha untuk amanah terhadap enam yang telah Engkau sisakan”.

Hampir tidak ada setetespun air mata mengalir. Kemudian ketika banyak orang melihatnya akhirnya Urwah bin Zubair menangis. Mereka kemudian mengatakan, “kenapa akhirnya anda menangis wahai Urwah?” Urwah menjawab, “Demi Allah, Allah Yang Maha Tahu apa yang ada di dalam hati saya. Saya tidak pernah mungkin menangis karena Allah mengambil hak miliknya. Yang membuat saya menangis hanya satu, apakah masih mungkin besok lusa saya bisa beribadah dengan sempurna hanya dengan kaki yang tertinggal satu lagi ini? Mungkin kalau kemarin/dulu, jika akan pergi ke Masjid mendengar adzan saya bisa berlari dan melaksanakan shalat dengan gerakan sempurna. Namun besok mungkin saya akan tertatih-tatih dan tidak akan bisa melaksanakan gerakan shalat dengan sempurna lagi”.

Betapa di benak orang-orang yang sholeh/orang-orang yang beriman, mereka hanya ingin beribadah dan bagaimana berlaku baik terhadap semua amanah yang telah Allah berikan. Mudah-mudahan kisah ini bisa menjadi bahan tadzakkur dan bahan tafakur kita di hari yang Allah muliakan ini.