Kuantitas yang Berkualitas

Islam lebih memperhatikan kualitas dari pada kuantitas. Setiap mukmin dituntut untuk memberikan yang terbaik saat beraktifitas. Kuantitas baru akan memberikan nilai tambah ketika disertai kualitas, bila tidak, hanya akan menjadi beban. Assabiqunal awwalun adalah generasi yang berkualitas, dalam perang Badar meski jumlah pasukan Islam hanya sepertiga dari musuh, dengan pertolongan Allah dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Kekuatan mereka sama dengan sepuluh kali lipat dari musuhnya. Demikian pula tentara Thalut saat mengalahkan pasukan Jalut “ Berapa banyak kelompok kecil (yang berkualitas ) mampu mengalahkan kelompok besar (yang tidak berkualitas) dengan izin Allah. ( 2 : 150 ). Sebaliknya, dalam perang Hunain ummat Islam sempat terlena dengan jumlahnya yang besar, sehingga mereka menyangka tidak akan bisa dikalahkan, ternyata dalam serangan pertama oleh Hawazin (pasukan musuh) ummat Islam porak poranda, banyak yang melarikan diri, mengandalkan jumlah yang besar saja ternyata tidak banyak membantu, bumi yang luas terasa sempit, hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada ummat Islam karena para shahabat yang berkualitas tetap gigih berjuang. Jadi yang penting bukanlah jumlah manusia yang banyak, akan tetapi yang lebih penting adalah banyaknya jumlah orang-orang mukmin yang shaleh serta berkualitas.

Allah memberikan kesempatan hidup kepada kita sebagai arena ujian “ siapa yang paling baik amalnya “ (QS. 67 : 2), kita juga dianjurkan untuk menyimak setiap ucapan, namun mengambil hanya yang terbaik saja (QS. 39 : 18). Dalam sebuah hadist riwayat Baihaqi dijelaskan bahwa Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaannya dilakukan dengan optimal. Bahkan Nabi juga menganjurkan kita agar mempunyai cita-cita yang luhur, kalau meminta surga jangan tanggung-tanggung, mintalah surga Firdaus yang menjadi puncak semua surga, disini semangat kualitas kita temukan. Kalau kita berkompetisi dalam kebaikan, bukan antara siapa yang berbuat baik dengan yang tidak berbuat baik, tetapi siapa yang berbuat lebih baik dari yang baik.

Bila kita menelaah lembaran-lembaran Al-Qur’an, akan menemukan gambaran ideal ummat Islam yang disebut sebagai ummat terbaik (khoiro ummah) untuk melaksanakan fungsi amar ma’ruf nahi mungkar (QS. 3 : 110), ummat ideal yang penuh keseimbangan (ummatan wastha) agar bisa menjadi syuhada bagi ummat manusia (QS. 2 : 143), Yang mentauhidkan Allah dengan aqidah yang benar ( QS. Annahl : 36 ), ummat yang bersatu (QS. 3 : 103) baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, sejarah, bahasa, jalan hidup, dustur maupun pemimpin, sebagai ummat yang membimbing manusia dengan kebenaran (al-haqq) (QS. 7 : 181) dan gambaran-gambaran ideal lainnya yang kesemuanya menunjukkan makna kualitas.

Sangat disayangkan memang, kalau saat ini kenyataannya ummat Islam tidak mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa Barat dalam berbagai sektor kehidupan, terbelakang dalam percaturan dunia, hanya menjadi obyek, kehilangan identitas, bahkan menjadi korban pencitraan buruk oleh Barat. Tepat sekali gambaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW bahwa ummat ini akan menjadi sasaran serbuan bangsa-bangsa Barat, seperti makanan diatas nampan, bukan karena jumlah kita yang sedikit , bahkan kita banyak di berbagai Negara, dan kita mayoritas.

Memang sangat komplek permasalahan yang dihadapi ummat Islam, namun kita tetap patut bersyukur karena mempunyai pedoman jelas yang memberikan solusi yakni al-Qur’an dan sunnah nabi “ Aku tinggalkan kalian diatas ajaran Islam yang jelas, malamnya seperti siangnya, tidak seorang pun yang berpaling darinya kecuali binasa “. Karena itu kita mesti melihat permasalahan ummat dari sudut pandang kitabullah, yang dengannya Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan. (QS. 6 : 16) Di dalamnya ada konsep-konsep ajaran yang menyebabkan kita menjadi mulia dan jaya, bila diterapkan (QS. 21 : 10). Sedang yang berpaling darinya dijamin akan menemui kesempitan dalam urusan kehidupannya ( QS. 20 : 124 ).

Karena itu langkah pertama bagi ummat ini adalah meningkatkan kualitas, dan kuantitas interaksinya dengan al-Qur’an secara benar dan rutin agar jiwa dan fikiran kita mempunyai dhawabith quraniyah yang aksiomatik dari Allah SWT. Interaksi dengan al-Qur’an ini hendaknya tidak berhenti pada tingkat fikrah saja (pemahaman dan wawasan), tetapi mesti melintasi hati sehingga menumbuhkan aqidah yang benar dan kuat, menembus perasaan yang akan membangkitkan kesadaran akan perjuangan Islam serta membuahkan perbuatan yang tercermin lewat akhlak dan suluk dalam kehidupan. Itulah yang disebut sebagai generasi robbani (QS. 3 : 79) Kalau syarat utama ini tidak kita miliki, rasanya sulit untuk bisa mencarikan solusi terhadap berbagai permasalahan ummat lainnya, karena faqidussyai la yu’thi (orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberi ). Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh, Pandu Hyangsewu, M.Ag