Makna Shalat Berjamaah

Bulan Rajab adalah bulan yang Allah istimewakan dan Allah bedakan dengan bulan-bulan yang lain, sehingga Rasulullah berdoa di bulan Rajab. Keistimewan bulan Rajab yaitu ketika di Israkan dan di Mi’rajkannya Rasulullah Muhammad saw, yang diabadikan dalam Al Quran.

“Shalat itu tiangnya agama”. Sekalipun kita memilik genting, baja, kaca, dan berbagai ornamen untuk membangun sebuah rumah, tidak mungkin dapat kita jika ornamen-ornamen itu tidak memiliki tiang yang kokoh. Maka dari itu islam memberikan sebuah kelengkapan dengan Al Quran dan Hadits, karena Quran dan Hadits bukan semata-mata untuk orang mukmin saja, Al Quran bukan untuk orang Islam saja tapi Al Quran sebagai rahmatan lil’alamin yang berlaku luas untuk seluruh makhluk di muka bumi.

Shalat adalah hal yang paling utama. Dalam sistem nilai, jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lainnya shalat itu mendapatkan angka satu. Menunaikan ibadah haji itu penting tapi dalam sistem nilai ibadah hanya memiliki angka nol. Umroh juga mahal, tidak semua orang dapat berumroh, tapi dalam sistem nilai memiliki angka nol. Menunaikan zakat bagi orang yang mampu juga berat, namun andai kita menjalankannya, zakat dalam sistem nilai ibadah memiliki angka nol. Ibadah-ibadah itu akan berderet angka nol jika kita tidak benar mendirikan shalat yang dalam sistem nilai shalat itu memiliki nilai satu.

Kelak ketika kita di yaumul mahsyar, ketika Allah bertanya, yang pertama akan dihisab adalah shalatnya. Jika benar shalatnya, tidak akan ditanya tentang tanggung jawab dia sebagai dosen, karena dosen yang benar shalatnya akan benar pula tanggung jawabnya, seorang Walikota tidak akan ditanya tentang jabatannya jika dia telah benar shalatnya, seorang istri tidak akan ditanya tentang peran dan tanggung jawab seorang istri dari suaminya jika dia telah benar shalatnya. Apapun jabatannya, benar dan tidaknya akan tergantung sekali baik dan buruknya ia mendirikan shalat. Maka jika telah benar shalatnya yang dalam sistem nilai memilki nilai angka satu, lalu kita berhaji maka akan mendapatkan nilai sepuluh, jika kita umroh yang nilainya nol akan menjadi seratus, jika zakatnya dijalankan nol itu bertambah akan menjadi seribu dan ibadah-ibadah yang lainnya akan terus melengkapi nilai ibadah kita jika shalat telah dilakukan dengan benar.

Pemilihan legislatif telah selesai, kita semua mendapatkan pengalaman. Sebagai masyarakat, kita memiliki pengalaman dengan pemilihan. Bagi para caleg yang terpilih, mereka memiliki pengalaman dan bagi caleg yang gagal pun mereka mendapatkan pengalaman. Insya Allah pada bulan Juli yang akan datang kita akan memilih pemimpin negara (presiden RI). Memilih pemimpin dan tanggungjawab pemimpin, tanggungjawab masyarakat sebagai makmum ternyata telah dicontohkan dalam shalat berjamaah. Shalat jamaah memiliki dimensi nilai politik, demokrasi dan kepemimpinan. Ketika di Masjid akan melaksanakan shalat berjamaah, shaf demi shaf telah berbaris rapih dan muadzin telah mengumandangkan iqamah, tetapi belum ada orang yang berani menempati sajadah yang hanya satu lembar saja, karena sajadah yang satu lembar itu hanya akan ditempati oleh seorang imam. Seorang pemimpin yang qualified, yang berilmu, yang berpengalaman dan yang memiliki kepatutan dia sebagai imam dalam shalat berjamaah. Andai shalat berjamaah ini ditarik menjadi sebuah dimensi politik, dimensi pemerintahan dan demokrasi, insya Allah negara kita akan aman jika kita mencontoh bagaimana etika shalat berjamaah.

Terkadang ketua DKM memberikan kesempatan kepada jamaah yang bergelar doktor, tetapi yang bergelar doktor tidak mau menjadi imam karena ada orang yang lebih tua, kemudian orang yang lebih tua tidak mau menjadi imam karena kebetulan dia sedang sakit, ia pun memberikan kesempatan kepada seorang Profesor, seorang Profesor merasa tidak capable untuk menjadi imam, ia pun memberikan kesempatan kepada sarjana yang baru dilantik yang umurnya baru 26 tahun namun bacaan Qurannya tartib, tajwidnya benar, suaranya merdu dan ia bersuara lantang pantas memimpin jamaah yang banyak. Imam itupun maju menempati sajadah yang hanya satu lembar saja. Di belakangnya ada orang-orang yang berilmu, militer, jaksa dan lain sebagainya sebagaimana masyarakat, shaf demi shaf terdiri dari tipe-tipe masyarakat yang siap dipimpin walaupun pemimpinnya berusia muda.

Ketika pemimpin itu kedepan, tidak ada satupun makmum yang berjamaah itu suaranya lebih keras dari imam. Kemudian imampun membaca Fatihah, ketika selesai membaca Fatihah, semua jamaah menjawab ‘Amiin’. Kenapa menjawab amiin? Karena imam bacaannya baik, karena kesehariannya dapat ditauladani, karena suaranya merdu pantas dijawab.

Keltika seorang imam melakukan kesalahan, misalnya dalam ruku atau sujud, salahnya seorang imam diingatkan oleh jamaah tidak dengan kekerasan melainkan dengan bahasa yang sopan dan santun. Ketika imam ruku, jamaah yang ada dibelakangnya tidak mendengar apa-apa, hidungpun tidak mencium apa-apa tapi ternyata imam tidak itu mampu menyelesaikan shalatnya lalu ia pergi meninggalkan sajadah, ia keluar dari tempat kepemimpinannya, karena apa? Karena dia telah keluar hadats walaupun yang membatalkan itu tidak terdengar oleh masyarakat, tidak tercium baunya oleh masyarakat tapi pemimpin yang yang telah keluar dari sumpahnya ia akan keluar dari sajadahnya. Jika shalat berjamaah diterapkan oleh seorang pemimpin, ketika melakukan sebuah kesalahan, tanpa diketahui oleh masyarakat, lalu pemimpin itu terlebih dahulu meninggalkan tempat tanpa harus diturunkan, tanpa harus diprotes, tanpa harus menunggu demonstrasi dari masyarakat yang pemimpinnya melakukan kesalahan, insya Allah kita tidak akan melihat bagaimana tayangan-tayangan televisi dari hari kehari pejabat-pejabat sepertinya sedang antri mununggu giliran untuk diperiksa dan dinyatakan sebagai tersangka.

Mudah-mudahan shalat berjamaah kita menjadi ilustrasi bagaimana kita sebagai pemimpin rumah tangga, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai dosen, sebagai pemimpin, yang memimpin jamaahnya dalam shalat.

Oleh, Dr. Ir. H. Zulkarnaen