Memaknai Kehidupan dengan I`Tikaf

Tidak ada korelasi antara orang yang mengikuti dengan orang yang diikuti. Jika Nabi Muhammad saw diakhir Ramadlan semakin banyak berada di masjid sementara umatnya lebih banyak berada di tempat selain masjid.

Misi utama Rasulullah Muhammad saw diutus oleh Allah swt ke dunia ini untuk memperbaiki perilaku manusia. Sadar akan hal itu, maka beliau selalu menjaga kesucian dirinya dari segala macam keadaan yang memungkinkan dirinya keluar dari kehendak Allah. Metode yang dipergunakan, di antaranya adalah ihtisab.

Apa itu ihtisab? Ihtisab atau self-examination adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang untuk selalu meningkatkan kualitas dan keunggulan dirinya dengan cara selalu mempertanyakan dirinya, siapa dan mau ke mana sebenarnya diri ini? Dengan ihtisab seseorang akan selalu mawas, jaga diri, eling, wospodo. Sebab, bukankah seseorang lebih mudah berperilaku, dan bertindak yang buruk dari pada selalu berbuat baik. Hal itu pula yang menjadi indikasi kuat betapa kuatnya daya tarik dan godaan ketidakbaikan terhadap diri seseorang sangat kuat. Terutama harta, kekuasaan, keturunan, dan isteri. ”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.s. Al-Anfal/8:28)

Di sinilah iman, taqwa dalam Islam memainkan peranan penting untuk mengawal, menjaga dan mengarahkan terus seseorang agar diri dan perlaku kehidupannya selama di dunia ini agar selalu sesuai kehendak-Nya. Seseorang baru menyesal setelah ia melakukan ketidakbaikan dalam kehidupannya. Maka sangat wajar bila jauh sebelum kita ada, Allah swt mengingatkan kita “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan” (Q.s. Al-Dluha/93:4). Sesal kemudian tak berguna.

Kaitannya upaya perbaikan diri dengan ibadah shaum Ramadlan ada pada kegiatan i`tikaf. I`tikaf artinya berdiam diri (di dalam masjid) dengan cara memperbanyak mengingat Allah swt, mengingat-ingat perbuatan yang tidak baik atau yang kita sebut dosa, selanjutnya memotivasi dirinya untuk tidak mengulanginya lagi melalui upaya-upaya perbaikan diri ke depan.

Apa yang banyak dilakukan oleh nabi Muhammad saw tatkala menjelang akhir Ramadlan? Isterinya, `Aisyah binti Abu Bakar pernah menginformasikan bahwa “Adalah Rasulullah saw bersungguh-sungguh di puluhan yang akhir, apa yang tidak dikerjakannya pada puluhan yang lainnya”. Ibadah beliau ialah menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya (isterinya) untuk shalat malam-malam yang sepuluh, mengencangkan celana, melambatkan berbuka, hingga bersahur, mandi di antara magrib dan isya, mencari Alqadr, i`tikaf di masjid.
I`tikaf di masjid dapat dijadikan sebagai media yang sangat efektif untuk merenungi diri, perilaku serta situasi sosial melalui cara-cara mengaca diri, berusaha untuk bening jiwa dengan cara mengingat Allah dengan segala sifat-Nya Yang Maha, dan tanpa melihat atau menyalahkan orang lain. Hakikat untuk apa sih sebenarnya kita dihidupkan, harus seperti apa hidup ini, dan bagaimana diri ini setelah meninggalkan dunia fana ini? Boleh jadi ini merupakan bagian meditasi ritual keagamaan yang umum, namun berbeda dengan ajaran Islam.

Dari aspek legalitas syariah Islam, Imam Abu Hanifah membagi i`tikaf menjadi tiga macam: Pertama, wajib. Artinya, i`tikaf menjadi wajib hukumnya untuk dilakukan oleh seseorang karena orang itu bernadzar. Nadzarnya melalui pernyataan baik yang diungkapkan atau yang diniatkan dalam hati, misalnya “Manakala saya mendapatkan pekerjaan itu, maka saya akan i`tikaf sekian hari.” Ataukah ungkapan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, tetapi mungkin pernah berkata “Saya akan mewajibkan diri saya untuk beri`tikaf sekian hari.”

Kedua, sunnah. I`tikaf sunnah inilah yang banyak dipraktikkan dan dicontohkan oleh Rasulillah Muhammad saw dengan cara beri`tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan ramadlan. Dan ketiga, nafil. Artinya, i`tikaf yang dilakukan oleh seseorang tanpa dibatasi oleh waktu dan hari. Manakala ada orang yang berniat i`tikaf, maka orang tersebut melakukannya, bahkan jika berniat i`tikaf seumur hidupnya pun diperbolehkan.

Berapa lama waktu yang dikategorikan i`tikaf itu? Meskipun para ahli hukum Islam memiliki beberapa pendapat mengenai waktu yang minimal untuk beri`tikaf, namun mereka cenderung sepakat minimal sehari. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Hanifah.

Dari segi tata cara pelaksanaannya, seseorang keluar dari rumah membawa perbekalan seadanya yang disesuaikan dengan berapa lama orang tersebut beri`tikaf di masjid, kemudian masjid dengan mendahulukan kaki kanan. Adapun manfaat atau nilai pahala beri`tikaf di masjid sangat banyak, sehingga membuat Rasulullah Muhammad saw menjaga sepuluh hari terakhir itu jangan sampai berlalu begitu saja.

Imam Ibn Qayyim antara lain mengatakan bahwa tujuan i`tikaf di masjid adalah untuk menghubungkan hati seorang hamba kepada Tuhannya, Allah swt dengan cara mengalihkan hati, pikiran, dan perasaannya dari segala sesuatu selain Allah.

Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bila ada seseorang yang datang ke rumah Allah (masjid, mushalla, surau, atau langgar, apalagi dan terutama sekali di Masjid Al-Haram [Baitullah] di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsha di Palestina) meminta sesuatu, maka dapat dipastikan apakah Allah Yang Maha Rahman dan Rahim akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berbuat seperti itu? Tidak! “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat; Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo`a apabila ia berdoa kepada-Ku” (Q.s. Al-Baqarah/2:186).

Dan, itulah yang dialami dan diperoleh oleh Muhammad bin `Abdullah bin `Abd al-Muththalib, beliau ditetapkan oleh Yang Maha Suci Sang Penguasa Alam ini, Muhammad ditetapkan pada bulan Ramadlan menjadi rasul dan penutup kenabian Allah swt di planet bumi ini untuk membawa umat manusia ke arah yang bersinar cemerlang. Malam ketetapan penuh kemuliaan itulah yang diabadikan sejarahnya oleh Allah swt dalam kitab suci Alquran al-Majid. Malam Al-Qadr, nilainya sama dengan 1000 bulan yang jika dikonversi ke dalam bilangan tahun menjadi 83,3 tahun. Subhanallah!

Bagi kita umat yang setia dan meneladani nabi Muhammad sebagai orang yang telah mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupannya, tidak ada pilihan kecuali meneladani dan melaksanakan apa-apa yang telah pernah dilaksanakannya. Di antara keteladanan itu, adalah melakukan kegiatan i`tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadlan yang suci, kehidupan yang berberkah dan memperoleh pengampunan Allah.

Momentum ini jangan dilewatkan begitu saja, karena ajaran dan nilai-nilainya tetap relevan dengan keadaan kita di mana kita lihat dan baca mengenai keadaan pribadi dan masyarakat kita, betapa banyak di antara kita yang emosinya masih labil, masih sering menyalahkan orang lain, masih gemar menyembunyikan bahkan mengambil hak-hak orang lain, dan sejenisnya.

Ketika kita meneladani perilaku nabi Muhammad saw bukanlah berarti kita mengkultuskan beliau. Islam adalah ajaran yang tidak memperkenalkan kultus individu. Seperti firman Allah antara lain, misalnya “Muhammad itu sekali-kali bukanah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.s. Al-Ahzab/33:40). Bahkan sebaliknya, Islam mempunyai ajaran yang memberi ruang dan kesempatan kepada seluruh penganutnya untuk berlomba menunjukkan dan mengerjakan berbagai kegiatan yang bernilai kebaikan dan kebajikan, baik yang berguna untuk dirinya maupun untuk orang lain.

Marilah kita niatkan i`tikaf ini dapat menjadikan diri dan kehidupan kita menjadi sebuah investasi yang bernilai tinggi bagi dunia dan akhirat kita dan orang lain. Semoga!

 

Oleh, Prof. Dr. H. Abdul Majid, M.A.
Guru Besar Pengkajian Islam UPI