Mencari “Pengalaman” Keagamaan

      Para filsuf Barat seperti Michael Peterson, mengartikan bahwa pengalaman keagamaan (religious experience) adalah proses bertemunya sesesorang dengan sesuatu yang bersifat metafisikal (Tuhan dan atau manifestasi-Nya) atau dimaknai sebagai sensasi memperoleh wahyu. Mereka yang memperoleh pengalaman keagamaan selalu dalam kondisi “sakau” sehingga setelah sadar, mereka akan kembali kepada kaumnya untuk mengabarkan hasil dari pengalamannya. Selajutnya, sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan bahwa pengalaman keagamaan adalah kondisi kasf wa syuhud atau penyingkapan dan penyaksian yang diyakini oleh para urafa-nya (ahli makrifat) tentang Tuhan. Pada kondisi ini para urafa menyaksikan ghayah (tujuan) dan mutiara agamanya dengan cara berinteraksi dengan Tuhan.

          Dalam kajian tasawuf, para ‘urafa adalah mereka yang tidak pernah lalai dari berdzikir kepada Allah. Mereka adalah pencinta-pencinta sejati. Hal yang perlu kehati-hatian dari tradisi tasawuf ini adalah keyakinan mereka tentang tidak adanya kewajiban sholat bagi orang-orang yang telah mencapai derajat ma’rifat. Kenyakinan ini jelas keliru, karena jika memang ia makrifat kepada Allah, maka seharusnya semakin ketat dan disiplin dalam menjalankan syariat agama, bukan malah meninggalkan perintah Allah. Para ulama sepakat bahwa jika ada orang yang mengaku telah mencapai ma’rifat, lalu meninggalkan syariat (sholat dan kewajiban lainnya), maka dapat dipastikan bahwa orang itu telah keluar dari ajaran agama yang lurus.

         Tulisan ini tidak mengartikan “pengalaman” keagamaan sejauh yang disebutkan oleh para tokoh Barat atau menurut khasanah tasawuf. Judul tentang mencari “pengalaman” keagamaan dalam tulisan ini hanya diartikan sebagai usaha seseorang untuk menghadirkan suasana bathiniah yang daripadanya merasakan perberdaan unsur tubuh fisikalnya dan unsur ruhaniahnya. Ketika seseorang merenung dan mempertanyakan tentang eksistensi “dirinya” sebagai unsur ruhaniah yang berbeda dengan unsur fisikalnya, maka ia telah berusaha mencari “pengalaman” keagamaan. Konteks tulisan ini, sekali lagi TIDAK terkait dengan usaha pencarian pertemuan dengan Tuhan, menyatu dengan Tuhan (wihdatul wujud), atau berusaha mengikuti langkah tariqoh-nya para ahli tasawuf; tetapi hanya dimaknai pengalaman keagamaan sebagai suatu kegiatan menyengaja untuk surut (mundur) dari masalah kehidupan fisikalnya dan sejenak ingin mengenal Allah secara pribadi.

      Penulis memiliki keyakinan bahwa setiap muslim (yang mencoba mengenal Tuhannya), akan memiliki hubungan yang mesra dan bersifat khusus dengan-Nya. Ketika berdoa, mereka merintih dan memohon dengan bahasa qolbu-nya. Permohonan dan rintihannya pasti akan berbeda di antara kita. Walaupun redaksi doa yang diucapkan sama dan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, namun hajat atau kebutuhan yang dibisikan dalam hatinya pasti berbeda di antara kita. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki “pengalaman” keagamaan yang berbeda. Penulis suka menyebut doa sebagai suatu hubungan yang bersifat “rahasia” dengan Allah dan tentu saja orang lain tidak mengetahuinya.
Sebagai contoh, coba renungkan mutiara hikmah dari kitab Al-Hikam yang ditulis oleh Syaikh Ibn ‘Atha’illah:

Manakala Allah memberimu anugrah, maka berarti Dia memperlihatkan belas kasih-Nya kepadamu.
Apabila Dia menahan pemberian untukmu, maka berarti Dia sedang memperlihatkan kekuasaan-Nya kepadamu.
Dan pada semua kondisi itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu serta menghadapimu dengan kelembutan-Nya”.

       Lahirnya kata-kata mutiara di atas, merupakan hasil dari “pengalaman” keagamaan dari penulis kitab. Bagi kita yang membacanya akan memperoleh nasihat yang sangat berarti. Selanjutnya jika kita mencoba menerapkan dalam kondisi “psikologi” kita masing-masing, maka nasihat itu akan menghasilkan “pengalaman” yang berbeda di antara kita. Mungkin, ada yang merasa sangat tersentuh oleh isi nasihatnya bahkan menangis tersedu-sedu karena ia menyadari telah ber-prasangka buruk terhadap Allah. Namun sebagian dari kita mungkin juga ada yang menanggapinya secara datar dan biasa-biasa saja, karena ia belum pernah merasakan “pengalaman” bathin yang mendalam seperti orang lain.

       Menurut penulis, mencari “pengalaman” keagamaan menjadi sangat penting bagi semua orang. Keberagamaan seseorang akan semakin mendalam jika hatinya hidup untuk mengenal Allah dengan baik dan khusus. Semua perintah Allah dan Rasul-Nya akan dicoba untuk dijalaninya, karena ia tahu akan memperoleh pengalaman bathin dengan segala keutamaan-keutamaannya. Mengapa para alim ‘ulama sering mengatakan bahwa orang yang bertakwa akan merasakan “kelezatannya” dalam beribadah sholat. Ungkapan itu tidak omong kosong, karena mereka telah merasakan dan mengalaminya sendiri. Bagi kita orang awam, yang belum merasakan pengalaman bathin, sering kali berkomentar sebaliknya: “… mana rasa lezatnya sholat?,… rasanya hanya begini-begini saja kok!”. Perbedaan tanggapan antara para alim ‘ulama dan orang awam menunjukkan adanya pengalaman keagamaan yang berbeda.

      Jika suatu “kelezatan beribadah” dianggap sebagai suatu perolehan dari proses pengalaman seseorang dalam menjalankan agamanya, maka sebaiknya mencari “pengalaman” keagamaan itu dilakukan secara terus menerus. Allah menanti usaha makhluk-Nya yang mencari “ pengalaman ” bathin

Allah “menanti” usaha makhluk-Nya yang mencari “pengalaman” bathin keagamaan. Perhatikan, kemesraan Allah dalam membuka diri-Nya bagi setiap hamba yang mencari “pengalaman”:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al Baqarah: 186).

        Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Kehidupan ruhaniah kita sebaiknya diarahkan untuk lebih banyak mencari “makrifat”, sehingga kita memperoleh pengalaman bathin yang kaya dan khas. Dengan cara itulah, kita akan memperoleh manfaat yang besar karena Allah akan memberi pengalaman bathin bagi kita sebagaimana firman-Nya: “…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS: Ar’rad: 28). Ketentraman adalah salah satu pengalaman keagamaan yang hanya dirasakan oleh masing-masing individu dan tentu saja bersifat khas. Untuk memperoleh itu semua, ayat di atas memberi rambu-rambu yaitu kita harus terlebih dahulu beriman dan memenuhi (segala petintah) Allah. Setelah itu, barulah Allah akan memberi “pengalaman” bathin berupa ketenangan bagi kita. Wallahu’alam.

Oleh, Dr. Ahmad Yani, M.Si.