Mensyukuri Nikmat Iman

Untuk menunjukkan rasa syukur, biasa dilakukan ketika kita diberi berbagai kenikmatan dan kemudahan mendapat rizki yang banyak, anak-cucu yang sukses, memperoleh kedudukan yang terhormat, pindah rumah baru, dan terhindar dari mara bahaya yang mengancam jiwa dan harta benda. Rasa syukur kita ucapkan dengan cara memuji Allah yaitu membaca alhamdulillah..!. Tidak hanya dengan cara itu, sebagian dari kita menyelenggarakan acara “syukuran” yaitu mengundang makan sanak kerabat, tetangga, dan kolega. Pada jaman Rasulullah, acara syukuran yang dianjurkan adalah pada acara walimah ursy (pernikahan) dan aqiqah (kelahiran bayi). Untuk acara lainnya, hukumnya mubah (diperbolehkan) asalkan tidak memberatkan, tidak ada keyakinan tertentu yang mengandung kesyirikan, kebid’ahan, atau kemaksiatan. Setelah memuji Allah dan menyelenggarakan “syukuran”, sebagian dari kita ada yang mengekspresikannya dengan tertawa lepas dan sebagian lainnya justru menangis karena bahagia.

Dalam Al Quran, banyak perintah, anjuran, dan atau pertanyaan retoris tentang kesyukuran. Dalam surat Ar-Rahman, Al Quran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama yaitu “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah, yang kamu dustakan?” Pertanyaan retoris ini diulang sebanyak tiga puluh satu kali. Manusia selayaknya bersyukur atas kehidupannya, pengampunan, anugerah akal dan pancaindra, memperoleh rezeki, kemerdekaan, penciptaan alam semesta, dan hidayah Allah. Untuk yang terakhir (hidayah), Allah berfirman: “Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185). Intinya, rasa syukur layak kita ucapkan setiap saat karena banyak sekali nikmat yang telah kita peroleh berkat kasih sayangnya Allah SWT.

Dari sekian banyak kenikmatan, barangkali ada suatu nikmat yang tidak banyak disyukuri oleh orang. Nikmat itu adalah keimanan (hidayah). Tidak seperti memperoleh kekayaan dan jabatan, anugerah hidayah jarang kita syukuri karena mungkin tidak terlihat dan tidak terasa bentuk materinya. Walaupun para khotib sholat Ju’mat sering mengajak kita untuk menyusukuri nikmat iman dan Islam, tetapi hati kita selalu lalai. Wasiat yang disampaikan oleh para khotib dianggap sebagai suatu “basa-basi” belaka. Jika kita merasa lalai, patut kita bertanya: Ada apa dengan kondisi hati kita?

Setiap orang memiliki pengalaman keagamaan yang berbeda-beda untuk “merasakan” nikmatnya beriman kepada Allah. Kata orang, kita dapat merasakan nikmatnya beriman manakala sudah merasa ringan dalam beribadah. Menjalankan perintah Allah tidak lagi menjadi beban berat. Pernyataan di atas tentu tidak keliru, namun apakah cukup kuat untuk kita andalkan sebagai indikator dalam menjaga keimanan?. Keimanan yang terkadang naik dan terkadang turun: Ketika iman berada di atas, kita merasa ringan (untuk beribadah), sebaliknya ketika iman berada di bawah, apakah kita masih dapat bersemangat beribadah?
Jika Anda sama dengan saya, yaitu merasa berat ketika keimanan berada pada posisi di bawah, maka nampaknya kita perlu strategi baru untuk menjaga semangat ibadah kita agar tetap membara. Salah satu caranya adalah dengan “membangkit-bangkitkan” rasa syukur akan nikmat iman tersebut. Bagaimana caranya? Berikut saya usulkan suatu alternatif yang mungkin dapat membantu.

  1. Mantapkan dalam hati bahwa akhirat itu “wajib” adanya sebagai suatu konsekwensi hadirnya kehidupan di dunia. Dengan keyakinan yang mantap terhadap adanya kehidupan akhirat, kita akan selalu diingatkan akan dua tempat di akhirat yaitu adanya syurga dan neraka. Dalam kondisi tertentu, kesibukan dunia terkadang melupakan urusan akhirat. Untuk latihan tahap pertama, usahakan menghadirkan perasaan hidup yang selalu relatif, sementara, dan berakhir dengan kehancuran (fana). Perasaan itu bisa dihadirkan seperti Anda berada di kota perantauan, yang suatu saat akan kembali ke kampung halaman.
  2. Langkah kedua, lakukan kontemplasi akan “sejarah keislaman” kita saat ini. Bagi yang dilahirkan dari keluarga atau keturunan ulama besar (kiyai atau ustadz), Anda patut bersyukur karena Anda telah dilahir dalam suasana keislaman, dijaga dan didik dalam Islam, dan didekatkan dari sumber ilmu sejak usia dini. Ketika orang susah payah mencari ilmu agama, Anda dengan mudah mendapatkan ilmu itu dari keluarga dekat. Bagi yang lahir dari keluarga muslim awam, Anda masih dapat bersyukur karena Anda telah diberi kesadaran untuk mengenal Islam tanpa tantangan yang berat. Jika Anda lahir dari keluarga non-muslim, Anda pun patut bersyukur karena Allah telah menolong Anda terlepas dari kekafiran. Kesadaran tentang “sejarah keislaman” menjadi sangat penting untuk menumbuhkan rasa syukur karena telah dikenalkan kepada Islam. Banyak dari ummat manusia yang lahir di tengah masyarakat yang kafir. Mereka tidak sempat mengenal Islam, mereka hanya mengenal agama nenek moyangnya. Tanpa ada waktu yang cukup untuk merenungkan kebenaran, mereka mati dan semuanya digiring ke neraka. Sesekali cobalah renungkan, sekarang Anda muslim dan telah diberi hidayah, apakah begitu saja membiarkan keimanan tanpa produktivitas amal sholeh?. Mungkin penyesalan di akhirat akan terasa lebih menyesal daripada orang-orang kafir itu. Kita sudah mengetahui kebenaran, tetapi karena kita lalai kita celaka seperti mereka yang tidak pernah mengenal kebenaran.
  3. Bayangkan suasana di akhirat. Banyak teman-teman dekat (teman yang kita kenal dengan baik) melambai-lambaikankan tangannya kepada kita. Mereka berbaris rapi dengan wajah tersenyum bahagia menuju pintu surga. Pada barisan lainnya kita pun melihat orang berdesakan dengan wajah tertunduk sedih, air matanya mengalir tanpa henti, terlihat ketakutan, dan putus harapan menuju pintu neraka. Adapun posisi kita pada saat itu, sedang menunggu proses penentuan pengadilan Allah. Apakah akan ikut barisan orang-orang yang bahagia atau justru sebaliknya akan mengisi barisan menuju pintu neraka?. “… mereka berkata: “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!”, sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amatlah buruk apa yang mereka pikul itu” (QS. Al An’aam: 31).
  4. Setelah melewati tiga langkah di atas, cobalah ucapkan doa: “ROBBANAA LAA TUZIG QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA WAHABLANA MILADUNKA, ROHMATAN INNAKA ANTAL WAHHAAB (“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS Al Imran: 8). Setelah tuntas membacanya, bagaimana perasaan Anda?. Apakah terkesan atau biasa-biasa saja? Kesan Anda itulah yang akan mengukur kualitas syukur Anda terhadap anugerah keimanan yang telah Anda peroleh.
  5. Untuk menentukan efektivitas kontemplasi dan mengukur kualitas kesyukuran, kita dapat menakarnya di setiap waktu di sepertiga malam. Jika Anda berniat bangun malam, Malaikat Allah akan membangunkan sesuai dengan waktu yang Anda minta. Setelah bangun, rasa ngantuk akan mengajak kita untuk tidur kembali. Dengan kondisi sangat ngantuk, keputusan berada di tangan Anda. Sekedar mengingatkan, suatu ketika Ummul Mukminin, Sayidah Aisyah ra berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau beribadah sampai seperti itu (bengkak kakinya), bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah engkau suka aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (HR Bukhari dan Muslim).

Wujud dari rasa syukur terhadap keimanan tentu saja tidak dapat diilihat secara langsung karena tersembunyi di dalam hati, namun kita dapat melihat dari tanda-tandanya saja. Menurut penulis, perilaku orang yang telah menunjukkan rasa syukurnya terhadap keimanan yang telah dimilikinya dapat dilihat dari tiga tanda: (1) mereka selalu memanfaatkan waktunya secara efektif untuk ibadah (waktunya selalu diisi dengan urusan yang bermanfaat), (2) melakukan amal sholeh sesegera mungkin secara konsisten, baik kecil maupun besar, terlihat maupun tidak terlihat oleh manusia, dan (3) terlihat hati-hati atau wara’ dalam urusan mencari rizki yang halal. Ketiganya selalu dijaga oleh mereka dengan kokoh, karena mereka takut hidayah Allah terserabut dan hilang dari hatinya karena lalai. Wallahualam.

Oleh, Dr. Ahmad Yani