Menuju Kebahagiaan Hakiki

Kebahagiaan hidup merupakan impian setiap orang. Siapa pun orangnya ingin memperoleh kebahagian. Dari kalangan pejabat, teknokrat, birokrat sampai kepada rakyat ingin menggapai kebahagian. Kebahagian tidak selalu diukur dari banyaknya harta benda, pangkat, jabatan, dan materi. Sebab kebahagiaan hanya dapat dirasakan di dalam hati seseorang. Dengan demikian kebahagiaan adalah milik siapa pun, bisa saja orang miskin atau orang kaya raya. Pokoknya kebahagian itu akan menjadi milik orang yang beriman yang hatinya selalu dekat dengan Allah sebagai pemberi kebahagiaan. Dia-lah Allah SWT yang akan memberikan cahaya kebahagiaan kepada orang yang selalu dekat dengan-Nya. Kebahagiaan letaknya pada hati nurani manusia. Kita sebagai orang yang beriman selalu memohon kebahagiaan dengan berdoa setelah selesai shalat : ”Ya Allah Tuhan kami karuniakanlah kepada kami kebahagiaan di dunia dan akhirat  nanti, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.” (QS. Al Baqarah [2] : 201). Doa ini selalu kita panjatkan kehadirat-Nya. Ini adalah doa yang senantiasa  dibaca oleh kita setelah menunaikan shalat wajib lima waktu. Doa ini merupakan awal untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Untuk mewujudkan kebahagiaan yang hakiki, rasulullah SAW merupakan contoh yang penting untuk diikuti dan diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Rasulullah SAW memberikan tuntunan agar kita memperoleh limpahan rahmat kebahagiaan dengan memberikan teladan sebagai berikut:

Pertama, lisanun dzakirun (lisan yang selalu basah mengingat Allah). Kebahagiaan akan melingkupi setiap orang yang selalu mengingat Allah dalam kondisi suka maupun duka. Orang yang selalu mengingat Allah dengan cara berdzkir, mensucikan, membesarkan, dan mengesakan-Nya akan diselimuti kebahagian dan ketenangan. Sebagaimana firman-Nya: ”Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar Ra’d [13] : 28) Ayat ini mengingatkan kepada kita untuk senantiasa mengingat Allah dimanapun dan kapanpun berada agar ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan selalu menyelimuti kita. Apa pun keinginan kita, maka sampaikanlah kepadaNya. Bukan sebaliknya semakin menjauh dan berburuk sangka kepada Allah. Lebih-lebih akan menambah kemurkaan Allah apabila kita mendekatkan diri pada kekuatan lain (dukun) selain Allah. Orang yang semakin jauh dengan Allah, maka akan semakin jauh dari pertolongan-Nya. Janganlah berpaling dari mengingat Allah sebab Allah adalah dekat bahkan lebih dekat dari urat leher kita.

Kedua, Qolbun syakirun (hati yang selalu bersyukur). Betapa luas karunia yang Allah berikan kepada hambanya. Allah telah menganugerahkan berbagai kenikmatan kepada kita yang tidak mungkin kita dapat menghitungnya. Allah mengingatkan: ”Dan apabila kamu menghitung nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadamu niscaya kalian tidak akan sanggup menghitungnya” (QS. An Nahl [16] : 18). Dengan nikmat iman kita dapat mengenal Allah dan rasul-Nya. Dengan nikmat iman inilah kita dapat menunaikan shalat, puasa, zakat, shodaqoh, dan membantu orang-orang yang serba kekurangan. Dengan nikmat iman pulalah kita dapat menangkap kebesaran dan keagungan ciptaan Allah yang begitu luas membentang. Sampai saat ini kita masih bisa bernafas dengan bebas, bisa menikmati nikmatnya makanan dan minuman, karena kita dianugerahi nikmat kesehatan. Berbagai kenikmatan tersebut sudah sepantasnya untuk disyukuri. Dengan mensyukuri nikmat yang kita rasakan maka Allah akan menambah kenikmatan kepada kita. Sebagaimana janjinya dalam Al-Quran: ”Apabila kalian bersyukur maka Aku (Allah) akan menambah nikmat kepadamu, dan apabila kalian tidak bersyukur (kufur) atas nikmat-Ku. Sesungguhnya adzabku sangat pedih.”(QS. Ibrahim [14] : 7). Hanya orang-orang yang senantiasa bersyukurlah yang akan memperoleh kebahagian.

Ketiga, Qolbun shobirun (hati yang sabar). Sabar adalah perwujudan dari keimanan seseorang dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Sabar dalam arti berupaya secara optimal dengan tetap hati bertawakal kepada Allah. Sabar bukan berarti menyerah kepada nasib. Sabar pula bukan berarti menerima apa adanya (sumuhun dawuh). Sabar bukan merupakan bentuk kelemahan yang ada pada diri seseorang. Sebaliknya orang yang sabar adalah orang yang memiliki kekuatan untuk tetap konsisten kepada kebenaran dan keyakinan yang dipegangnya. Orang yang sabar akan memperoleh kebahagiaan karena ia akan memperoleh ketenangan dan pertolongan-Nya. Sebab orang yang sabar adalah orang yang dicintai oleh Allah. Allah akan menyertai orang-orang yang sabar. ”Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. Al Baarah [2] : 153)  Rasulullah menyampaikan risalah sabar pada tiga hal: (1) sabar dalam menghadapi ujian atau musibah, (2) sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan (3) sabar dalam meninggalkan larangan Allah.

Keempat, mar’atus sholihah (istri yang sholehah). Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita shalihah (H.R. Muslim). Dalam hadits ini rasulullah memberikan gambaran kebahagiaan dengan memiliki perhiasan dunia yakni istri yang sholehah. Seorang suami akan memperoleh kebahagian apabila ia memiliki istri yang sholehah. Sebaliknya seorang istri akan memperoleh kebahagiaan apabila memiliki suami yang sholeh. Istri yang sholehah harus dibangun oleh seorang suami yang sholeh. Untuk menjadikan istri kita sholehah bukan tanpa perjuangan dan pengorbanan. Karena seorang suami memiliki tanggung jawab agar istrinya sholehah. Tanggung jawab suami terhadap istri adalah tanggung jawab dunia akhirat. Dengan demikian seorang suami berkewajiban untuk tetap mengajak, menasihati, mendidik dan membimbing istri-istrinya agar menuju kepada kesholehan. Ia tidak pernah berhenti atau putus asa apabila istrinya belum taat kepada Allah. Ia akan tetap berupaya dan berdoa agar istri-istrinya taat (sholehah) kepada Allah. Ini merupakan proses dakwah yang terdekat agar istri-istri mereka memperoleh kebahagian hakiki sepanjang hayat. Kriteria istri sholehah dilukiskan dalam sabda rasulullah SAW: “Sebaik-baik wanita adalah jika engkau melihatnya ia menyenangkan bagimu, jika engkau perintah, ia patuh kepadamu, jika engkau memberi janji, diterimanya dengan baik. Dan jika engkau pergi, diri dan hartamu di jaganya dengan baik.” (H.R. An-Nasai, dkk).

Kelima, waladun sholihun (anak yang sholeh). Kebahagiaan setiap orang tua adalah apabila mereka melihat anak-anaknya taat kepada Allah. Anak yang taat dan patuh adalah seorang anak yang mendoakan orang tuanya. Rasulullah bersabda: “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya.” Anak yang sholeh lahir dari orang tua yang sholeh/sholehah. Untuk itu, orang tua tidak hanya menyuruh kepada anaknya untuk melakukan suatu kebaikan tanpa contoh darinya. Orang tua yang bijak dan berhasil dalam mendidik dan membimbing anaknya adalah yang mengajak bersama-sama untuk melakukan suatu kebaikan (ketaatan) kepada Allah. Wallahu ‘alam bi showab.

Oleh. Dr. Diding Nurdin, M.Pd*

*) Penulis adalah Ketua Bidang Pendidikan dan Pembinaan Umat Masjid Al-Furqon UPI.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Skip to content