Musyawarah Dalam Hitungan Angka

Ada satu surah dalam Al-Qur’an yang disebut dengan nama musyawarah, surat tersebut adalah surah “Assyura” artinya musyawarah. Penamaan ini bukan tanpa memiliki makna, namun mengandung suatu perintah kepada kita agar kita selalu bermusyawarah dalam melaksaakan sesuatu tindakan, apatah lagi tindakan tersebut berhubungan dengan masalah sosial kemasyarakatan. Hubungan sesasama muslim/manusia (hablum minannas) mengantarkan kita kepada suatu sikap antara yang satu dengan yang lainnya saling ketergantungan. Karena saling berhubungan dan ketergantungan maka timbullah konflik kepentingan, baik kepentingan individu maupun kelompok.

Musyawarah adalah solusi untuk menjembatani kepentingan tersebut. “……dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…..” (QS. Ali Imran: 159).  “…, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka….” (QS. asy-Syura: 38). Pada zaman Nabi SAWW, musyawarah juga sering dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu walaupun seorang Nabi SAWW dibekali wahyu dan mu’jizat. Ketika perang Badar selesai dan mendapat kemenangan, kaum muslimin menawan pasukan musuh dan banyak harta benda yang menjadi rampasan perang, Nabi SAWW bermusyawarah dengan para sahabat tentang perlakuan terhadap para tawanan dengan pilihan; dibebaskan semuanya, dibunuh semuanya atau diberikan kebebasan untuk menebus diri mereka. Nabi SAWW mengajarkan kepada kita  “Antum `alamu bi umuri dunyakum” (Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu).

Konsep musyawarah yang diajarkan Nabi SAWW, beriringan dengan perkembangan konsep demokrasi di kota Yunani di mana pemungutan suara dilakukan secara langsung kemudian demokrasi itupun berkembang sesuai zaman dan tempat, ruang dan waktu. Proses musyawarah yang sering dilakukan Nabi SAWW hampir tidak terdengar lagi dan yang lebih terdengan saat ini adalah slogan demokrasi cara pemungutan suara (satu orang satu suara) dan akhirnya pemecahan masalahpun akhirnya identik dengan pemungutan suara. Kini, dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara banyak ditentukan oleh jumlah suara (angka) sehingga kita melupakan filosofi dasar negara terutama sila ke-4, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Permasalahan yang utama dalam tulisan ini adalah mengapa kita dalam memutuskan suatu perkara melupakan asas musyawarah mufakat tapi berkecenderungan menggunakan pemungutan suara?. Banyak sekali masalah diselesaikan dengan pemungutan suara misalnya pemilu, pilkada, dan banyak lagi pemungutan suara dilakukan seperti yang sering kita saksikan di parlemen atau dilingkungan kita sendiri. Sungguh besar faham demokrasi yang menganut satu orang satu suara hingga pemecahan masalah ditentukan oleh jumlah suara bukan oleh kualitas suara. Ada juga penentuan keputusan  berdasarkan tim formatur atau tim penilaian yang ujung-ujungnya menghasilkan sejumlah angka juga seperti dalam pemilihan pimpinan di lingkungan kerja kita misalnya.

Mengapa harus dengan angka, barang kali penulis menduga bahwa kita sebenarnya sudah kehilangan hikmat seperti yang tertera dalam sila keempat dari Pancasila tersebut.  Hikmat menurut ibnu Taimiyah adalah mengenal kebenaran dan mengamalkannya.  Al-Qur’an (2:269) mengatakan :  “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. Kata Nabi SAWW: “Tidak ada yang bersifat santun kecuali yang mempunyai kekeliruan, dan tidak ada yang bersifat hikmah (bijaksana) kecuali yang mempunyai pengalaman”.  Maksudnya sifat santun diperoleh hingga ia melakukan beberapa perkara dan keliru, lalu ia mengambil pelajaran, menjadi jelas titik-titik kesalahannya dan kemudian menjauhinya. Dan orang bijaksana kemungkinan tidak bisa memperoleh sifat bijaksana kecuali setelah belajar dari kesalahan, kekeliruan, dan kejatuhan.

Kenyataan yang menyedihkan adalah jumlah umat Islam itu banyak di negara kita maupun di seluruh dunia dan yang mengaku negara Islam-pun banyak, namun apa yang terjadi nasib umat Islam dan negara Islam selalu terpojok dan tersungkur. Ironisnya disaat kita telah mengaku bahwa kita dan negara kita adalah demokratis. Benar apa kata Nabi SAWW, bahwa ”Dapat diperkirakan bahwa kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang yang berebut melahap isi mangkok (makanan).” Para sahabat bertanya, “Apakah saat itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah (tidak berguna) dan kalian ditimpa penyakit wahan.” Mereka bertanya lagi, “Apa itu penyakit wahan, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kecintaan yang sangat kepada dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud).

Ada pendapat yang mengatakan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara konsep musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara konsep Demokrasi, yakni perbedaan itu diantaranya: (i) dalam musyawarah mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas, (ii) anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja, (iii) musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wallahu A’lam

Oleh, Prof. Dr. H. Munir, M.IT (Dosen FPMIPA – UPI)