Menggapai Fitrah Dalam Pundak Pendidikan

Minggu yang lalu kita telah melaksanakan Iedul Fitri 1433 H. Fokus pembahasan di berbagai khutbah Ied, khutbah jum’at, ceramah dan tulisan terfokus kepada pensucian dosa dan besarnya pahala yang akan didapat. Tulisan ini akan membahas fitrah dari persfektif pendidikan yang tidak terfokus pada waktu tertentu saja seperti hari raya Iedul Fitri, namun fitrah sepanjang hayat atau selagi hayat masih ditanggung badan. Dalam ajaran agama Islam, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali menuju Tuhan. Secara qudrati manusia berawal dari Tuhan dalam kondisi yang fitrah, bersih dan seharusnya ketika menuju Tuhan berada pada kondisi fitrah juga, bersih tersebut tetap melekat dalam diri manusia. Namun kenyataannya walaupun manusia berawal dari yang sama, untuk tujuan kembali, Tuhan mempersilahkan manusia untuk memilih kembali kepada Tuhan dengan dua kondisi pilhan yaitu mau kembali dalam keadaan bersih bermahkotakan pahala kebaikan atau kembali dalam keadaan kotor berlumuran dosa. Untuk menentukan dua pilihan jalan tersebut proses pendidikan memiliki makna dan tugas penting karena pilihan tersebut sangat bergantung pada pola dan tingkat pendidikan yang dialami oleh manusia.

Ayatullah Muthahhari mengatakan bahwa pendidikan sangat terkait dengan fitrah manusia dan pendidikan yang haqiqi adalah pendidikan yang menguatkan fitrah manusia itu terutama dalam mencari kebenaran, kepercayaan dan pengetahuan. Thomas Amstrong (2006) dalam bukunya The Best Schools: How Human Development Research Should Inform Educational Practice mengatakan bahwa kata education (pendidikan) secara etimologis terkait dengan kata educe yang bermakna mengeluarkan, membangkitkan, membangun dari kondisi terpendam atau potensi. Sementara dalam al-Quran istilah pendidikan (tarbiyyah) sedikit sekali digunakan dan yang lebih banyak digunakan untuk menunjukkan makna yang sama dengan pendidikan justru digunakan kata tazkiyyah (penyucian). Pendidikan harus mampu menjaga fitrah manusia yang fitrah suci yang telah diciptakan Allah sejak lahir dan kembali kepada Allah dalam keadaan yang fitrah suci juga.

Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pola pendidikan yang dapat mengantarkan fitrah manusia tetap berada dalam fitrah kebenaran dan fitrah kesucian. Untuk menjawab masalah tersebut Majalah Itrah edisi Mei 2012 mengutif kitab Munyatul Murid karya Sahahid e-Sani tentang adab yang harus dimiliki oleh guru dan murid dalam proses belajar mengajar, yang menurut penulis penjelasannya adalah sebagai berikut: (i) Ikhlas : Guru/dosen, murid/mahasiswa dan orang-orang yang selama hidupnya haus ilmu harus ikhlas dalam belajar/mengajar. Hadist riwayat Abu Abdillah Salamullah Alaih mengatakan “Sesiapa yang belajar, beramal dan mengajar demi ridha Allah maka dia akan diagungkan di langit”. (ii) Tabah : Guru/dosen, murid/mahasiswa dan orang-orang yang selama hidupnya haus ilmu harus tabah dalam  belajar/mengajar. Rasulullah SAWW bersabda: “Sesiapa yang tidak tabah menanggung beratnya belajar untuk sesaat, akan terjebak dalam hinanya kebodohan untuk selamanya”. (iii) Konsisten : Guru/dosen, murid/mahasiswa dan orang-orang yang selama hidupnya haus ilmu harus konsisten dalam belajar/mengajar. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, berkata : “Sesiapa yang tidak belajar secara konsisten, dia tidak akan faham”. (iv) Berfikir maksimal : Guru/dosen, murid/mahasiswa dan orang-orang yang selama hidupnya haus ilmu harus berfikir maksimal dalam belajar/mengajar. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, berkata : “Sesiapa yang kerap merenungi apa yang dipelajarinya, maka ia akan memperkuat ilmunya dan memahami apa yang sebelumnya tidak dipahami”. (v) Guru/dosen, murid/mahasiswa dan orang-orang yang selama hidupnya haus ilmu harus mencurahkan waktu untuk belajar. Nabi Khidr Alaihis Salam memberi nasihat kepada Nabi Musa Alaihis Salam, “Wahai Musa! Sisihkan waktumu untuk ilmu jika kau menghendakinya, karena ilmu hanya diperoleh orang yang menyisihkan waktu baginya.”

Menjaga fitrah manusia memang ada di pundak pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal, baik pendidiknya lulusan sekolah formal atau lulusan pesantren, baik pendidiknya sebagai profesi, maupun sebagai orang tua di rumah. Semuanya, bertanggung jawab terhadap proses pendidikan sebab pendidikan adalah masalah sosial bukan masalah pendidik semata. Karena masalah sosial dan masalah bersama maka infrastruktur dan suprastrukturnya pun adalah masalah bersama pemerintah, masyarakat dan swasta yang memiliki komitmen dalam pendidikan.

Sebagai kata akhir, penulis sajikan berbagai kata mutiara yang telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan, seperti : Pendidikan bukanlah sesuatu yang diperoleh seseorang, tetapi pendidikan adalah sebuah proses seumur hidup.(Gloria Steinem). Apa yang ingin dipelajari murid sama pentingnya dengan apa yang ingin diajarkan Guru (Lois E.LeBar).  Salah satu hal yang bisa dilakukan seorang Guru adalah mengirim pulang seorang murid di siang hari dalam keadaan menyukai diri mereka sedikit lebih daripada ketika ia datang di pagi hari (Ernest Melby). Arah yang diberikan pendidikan adalah untuk mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya (Plato). Kita tidak bisa mengajari orang apapun Kita hanya bisa membantu mereka menemukannya di dalam diri mereka (Galileo Galilei).

Oleh, Prof. Dr. H Munir, M.IT