Pandangan Teologis Kartini

Kelahiran Raden Ajeng Kartini (21 April 1879-17 September 1904) menjadi nisbah peringatan Kartini setiap tahunnya bagi masyarakat Indonesia menjadi suatu momentum bersejarah. Momentum ini bukan hanya mengenang lahirnya seorang kaum hawa di zamannya melainkan ia bisa jadi bahan kajian yang tidak lengang oleh para ahli dari berbagai sudut interpretasi dan analisis terhadap perkembangan zaman kini dan mendatang.

Melalui Kartini kita memperoleh ibrah bahwa wanita Indonesia — seorang muslimah — telah mempunyai investasi yang tidak mudah kita abaikan begitu saja. Satu di antara investasi Kartini ialah surat-suratnya yang berkualitas. Kualitas surat itu, ternyata tidak hanya berisi mengenai emansipasi menurut Kartini, melainkan juga keagamaan, yang saya sebut sebagai pandangan teologis Kartini.

Kartini sebagai seorang muslimah, ternyata tidak hanya memikirkan bagaimana agar kaum wanita bisa sejajar dan bermitra-kerja dengan kaum pria. Obsesinya mengenai emansipasi misalnya, justru diilhami oleh refleksi teologis ke-Islaman-nya. Ia banyak melakukan pergulatan batin-meminjam istilah Sumartana (1993) terhadap masalah-masalah kemasyarakatan dan agamanya.

Untuk mengetahui bagaimana dan seberapa jauh Kartini merefleksikan teologisnya, maka pendekatan yang bisa ditempuh ialah dengan mempelajari surat-suratnya, serta apa kata para peneliti mengenai siapa Kartini. Dengan essay ini pertanyaan yang dapat mengantar kita untuk mengetahui pandangan teologis Kartini adalah: Apakah Kartini memang memiliki pemikiran di bidang keagamaan? bidang apa saja yang memperoleh perhatian Kartini melalui “surat-surat keagamaan”nya itu?

Refleksi Teologis

Agama, menurut Kartini adalah sesuatu yang mulia. Ia menuntut umat manusia bagaimana agar muncul keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah. “Tiada Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua beriman, kaum monotheisme.” Allah swt, menurutnya, memiliki kekuasaan tidak terbatas kesemestaan alam beserta isinya. Oleh karena itu, di dalam suratnya Ia nyatakan bahwa “Tuhan sajalah yang tahu akan keajaiban dunia. Tangan-Nya mengemudikan alam semesta”.

Agama adalah ibarat “jalan” kata Kartini. Jalan itu mengantar seseorang manusia menuju Tuhannya. Agamalah satu-satunya jalan yang dapat membebaskan manusia dari keterbelengguan nestapa. Siapa orang yang melalui jalan tersebut, akan terbebas. Demikian redaksi suratnya yang ditujukan pada Ny. Ovinksoer, Oktober 1900.

Agama mengajarkan kepada setiap umat, bagaimana agar bermanfaat kepada sesama. Dalam ajaran agama, menurut Kartini manusia sederajat dan kesempatan sama, maju, tanpa mempersoalkan apakah ia wanita atau pria, serta tidak membeda-bedakan antara etnis dan ras komunitas manusia. Hal ini sebagaimana tercermin melalui suratnya kepada Ny. Van Kol 21 Juli 1902 diantaranya ia ungkap bahwa “Agama itu mendatangkan berkah. Untuk membentuk persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita adalah Tuhan Yang Maha Esa.”

Terdapat benang merah, Kartini memandang agama, pertama sebagai perwujudan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya, menuntun umat manusia agar ia dapat berjalan di atas “rel duniawi”, serta berada pada jalan ridha Allah. Kedua, nilai-nilai agama mengajarkan konsep kesetaraan dan kesejajaran antar manusia tanpa memandang jenis kelamin. Ketiga, sebagai alat perekat bagaimana manusia membina jalinan kerjasama antar pemeluk agama dalam bidang-bidang kemanusiaan. Keempat, mempunyai konsepsi Ketuhanan yang berbeda dengan konsepsi teologis agama non Islam. Oleh karena itu, keyakinan agama pemisahan semakin tampak transformasional dalam arti sederhana, agama masing-masing mempunyai “aqidah” dan karenanya tidak mungkin ada toleransi.

Obsesi Keagamaan
Bidang apa saja yang menjadi persoalan dan dapat dikategorikan sebagai obsesi keagamaan Kartini? Hal ini bisa dibagi menjadi empat bidang.

Pertama, masalah ke-Tuhan-an. Kartini percaya betul, Tuhan hanya satu, yaitu Allah swt. Pada refleksi teologis telah dikemukakan bahwa tercermin sebuah wujud sikap istiqamah dalam diri Kartini. Hal ini terbukti ketika ia bersurat kepada Adriani, 24 September 1902, dengan berkata, “Yang Tuan namakan Tuhan dan kami sebut Allah.”

Allah mempunyai sejumlah sifat, misalnya Pemurah, Penyayang, dan Pemaaf. Tuhan (Allah) adalah sumber segala macam kebaikan. Oleh karena itu mustahil ia berbuat jahat? Kartini menegaskan bahwa perbuatan jahat adalah lebih disebabkan oleh karakter manusia yang tidak mengindahkan lagi nilai-nilai ke-Tuhan-an dan Agama. Allah sesungguhnya tidak pernah berharap manusia berbuat demikian. “Saya percaya, Tuhan pemberi kasih sayang yang tidak terhingga, kepada taqdir yang penuh kasih sayang demi kebaikan kita,” kata Kartini.

Bagaimana seandainya terjadi ancaman kepada seorang pemeluk agama? Berlindunglah dan carilah perlindungan Allah! Pelindung itu ia coba “hadirkan” dan “lukiskan” sebagai seorang. Melalui suatu ungkapan, “Ada seseorang yang melindungi kami. Ada seseorang yang dekat dengan kami. Seseorang itu akan menjadi pelindung hati kami, tempat kami berlindung dengan aman dalam hidup kami selanjutnya.” Itulah “surat dakwah”nya kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902.

Kedua, hubungan antarmanusia menurut Kartini perlu terus dijalin dan dikembangkan tanpa membeda-bedakan menurut standar status sosial dan lain-lain. Manusia pada dasarnya sama, punya kapasitas dan peluang untuk mengembangkan potensi diri menuju suatu bentuk kehidupan yang lebih baik.

Agama, bagi Kartini, sangat berperan penting dalam membentuk suatu kepribadian yang luhur untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat. Untuk membentuk itu, agama adalah satu-satunya alternatif yang dapat dijadikan landasan utama sebagai konsepsi dasar. Manusia, melalui pembinaan dan pendekatan keagamaan, bisa memiliki sikap kasih sayang, menghormati orang tua, menghargai kemampuan dan pendapat orang lain, serta tidak menimbulkan permusuhan antarsesama.

Perhatian pada bidang kehidupan bermasyarakat, yang diliputi suasana tenteram berdasarkan bimbingan agama, juga tidak kalah menariknya dia perhatikan, sebagaimana ia tuturkan dalam suratnya, “Jika persoalan agama tidak diikutsertakan dan mengenai hal itu bersifat netral, maka tidak akan ada bahaya apapun yang harus ditanggulangi dari segolongan masyarakat yang fanatik. Tanpa propaganda keagamaan, tanpa ada rasa khawatir dimusuhi golongan fanatik, dapatlah pekerjaan cinta kasih sesama yang membawa berkah itu dilakukan di seluruh pulau Jawa.”

Ketiga, pendidikan menurut Kartini tidak hanya ditujukan untuk pencerdasan manusia, melainkan lebih diarahkan kepada pembentukan watak, berbudi luhur, menciptakan kemandirian, bebas, dan bertanggung jawab kepada masyarakatnya.

Karena ia sebagai wanita dan didukung oleh kenyataan mereka itu hanyalah sebagai “pelengkap hidup”, maka perlu dididik. Sebab, wanita pada dasarnya pendidik masyarakat di kemudian hari yang pertama dalam membentuk karakter. Seperti ia katakan, “Dari masa ke masa menjadi semakin jelas, kemajuan para perempuan merupakan faktor yang penting untuk membudayakan bangsa itu. Kecenderungan penduduk bumi putera, tidak akan terjadi secara cepat bila perempuan ketinggalan dalam bidang itu. Perempuan adalah pendukung peradaban.

Bisa dipahami mengapa Kartini mengaitkan tiga hal sekaligus, yaitu: (1) perempuan, (2) peradaban, dan (3) bangsa. Karena, perempuan melahirkan, membesarkan, dan mendidik secara langsung setiap manusia yang baru lahir di dunia. Perempuanlah yang mampu menciptakan peradaban, bagaimana seharusnya manusia berkarakter. Sudah tentu karakter itu dibentuk dan terbentuk dari seorang perempuan sebagai ibu. Perempuan juga berperan penting dan strategis dalam memajukan bangsa, terutama jika dilihat sekarang ini secara kuantitatif mereka lebih banyak daripada pria. Oleh karena itu, kekuatan bangsa sebagian besar berada pada pihak perempuan.

Keempat, seperti halnya dalam ajaran Islam seperti telah Kartini pelajari sejak kecil, mengajarkan bahwa ketika umat manusia dibicarakan tidak pernah ada klasifikasi, pemisahan antarjenis kelamin. Kedua-duanya memiliki peran dan tugas yang sama dalam kemanusiaan. Ketika itu Kartini mulai berbicara mengenai peran serta, kesejajaran perempuan dengan pria. Ia menekankan kasus, mengapa kaum pria diperbolehkan oleh hukum Islam untuk memperistrikan perempuan lebih dari seorang.

Dengan merujuk kasus itu, Kartini melakukan protes keras dengan berkata, “… Saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu, yang menganggap egoisme lelaki semacam ini sebagai sesuatu yang sah dan yang adil!” Redaksi surat semacam itu yang nadanya sama dengan ungkapan yang berbeda bahwa poligami adalah pelanggaran hak perempuan, dosa, dan laknat.

Bisa dipahami mengapa Kartini keras dalam soal ini. Itu karena ia adalah seorang wanita yang tidak ingin membiarkan kaumnya diperlakukan seperti itu. Ia melihat suatu kenyataan, betapa seorang suami yang memadu memperlakukan istrinya secara begitu saja tanpa menyatukannya, kecuali yang terlihat adalah mencampakannya dalam kesendirian, seperti mengasuh, mencari nafkah, dan membesarkan anak-anak. Boleh jadi ini juga karena kekurangpahamannya terhadap diperbolehkannya seorang laki-laki berpoligami dalam Islam. Monogami adalah sifat dasar watak manusia, sementara itu poligami adalah watak dasar pria.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Kartini bersikap demikian. Pertama, Kartini hanya memperoleh pengetahuan agama melalui guru ngajinya yang diselenggarakan oleh pihak keluarga di rumah. Ia tidak terlihat mengkaji ayat-ayat Alquran secara lebih intens, sehingga hukum poligami yang termaktub dalam Alquran surah Al-Nisa/ 4: 3 misalnya kurang terpahamkan.

Kedua, Kartini berada dalam kultur masyarakat yang memungkinkan kaum aristokrat berpoligami terhadap kaum wanita. Juga didukung oleh sikap wanita yang berada pada taraf “selir” terhadap tuan/suaminya.

Ketiga, dampak secara tidak langsung terhadap kontak-kontak pribadinya dengan sejumlah sahabat penanya dan sejumlah orang luar (asing maupun domestik). Bagaimana pun, kontak pribadi itu ikut andil dalam sistem berpikir dan perjuangan Kartini. Poligami yang amat ditentang keras, bisa diduga sebagai pandangan pribadinya yang dipengaruhi oleh cara berpikir dan kenyataan sahabat-sahabat penanya yang konon kebanyakan orang asing (non-muslim).

 

Oleh, Prof. Dr. H. Abdul Majid, MA.