Peduli Label Halal

Peduli Label Halal “Gawang Terakhir” Pertahanan Ekonomi Ummat

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…. “

(QS. Al Maidah [5]: 3)

Anjuran untuk peduli terhadap makanan halal, bagi sebagian orang, mungkin sudah dianggap usang.  Tulisan ini mencoba mengkajinya dalam konteks pembangunan ekonomi umat Islam dan tidak akan ke arah urusan fiqih. Walaupun sebenarnya urusan fiqih (halal haram) juga sangat penting dan mendesak. Namun penulis akan menundanya sampai memiliki kapasitas yang memadai untuk mengkajinya.

Sebagai gambaran barangkali perlu disampaikan, bagaimana ummat Islam saat ini kurang peduli terhadap status kehalalan makanan dan obat-obatan karena pada umumnya kita “malas” untuk mengamati logo halal yang tertera dalam kemasan barang. Selain tidak peduli, sebenarnya masyarakat juga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap peredaran barang haram di pasaran. Unsur yang ditulis pada komposisi barang tidak banyak yang difahami oleh orang awam. Misalnya, unsure lesitin dalam permen, jarang kita perhatikan dengan seksama padahal lesitin banyak berasal dari ektrak lemak babi. Tanpa ragu, kita langsung saja melahapnya.

Persoalan tentang bagaimana pengawasan obat dan makanan, saat ini kita perlu menghargai usaha dari BPOM karena secara nyata badan ini terus mengawasi arus makanan dan obat-obatan yang beredar di masyarakat. Namun alangkah indahnya, jika masyarakat juga peduli dan memiliki kemampuan untuk mendeteksi kandungan barang-barang yang berbahaya pada makanan.

Untuk urusan halal-haram, Indonesia hanya memiliki satu lembaga yaitu MUI. Berbeda dengan negara Jiran Malaysia, mereka memiliki banyak badan yang diberi kewenangan untuk memberi label halal suatu produk. Walaupun satu lembaga, asalkan masyarakat peduli terhadap logo yang dikeluarkan MUI, saya pikir masih dapat dianggap efektif. Celakanya, banyak dari kita sendiri yang kurang menghargai logo halal MUI. Banyak produk yang belum memiliki label halal MUI tetap saja dikonsumsi.

Kepedulian  terhadap logo halal selain menyelamatkan diri kita sendiri, sebenarnya merupakan instrument strategis bagi umat Islam dalam “berjamaah ekonomi”. Kepedulian kita terhadap makanan yang halal menjadi bagian pertahanan ekonomi nasional dalam konteks global. Sebagaimana diketahui, negara maju mampu “bermain” dalam pasar bebas melalui dua isu yaitu terjamin kualitas dan jaminan ramah lingkungan. Para penjamin mutu produk mengeluarkan sertifikat jaminan mutu. Bagi negara maju yang memiliki modal kuat, sangat mudah untuk memperoleh sertifikat mutu sehingga barang jualannya dapat menembus pasar bebas. Namun bagi perusahaan kecil, apa bisa masuk pasar bebas tanpa label mutu produk?.

Begitu pula sertifikat ekolabel, sangat sulit diperoleh karena pengawasannya dimulai dari bahan baku, proses pengolahan, pengepakan, sampai pengiriman barang yang harus terjamin ramah lingkungan. Produk buah-buahan asli Indonesia yang tidak ekolabel, bisa jadi akan terhambat di pasar internasional. Sementara produk buah-buahan dari negara maju, bebas masuk ke tanah air karena persyaratan ekolabel telah mampu ditembusnya. Akhirnya, ekolabel bukan semata-mata sebagai usaha penyelamatan lingkungan hidup tetapi bisa jadi telah menjadi instrumen untuk menghadang produk negara lain yang “tidak” dikehendakinya.

Nah, jika kecurigaan di atas benar adanya, umat Islam se-dunia sebenarnya bisa berperan dalam pasar bebas dengan menggunakan standar kehalalan produk. Sepengetahuan saya, Malaysia adalah negara yang telah mempraktekkan “proteksi” barang impornya dengan standar kehalalan. Maksudnya, barang yang tidak halal (tidak memiliki logo halal) tidak bisa dipasarkan di Malaysia. Bahkan tidak semua logo halal dipercaya oleh Malaysia, mereka mengkaji pula kredibilitas yang menerbitkan logo halal.

Saya memiliki harapan, jika Indonesia memiliki kemampuan untuk menyeleksi produk halal (seperti Malaysia) maka kita akan mampu membangkitkan perekonomian umat Islam. Asalkan tentu saja, barang yang berlogo halal diproduksi oleh ummat Islam sendiri. Walaupun belum mampu, setidaknya ada “rem” ketika mengkonsumsi produk asal luar negeri.

Saat ini kita belum mampu untuk membendung arus barang dari luar negeri, namun marilah kita sama-sama menahan diri untuk tidak mengkonsumsi barang yang tidak jelas halal-haramnya. Carilah dulu produk yang ada logo halalnya, lalu periksa komposisinya, dan lebih baik lagi jika telah mempertimbangkan produsennya. Prioritaskan mengkonsumsi barang-barang yang berasal dari dalam negeri dan atau berasal dari negara-negara muslim. Jika tiga langkah tersebut dapat kita amalkan, maka sedikit demi sedikit akan membangkitkan perekonomian umat Islam baik umat Islam di tanah air maupun umat Islam di dunia.

Oleh: Ahmad Yani

Leave a Reply

Your email address will not be published.