Pentingnya Tawadlhu

Seringkali dalam kehidupan kita sehari-hari memperhatikan peristiwa yang sering berbalasan. Dimana kekasaran dibalas dengan kekasaran, kecurangan dibalas dengan kecurangan, fitnah dibalas dengan fitnah, dendam dibalas dengan dendam, kesombongan dibalas dengan kesombongan. Pelakunya tidak jarang antara muslim dengan muslim bahkan tidak terkecuali para pemuka agama. Pertanyaannya apakah benar al-Islam mengajarkan hal yang demikian?

Kebencian, kemunafikan, saling berbalas dalam keburukan, bukanlah hal yang baru, tetapi hal perbuatan tersebut sudah ada sejak zaman Rosulullah Muhammad SAW. Saat ini kita melihat terjadi carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan beragama dan bermasyarakat banyak yang luput dari tuntunan “akhlaq mulia” dengan berbasis rasa ikhlash dan “tawadlhu”. Kerap kali karena emosi maka dengan mudah mengumbar kata “sikat saja”, “habisin saja”, “pukul saja”, “bunuh saja”, “jebloskan saja” dan lain sebagainya. Padahal kata-kata itu untuk saudara semuslimnya sendiri. Artinya kata-kata tersebut jauh dari ciri-ciri orang yang rendah hati.

Tidaklah jarang orang berkata bahwa setiap perbuatan pasti ada balasannya. Lebih tajam lagi setiap perbuatan jelek maka akan dibalas dengan kejelekan pula dan setiap perbuatan baik maka akan dibalas dengan kebaikan pula. Anak yang durhaka pada orang tua dan gurunya akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatnnya, dan itu telah banyak buktinya, bukan hanya di akhirat, maka diduniapun seringkali terlihat dengan kasat mata. Orang awam menyebutnya itu sebagai suatu hukum alam, Al-Islam menyebutnya itu sebagai Sunatulloh.

Walhasil banyak kata-kata yang alfa dikeluarkan dari mulut kita malah kita sendiri yang menderitanya, yang ketibanan kata-kata kurang bijaksana dari mulut kita sendiri. Ketika berkata “sikat saja”, ternyata yang kena sikat malah kita sendiri, ketika bicara hasbisin saja” malah diri kita yang habis riwayatnya karena ucapan kita sendiri.

Dalam konteks ini betapa akhlaq mulia Rosululloh Muhammad patut menjadi tuntunan dalam konteks ini. Seringkali beliau “diludahi” oleh orang non muslim yang membencinya dan membenci ajarannya, tetapi Rosul tidak pernah marah bahkan dikala yang meludahinya sakit beliaulah orang yang pertama kali menjenguk dan mengobatinya.

Apabila kita melihat kontent surat al Ashr ayat 3 : “Watawa saubilhaq-watawa saubishshobr”. Mengalamatkan kita perlu untuk memiliki sikap tabayun atau memberi nasihat. Didalamnya kita harus didasari dengan tawadlhu atau sikap berendah hati yang perlu dikembangkan dan hikmah mendalam dibalik semua itu adalah minimum kita : Pertama, tidaklah berkata-kata yang kotor dan keji, karena sesungguhnya kata-kata yang kotor dan keji itu sejujurnya untuk diri kita sendiri; Kedua, Kita dituntut untuk berbaik sangka terlebih dahulu dikala menghadapi berbagai persoalan, Husnudzhan dengan upaya mencari kebenaran dengan langkah yang bijaksana. Ketiga, tidaklah memperburuk suasana apabila sudah tahu suasana itu buruk. Dalam pribahasa lain janganlah memancing di air keruh. Dengan demikian kita dituntut untuk membantu menyelesaikan masalah dengan arif dan bijaksana dan tanpa merugikan orang lain termasuk diri kita sendiri; Keempat, Janganlah kita terbiasa diri berbahagia dalam atau di atas penderitaan orang lain, karena sesungguhnya semua muslim itu bersaudara; Kelima, Janganlah kita membiasakan diri untuk “ghibah” membicarakan keburukan dan kejelekan orang lain, karena sesungguhnya perbuatan itu sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri.

Sungguh mulia akhlaq Rosululloh Muhammmad SAW sebagai panutan dan tuntunan bagi kita sebagai orang muslim. Sebaiknya marilah kita berbalik dan kembali ke jalan yang lurus sebagaimana dituturkan dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Semoga bangsa kita, masyarakat kita, lembaga kita, keluarga kita memiliki sikap Tabayun dan Tawadlhu. Semoga Allah senantiasa menuntun kehidupan kita ke arah yang lebih baik. Aaamiin.

 

Oleh, Dr. Prayoga Bestari, M.Si., Penulis adalah Pengajar pada Jurusan PKn (FPIPS)