Belajar Karakter dari Gontor

Beberapa hari yang lalu penulis memiliki kesempatan membimbing mahasiswa studi banding ke salah satu pesantren besar di Jawa Timur, Gontor, itulah nama pesantren yang kami kunjungi, kebanyakan orang mungkin belum mengerti apa arti dari Gontor itu sendiri. gontor memiliki arti tempat yang kotor, sebelum menjadi pesantren besar sebagaimana saat ini, dulu Gontor merupakan kawasan tak bertuan, dan masih dipenuhi oleh lebatnya pepohonan serta masih banyak pula binatang yang berkeliaran disitu. Diceritakan pula bahwa kawasan tersebut dikenal sebagai tempat persembunyian para penyamun, jagoan, pembegal dan orang-orang yang berperangai kotor. Kawasan tersebut dijuluki sebagai “tempat kotor” yang dalam bahasa Jawa disebut dengan enggon kotor. Menurut riwayat, nama desa Gontor itu berasal dari ungkapan enggon kotor yang disingkat menjadi Gontor. Sesuai dengan nama desanya, pesantren yang didirikan Kyai Sulaiman Jamaluddin itu kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Gontor.

Merupakan kesempatan berharga bagi penulis sekaligus nostalgia semenjak 9 tahun yang lalu penulis masih nyantri di pondok ini. mengunjungi “rumah” dan bertemu “orang tua”  yang dulu telah membesarkan, mendidik, tidak pernah berhenti mengingatkan, mengayomi, bahkan sering memarahi, mengajarkan segala sesuatu bahwa yang dilihat, di dengar dan dirasakan semuanya merupakan unsur pendidikan, suasana yang mana jarang bahkan sulit ditemui diluar pesantren. Keteladan. Itulah pendidikan utama yang diajarkan di pesantren kami. Keteladanan itu tampak dari berbagai aspek, tentu saja tokoh sentralnya adalah kiyai, kemudian ustadz dan santri serta keluarga pondok keseluruhan. Apapun yang dilihat oleh santri, didengar dan dirasakan oleh santri mangandung unsur pendidikan. Dan itulah sebenarnya pendidikan dan cara mendidik di pondok Gontor. Banyak perubahan di pondok ini, namun nilai-nilai itu tetap tidak berubah bahkan semakin kokoh seiring perkembangan zaman.

Adapun Nilai-nilai dasar yang ditanamkan para pendiri Pondok ini tertuang dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren dan Motto Pondok Gontor itu sendiri. sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, Panca Jiwa Pondok Gontor, yaitu: 1) jiwa keikhlasan. Dalam bahasa jawanya Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu itu bukan didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu, di Pondok Gontor segala pekerjaan dilakukan dengan semata mata ibadah, lillah. Kyai ikhlas dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik diri sendiri, dan para pembantu kiyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan. Sampai saat ini penulis masih bingung dengan definisi keikhlasan itu sendiri. kalau nabi mengatakan bahwasannya attaqwa ha huna, (sambil menunjukan ke dadanya) maka ikhlas pun demikian tempatnya sebagaimana yang ditunjukan Nabi kita. Ketika kita yakin setiap pekerjaan yang kita lakukan lillah, maka sebenarnya keuntungannya lebih besar, 2) jiwa kesederhanaan. Kehidupan didalam pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau menerima begitu saja tidak juga berarti miskin dan melarat. Kesederhanaan itu berarti sesuai dengan kebutuhan dan kewajaran. Gontor menanamkan kesederhanaan kepada santrinya karena kesederhanaan mengandung nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Dibalik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan. 3) jiwa berdikari. Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri, tidak saja dalam arti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri-sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari, sehingga ia tidak menyandarkan kelangsungan hidupanya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. 4) jiwa ukhuwwah diniyyah. Kehidupan di pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan persaudaraan sebagai sesama muslim. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di dalam Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat sepulang para santri dari Pondok. Kebanyakan ta’aasub atau fanatiknya orang pesantren cenderung lebih kuat ketika mereka sudah keluar dan hidup di masyarakat. Dan yang terakhir adalah 5) jiwa bebas. Maksudnya bebas dalam berpikir, berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negative dari luar. Gontor mengajarkan kebebasan yang tidak boleh disalahgunakan menjadi liberal sehingga kehilangan arah dan tujuan atau prinsip. Karena itu, kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas dalam garis-garis disiplin yang positif, dengan penuh tanggung jawab; baik didalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan ini harus selalu didasarkan kepada ajaran-ajaran agama yang benar berlandaskan kepada Kitab dan Sunnah.

Bukan hanya Gontor yang mengajarkan santri-santrinya berkarakter, namun yang harus kita sadari bahwa apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh peserta didik kita, oleh mahasiswa kita, oleh anak-anak kita, semua orang disekitar kita, itulah pendidikan. Wallahu’alam bisshowwab.

 

Oleh, Pandu Hyangsewu, S.Th.I.,  M.Ag.

* Penulis adalah pengurus Biro informasi dan komunikasi DKM Al-Furqan