Peran Seorang Guru

Pada situasi sekarang, pembicaraan tentang guru menjadi menarik. Guru adalah sosok manusia yang patut digugu dan ditiru. Guru adalah hamba Allah SWT yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, yang tentu murid-muridnya berubah menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Namun bila dibandingkan guru di masa sekarang dengan guru pada masa awal islam sangatlah jauh. Guru pada masa awal islam merupakan manusia yang paripurna, kaffah, utuh, penuh totalitas, insan kamil. Contohnya terlihat pada sosok seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka merupakan sosok ulama yang ilmuwan dan ilmuwan yang ulama yang berkedudukan terhormat di masyarakat. Bahkan sebagian besar dari mereka menjadi penasehat pemerintah, dimana bila pemerintah membutuhkan penasehat dari para ulama mereka dengan rela mendatangi rumah atau masjid tempat guru itu tinggal.

Kehebatan guru pada masa kejayaan Islam, disebabkan oleh kemampuannya meneladani kehidupan sang maha guru yaitu nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw mengikutsertakan guru-guru tersebut dalam berbagai kegiatan yaitu dalam perang, perjanjian, juga dalam utusan ke daerah-daerah untuk menyebarkan Islam. Kemudian setelah negara Islam bertambah luas, disiapkanlah orang-orang tertentu yang mengajarkan Islam kepada anak-anak, para pemuda dan masyarakat. Tentu saja orang yang bertugas menjalankan pengajaran itu adalah orang-orang yang paling mengerti akan ajaran Islam sendiri, dengan kata lain ulama-ulama Islam itu adalah guru-guru juga.

Melihat kondisi di atas, tulisan ini akan mengemukakan tentang bagaimana guru yang memiliki sifat-sifat ataupun guru yang berkarakter dalam perspektif Al Quran dan sunnah, dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menghasilkan guru yang berkualitas sehingga mampu mendidik umat itu agar menjadi umat yang terbaik. Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”(QS. Ali ‘Imran[3]: 110 )

Guru atau pendidik dalam terminologi Islam merupakan terjemahan dari kata murabbi, mu’allim, mu’addib yang mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimatnya. Kata murabbi dijumpai dalam kalimat yang orientasinya pada pemeliharaan baik fisik maupun spiritual. Dalam konteks ini pendidik mengharapkan anak didiknya tumbuh dengan optimal. Allah adalah murabbi yang berarti Allah adalah pendidik yang mengatur, menguasai alam ini. Yang kedua, kata mua’llim lebih sering dipakai dalam aktifitas pendidikan yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang, yang lebih dikenal dengan makna pengajaran. Sedangkan muaddib, tidak sekedar transfer pengetahuan saja, tetapi berkaitan dengan komitmen ke arah perilaku. Kata muaddib dirasa lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.

Dalam Al Quran, Allah SWT menyebutkan dan mengutus nabi Muhammad saw untuk menjadi guru sebagaimana dikemukakan pada ayat “Dialah yang telah mengutus seorang rasul dari kalangan mereka ke tengah ummat yang ummi yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka tentang kitab dan hikmah padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al Jumu’ah[62]: 2). Ayat tersebut menjelaskan bahwa tugas nabi Muhammad saw sebagai guru, yang pertama membacakan ayat suci Al Quran yang di dalamnya terdapat petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Seorang guru tentunya tidak hanya mencerdaskan otaknya saja, tetapi juga harus mengetahui bagaimana melembutkan hatinya, membina akhlaknya dan juga keterampilannya. Kemudian yang kedua, tugas guru membersihkan mereka dari akidah yang menyesatkan, dari sifat-sifat jahiliyah yang biadab, tidak tunduk kepada kepemimpinan yang menyesatkan dan tidak percaya lagi kepada berhala-berhala yang mereka sembah. Dan ketiga mengajarkan kepada mereka syariat agama beserta hukum-hukumnya serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Diutusnya nabi Muhammad saw adalah untuk mendidik umatnya dari kegelapan, dari kebodohan jahiliyah kepada kondisi yang tercerahkan secara iman dan tradisi kehidupan di bawah naungan Al Quran, sebagai rasul utusan Allah tugas utama adalah mendidik umatnya dan Al Quran menguatkan lagi :

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali ‘Imran[3]: 164)

Allah SWT benar-benar memberi keuntungan dan nikmat kepada semua orang mukmin dan kepada orang-orang yang beriman bersama-sama Rasulullah khususnya, karena Allah mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri sehingga mereka mudah memahami tutur katanya dan dapat menyaksikan tingkah lakunya untuk diikuti dan dicontoh serta amal-amal perbuatannya. Nabi Muhammad langsung membacakan ayat-ayat kepadanya atau kebesaran Allah SWT, mensucikan mereka dalam amal dan itikad dan mengajarkan kepada mereka Al Quran serta hukum-hukum Allah, sedangkan sebelum datangnya rasul itu nyata-nyata mereka dalam kesesatan. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah yang mengutusku sebagai seorang mualim dan pemberi kemudahan”. Dari hadits tersebut rasulullah menjelaskan kepada para sahabatnya, bahwa Allah mengutus dirinya sebagai seorang mualim dan pemberi kemudahan.

Pendidikan yang nabi berikan kepada umatnya, diberikan dengan pengertian yang jelas melalui perkataan yang jelas dan mulai dari yang ringan. Suatu saat datang orang Quraisy menemui nabi saw dan mengatakan ingin masuk Islam, meskipun orang quraisy ini ingin masuk Islam tetapi dia meminta dispensasi kepada nabi untuk tetap diperbolehkan mengerjakan maksiat seperti judi dan lainnya. Menghadapi permohonan yang demikian nabi Muhammad saw menjawab dengan bijaksana dan mengatakan boleh mengerjakan apa saja asalkan orang quraisy tersebut jujur. Mendengar jawaban yang begitu mudah untuk masuk Islam, orang quraisy ini merasa senang, kemudian dia pergi meninggalkan nabi dengan gembira. Besoknya ketika ia akan berjudi dia berpikir, kalau saya sampai berjudi kemudian bertemu dengan nabi dan nabi bertanya, maka saya harus bercerita jujur kepada nabi, alangkah malunya aku. Maka orang quraisy pun mengurungkan niatnya untuk berjudi, akhirnya orang quraisy ini meninggalkan segala kemaksiatan yang biasa dikerjakan dan menjadi orang islam yang paling taat.

Sebagai seorang guru, nabi Muhammad saw tidak hanya berorientasi kepada kecakapan-kecakapan ranah cipta saja, tetapi juga mencakup dimensi ranah rasa dan karsa. Bahkan lebih dari itu nabi Muhammad saw sudah menunjukan kesempurnaan sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar karena dalam pelaksanaan pembelajarannya sudah mencakup semua aspek yang ditetapkan oleh para ahli pendidikan. Rasulullah saw juga melatih keterampilan jasmani kepada para sahabatnya, bersifat efektif, dan beliau selalu menanamkan nilai dan keyakinan kepada para sahabatnya.

Nabi Muhammad saw adalah sosok guru yang telah memenuhi semua sifat dan syarat seorang guru yang telah ditetapkan oleh para ahli pendidikan. Misalnya An-Nahlawi menetapkan sepuluh sifat dan syarat dari seorang guru, yang pertama harus memiliki sifat Rabbani artinya seorang guru harus mengaitkan diri kepada tuhan melalui ketaatan pada syariatnya. Yang kedua harus menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan, artinya aktifitas pendidikan tidak hanya untuk sekedar menambah wawasan, melainkan lebih dari itu harus ditujukan untuk meraih keridloan Allah SWT serta mewujudkan kebenaran-kebenaran. Yang ketiga harus mengajarkan ilmunya dengan sabar, dan yang keempat harus memiliki kejujuran artinya yang diajarkan harus sesuai dengan yang dilakukan. Yang kelima harus berpengetahuan luas. Yang keenam harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang sesuai dengan materi. Yang ketujuh harus mampu bersikap tegas dan meletakan sesuatu yang sesuai dengan proporsinya. Yang kedelapan harus memahami anak didik baik karakter maupun kemampuannya. Yang kesembilan harus peka terhadap fenomena kehidupan. Dan yang terakhir harus bersikap adil terhadap seluruh anak didik.

Oleh, Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.