Peristiwa yang dialami Para Nabi

Tidak terasa, satu bulan persis kedepan kita umat Islam akan melaksanakan serangkaian ibadah yang disebut ibadah haji dan qurban. Saudara-saudara kita yang mendapatkan kesempatan untuk memenuhi panggilan Allah, pergi menunaikan ibadah haji. Mari kita sama-sama doakan mereka mudah-mudahan mereka diberikan kekuatan lahir dan batin, sehingga bisa melaksanakan ibadah haji dengan sempurna dan kembali dengan selamat dan menyandang predikat haji mabrur. Rasulullah bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada pahala baginya, kecuali surga”. Bagi kita yang belum mendapatkan panggilan tahun ini, masih ada bentuk-bentuk ibadah lain yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah haji, diantaranya adalah berpuasa pada 9 Dzulhijjah yaitu hari Arafah, dilanjutkan dengan shalat Idul Adha. Dan bagi kita yang memiliki kelapangan rizki, kita mendapatkan kesempatan untuk menyembelih hewan qurban dan dibagikan pada mereka yang berhak untuk menerimanya.

Ibadah haji dan qurban merupakan personifikasi dari perjalanan hidup seorang hamba Allah yang bernama Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim merupakan sosok manusia super, sebagai aktor yang dipilih Allah untuk menunjukan kepada umat manusia betapa dahsyatnya kekuasaan Allah. Apapun yang Allah kehendaki niscaya akan terjadi. Bahkan apa yang tidak kita pikirkan, tidak terjangkau oleh akal kita, itu bisa saja terjadi manakala Allah menghendaki.

Nabi Ibrahim dikenal sebagai sosok manusia yang jenius, namun beliau sendiri ketika menghadapi peristiwa atau perintah Allah, jeniusnya itu seolah-olah hilang, mengapa? Karena ukuran kejeniusan kita tentu sebatas akal yang bersifat empirik. Oleh sebab itu, peristiwa-peristiwa yang diabadikan dalam ibadah haji merupakan peristiwa-peristiwa yang betul-betul dialami oleh Ibrahim a.s. Diantara peristiwa yang dialami oleh nabi Ibrahim adalah perintah Allah untuk meninggalkan istrinya yang baru melahirkan seorang bayi laki-laki, yang justru didambakannya. Di tengah gurun sahara yang kering kerontang dan tidak ada sanak saudara yang menemaninya, Allah menguji Ibrahim dengan perintah yang dirasakan oleh Ibrahim sangat berat. Peristiwa yang kedua adalah perintah Allah untuk menyembelih putra kesayangannya yaitu Ismail a.s. Dua peristiwa ini, kalau kita ukur secara akal tentu tidak masuk akal dan diberikan kepada Ibrahim yang dikenal sebagai orang yang super dalam intelektualnya. Karena kekuasaan Allah itulah, Ibrahim yakin bahwa Allah tidak mungkin akan menyengsarakan hambaNya walaupun dia diperintah dan menurut ukurannya tidak akan mungkin bisa dilakukan. Dengan dilandasi keimanan dan keyakinan, Ibrahim melaksanakan semua tugas dari Allah itu dengan sempurna. Memang tidak mudah menjalankan dua perintah itu, sehingga Ibrahim sendiri mengalami rasa gelisah, cemas, khawatir sebagaimana layaknya manusia yang sering dihinggapi rasa cemas dan gelisah dalam menghadapi persoalan.

Kita semua manusia pasti pernah mengalami rasa gelisah, cemas, khawatir, bahkan boleh jadi pesimis dan frustasi. Mengapa hal ini menimpa umat manusia? Kita tidak perlu heran, karena Allah berfirman, bahwa manusia diciptakan dalam keluh kesah “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang tetap mengerjakan shalatnya”.

Keluhan atau rasa gelisah, rasa cemas bukan hanya dialami oleh manusia-manusia biasa, para Nabi dan Rasul pun mengalami rasa cemas dan gelisah, bahkan beberapa kasus di ujung hayatnya atau di akhir hayatnya beberapa nabi menyampaikan rasa gelisah dan cemas. Namun persoalannya apa yang digelisahkan dan dicemaskan oleh para nabiyullah itu? Mari kita simak peristiwa yang menimpa nabi Adam a.s. Beliau pernah cemas dan gelisah, yang kemudian diabadikan dalam Al-Quran. Kecemasan beliau karena merasa telah melanggar hukum Allah, telah melakukan kesalahan yaitu melanggar larangan Allah dan Allah pisahkan dengan istrinya. Menurut keterangan-keterangan yang pernah kami baca, Siti Hawa di daerah India dan nabi Adam sendiri di daerah Palestin, kemudian Allah pertemukan di Jabar Rahmah. Ketika mereka dipisahkan karena melanggar ketentuan Allah, nabi Adam memohon ampun kepada Allah dan dia gelisah dengan mengucapkan doa yang kemudian diabadikan di dalam Al Quran dan sering kita baca “Ya Allah , kami telah mendholimi pada diri kami sendiri, jika tidak Engkau ampuni kami dan merahmati kami tentulah kami menjadi orang yang rugi”. Kegelisahan yang disampaikan Adam itu sebagai bentuk penyesalan terhadap dosa yang telah dia lakukan, dan dia gelisah karena takut tobatnya tidak diterima oleh Allah SWT. Itu salah satu bentuk kegelisahan yang dialami oleh nabi Adam a.s.

Kemudian kasus yang kedua, yaitu kegelisahan yang menimpa nabi Ya’qub a.s. Beliau saat menjelang ajalnya sempat melontarkan kata-kata yang mengandung kegelisahan yang amat dalam. Kegelisahan yang muncul dalam ucapan nabi Ya’qub a.s., yaitu kekhawatiran yang sangat mendalam seperti dimuat dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 132. Ketika nabi Ya’qub menjelang ajalnya beliau berkata kepada anak dan cucunya dengan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar. Apa yang akan kalian sembah setelah aku wafat? Sebelum mendapatkan jawaban dari anak dan cucunya, rasa gelisah nabi Ya’qub sangat mendalam, lantas putra- putri dan cucunya menjawab “kami akan menyembah kepada tuhan, tuhan yang kami sembah adalah tuhan yang bapak sembah dan tuhan yang bapak Ibrahim sembah”. Artinya nabi Ya’qub sebagai cucu Ibrahim dia berwasiat bahwa kegelisahan, kekhawatiran yang ia tunjukan, khawatir anak cucunya tidak lagi menyembah kepada Allah sebagaimana yang disembah oleh dirinya dan kakeknya yaitu Ibrahim a.s.

Kasus ketiga yang menimpa nabi Muhammad saw. Pada saat menjelang ajalnya rasul pun sempat gelisah yang sangat mendalam, kegelisahan yang disampaikan Muhammad saw bukan hanya menggelisahkan bagaimana keturunannya tidak makan dan lainnya, tetapi apa yang digelisahkan oleh Rasulullah Muhammad saw di akhir hayatnya terlontar kata-kata “umatku-umatku bagaimana mereka dengan shalatnya”. Ini sangat dahsyat, mengandung pesan yang amat mendalam dari rasulullah Muhammad saw, bahwa kecemasan dan kekhawatiran beliau itu di suatu saat, di akhir jaman banyak orang yang meninggalkan shalat padahal dia mengaku dirinya muslim. Bisa jadi shalatnya rajin, tetapi shalatnya hanya mekanistik melaksanakan kewajiban sebagai syar’i.

Nabi Ibrahim dalam perjalanan sejarah seringkali mengalami kegelisahan dalam melaksanakan perintah Allah. Kegelisahan yang dialami Ibrahim, tentu bukan kekhawatiran akan hal-hal yang bersifat material, tetapi justru bagaimana membangun generasi yang lebih baik daripada dirinya. Ada tiga kegelisahan yang kami catat disini, sebagai bentuk kekhawatiran nabi Ibrahim terhadap keturunannya. Tatkala Ibrahim diperintah untuk meninggalkan anak dan istrinya di gurun sahara yang tandus, beliau menitipkan keluarganya kepada Allah karena kegelisahan yang dirasakan oleh dirinya akal tidak mampu untuk menjawab. Yang pertama, yang dititipkan Ibrahim bukan bagaimana mereka bisa makan tetapi kembali sebagaimana diabadikan oleh Rasulullah yaitu shalat. Ibrahim memohon kepada Allah “Ya Tuhanku, bagaimana agar mereka aku tinggalkan itu tetap berkomunikasi dengan Engkau melalui shalat”, itu pesan dan harapan Ibrahim untuk menghadapi kegelisahan, dengan mempercayakan kepada Allah akan anak dan istrinya tadi, kegelisahan yang dialami Ibrahim menurun setidaknya sanggup untuk meninggalkan dengan penuh keyakinan bahwa anak dan istrinya dititipkan kepada Allah. Untuk menangkal kegelisahan, Ibrahim juga menyerahkan kepada Allah lewat doa yang kedua “berilah manusia-manusia itu cenderung untuk menyayangi, mencintai dan menjaga anak istriku itu”, artinya di sini komunikasi dengan sesama manausia. Ibrahim menitipkan kepada Allah agar anak istrinya itu sanggup bertahan dan menjaga silaturahmi dengan sesama manusia. Baru yang ketiga “Ya Allah, berilah mereka rizki dari buah-buahan, sehingga mereka pandai untuk bersyukur kepadaMu.

Di dalam peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para nabi dan dialami oleh para shalihin, yang namanya kegelisahan, kalau kita mencoba untuk mengurai sedikit bahwa setiap manusia pasti gelisah, namun kegelisahan itu ada yang bersifat material, biasanya kegelisahan yang dialami oleh orang-orang awam, kegelisahan untuk tidak bisa makan, minum dan hal-hal lain yang terikat dengan masalah material. Pada akhirnya kegelisahan itu, kita membuat berbagai perangkap bahkan overprotective untuk menjaga hal itu tidak terjadi, sehingga melampaui batas ketakutan untuk menjaga keinginan nafsunya sendiri. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mengikuti apa yang disampaikan oleh para nabi tadi, kegelisahan yang berlebihan hanya untuk masalah materi itu tidak akan bisa menjamin kehidupan kita kelak di akhirat yang bahagia.

Oleh, Dr. H. Syahidin, M.Pd
ankara escort
çankaya escort
ankara escort
çankaya escort
ankara rus escort
çankaya escort
istanbul rus escort
eryaman escort
ankara escort
kızılay escort
istanbul escort
ankara escort
istanbul rus Escort
atasehir Escort
beylikduzu Escort