Kata taqwa memang mudah diungkapkan, diucapkan dan dinyatakan, bahkan di negara kita sudah menjadi tradisi. Kata taqwa digunakan dalam acara-acara seremonial yang formal maupun non formal seperti pada acara sumpah jabatan ataupun acara-acara yang lainnya. Poin pertama selalu diungkapkan kalimat “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Dalam tafsir Imam Husairi ada empat karakter taqwa yang tercakup dalam kata taqwa itu sendiri. Karakter pertama adalah “Ta” artinya tawadhu. Karakter orang taqwa, sikap dan prilaku kehidupanya tawadhu yang artinya rendah hati. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman[31]: 18).
Kebalikan dari tawadhu adalah takabur yang berarti sombong dan arogan. Dalam Al Quran dikabarkan bahwa pada jaman nabi Musa, ada pemimpin yang kekuasaannya penuh dengan kesombongan dengan keangkuhan digambarkan oleh Allah yaitu Firaun. Apakah akibatnya bagi penguasa yang sombong dan angkuh itu? Allah mengazabnya dengan menenggelamkannya kedalam lautan. Di dalam sejarah dunia, kita mengenal penguasa yang angkuh dan sombong seperti Adolf Hitler yang berasal dari Jerman, Mussolini yang berasal dari Italia, Markos yang berasal dari Philipina, Shah Reza Pahlevi yang berasal dari Iran. Bagaimana kekuasaan mereka berakhir? Akibatnya tidak beda seperti Firaun yang digambarkan di dalam Al Quran hancur karena kesombongan dan keangkuhannya. Penguasa-penguasa yang sombong dan angkuh menjadikan orang kaya yang semakin kaya, semakin jauh dari kaum lemah, dari kaum kecil digambarkan dalam Al Quran dengan Qorun. Apa akibatnya? Dengan kesombongan dan kekayaannya itu, maka dia musnah ditenggelamkan, dijungkir balikan oleh Allah SWT baik dirinya maupun kekayaannya sehingga kita kenal dengan harta qorun. Karena itu kita tidak pantas bertakabur, karena yang pantas takabur dan sombong hanyalah Allah. Itulah karakter pertama orang takwa kata Imam Husairi.
Yang kedua “Qaf” yaitu Qanaah, Qanaah artinya sederhana. Rasulullah saw bersabda : “Silahkan kamu makan, silahkan kamu minum, silahkan kamu berpakaian, bahkan kamu silahkan berinfaq dan bersodakoh, tidak boleh berlebih-lebihan, tidak boleh bermewah-mewahan”. Al Quran bahkan menyatakan “Silahkan kamu sekalian makan di muka bumi ini, silahkan kalian semua minum di muka bumi ini. Jangan kalian berlebih-lebihan, karena Allah tidak suka kepada orang yang suka melampaui batas” (QS. Al A’raaf[7]: 31). Orang yang berlebihan hidupnya penuh keserakahan. Dengan hidup keserakahan itu, ia akan membuat tatanan sosial kehidupan ini menjadi kacau dan rusak. Munculnya berbagai koruptor di negeri ini terjadi akibat keserakahan. Mereka tidak merasa puas walaupun sudah melampaui batas, sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan dirinya, tapi masih tetap merasa tidak cukup karena keserakahan di dalam hidupnya.
Karakter yang ketiga adalah “Waw” yaitu waro, apa itu waro? Waro artinya terpelihara dari perbuatan haram dan subhat. Orang yang taqwa akan selalu hati-hati dan waspada, apakah makanan, minuman, dan perbuatannya ini haram, halal atau subhat. Dia akan selalu bertanya dulu sebelum makan, minum dan sebelum dia melakukan sesuatu. Sebab apabila dia terjerumus ke dalam perbuatan haram, resikonya adalah mendapatkan azab dari Allah. Maka bagi orang yang berkarakter taqwa, jika itu subhat maka akan segera ditinggalkannya, karena ia ingin terpelihara dan bersih. Oleh karena itu, di dalam shalat Dhuha ada doa “Ya Allah jika apa yang dimakan dalam perut ini tidak bersih semoga engkau bersihkan’. Terkadang jika kita sedang makan dan kita tidak tahu bahwa itu barang haram, bagi orang yang takwa biasanya Allah langsung memberikan pesan khusus tersendiri, tiba-tiba ia akan langsung mengeluarkan makanannya itu.
Karakter yang keempat “yakin”, yakin akan apa? Yakin bahwa kehidupan ini adalah bisnis dengan Allah. Allah memberikan ilustrasi kepada kita, kita di ajak bisnis oleh Allah SWT. Apa bisnis yang ditawarkan Allah? Allah menawarkan dalam firmannya surat Ash Shaff “ Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan sesuatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?”. Orang yang beriman sudah barang tentu akan menerimanya dengan lapang dada. Apa itu tawarannya dari Allah? Pertama iman kepada Allah dan Rasulnya “engkaulah ya Allah yang aku tuju dan keridhoan-Mu lah yang aku cari”. Iman kepada Rasul artinya bahwa sikap gerak langkah kita dalam kehidupan ini siap mencontoh apa yang telah diteladankan oleh Rasulullah saw. Apalagi yang ditawarkan? Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa raga. Karena itu umat Islam di perbolehkan untuk kaya, diperbolehkan mempunyai harta yang melimpah tetapi harta yang melimpah itu bukan untuk hidup bermewah-mewahan tapi itu semua adalah alat/sarana untuk penyempurnaan ibadah kita kepada Allah, berjuang di jalannya. Sehingga betul-betul dengan perjuangan itu bagaimana mengangkat Islam ini menjadi Rahmatan Lil’Aalamiin. Jika hal tersebut bisa dilaksanakan, kata Allah “Itulah lebih baik untukmu kalau kamu betul-betul mengerti”. Sayangnya banyak orang yang beriman yang tidak mengerti sehingga hanya sedikit sekali komunitas orang yang berjihad di jalan Allah.Jika hal itu bisa dilakukan semua, maka Allah menjamin “ Bagi mereka diampuni dosa-dosanya, surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya Itulah keberuntungan yang paling besar”.
Mudah-mudahan kita dapat berupaya setahap demi setahap meningkatkan kualitas ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dan kita juga berdoa mudah-mudahan pemimpin bangsa kita kedepan yang sebentar lagi akan kita pilih di bulan Juli, bisa menjadi pemimpin yang bertaqwa sehingga bisa membawa bangsa ini menjadi masyarakat yang bertaqwa. Karena jika pemimpinnya bertaqwa, masyarakatnya akan dibawa kepada bertakwa sehingga Allah menjamin kebahagiaan umatnya. Berkah dari Allah akan diturunkan baik dari langit maupun bumi, tapi jika tidak yang datang sebaliknya yaitu siksa yang pedih yang membuat menderita bagi semuanya.
Oleh, Dr. Edi Suresman, M.Pd.