Hasil Usaha Yang Bukan Rezki Kita

Pada suatu saat, pernah hidup seorang sufi yang terkenal amat dermawan. Ia selalu membagikan rezki yang ia miliki. Ketika banyak orang memuji kemurah-hatiannya, sang sufi hanya menjawab, “Aku hanyalah ceret yang mengalirkan air ke cawan-cawan kalian. Pujilah dia yang memasukkan air ke dalam ceretku”.  Siapakah Dia yang mengisi ceret sang sufi tersebut?.  Al-Qur’an menjawab melalui dialog Nabi Zakaria dengan Sayyidah Maryam. “Nabi Zakaria bertanya: Wahai Mariam dari mana engkau dapati (buah-buahan) ini?  Mariam menjawab; Ia adalah dari Allah, sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada sesiapa yang  dikehendakiNya dengan tidak disangka-sangka.”  (QS.3 : 37 ).

Allah Ta’ala yang memberikan kita nikmat rezki, adapun kalau ada yang memberi rezki selain Allah Ta’ala maka itu hanyalah perantara yang melalui mereka Allah Ta’ala mengalirkan nikmat rezki tersebut. Nabi SAWW bersabda : “Berterima kasihlah kamu kepada Allah dan kepada orang yang melalui mereka Allah Ta’ala mengalirkan nikmat-Nya kepadamu”. Kita diperintahkan untuk berterima kasih kepada orang tua karena melalui orang tua, Allah Ta’ala mengalirkan nikmat kehidupan kepada kita.  Kita diperintahkan untuk berterima kasih kepada guru-guru karena melalui guru, Allah Ta’ala mengalirkan nikmat ilmu kepada kita. Kita diperintahkan untuk berterima kasih kepada lembaga tempat kita bekerja mencari nafkah karena melalui lembaga,  Allah Ta’ala mengalirkan rezki untuk bekal kehidupan kita.  Bagaimana mungkin orang yang telah diberi nikmat rezki kehidupan oleh Allah melalui orang tua, kita akan menyakiti orang tua.  Bagaimana mungkin orang  yang telah diberi nikmat rezki ilmu oleh Allah melalui guru-guru, kita akan mengabaikan ilmu tersebut. Bagaimana mungkin orang yang telah diberi nikmat rezki oleh Allah melalui lembaga tempat kita bekerja, kita akan bermalas-masalahan dalam bekerja, sering meninggalkan dan tidak melaksakan kewajiban dengan baik, bersifat boros dan tidak amanah serta menceritakan keburukan lembaga tempat dimana kita bekerja.

Dalam sebuah percakapan disudut kantor, sebuah pertanyaan sambil berkelakar terlontar, “Apa jadinya bila si A atau si B dan si C menjadi pimpinan kita? Jawaban yang polos muncul siapapun yang jadi pimpinan tidak masalah yang penting dapat memberi kesejahteraan dan rasa aman kepada kita. Sejahtera dan rasa aman adalah rezki bagi kita, karena tanpa ada kedua itu maka kita tidak akan bisa bekerja dengan baik, tanpa kedua itu pikiran kita akan marancabang kesana kemari dan tanpa kedua itulah kita mencari dan mengabdi di luar lembaga kita. Bahkan lebih ekstrimnya lagi tanpa kedua itu pikiran kotor muncul terhadap lembaga kita. Jadi apa yang kita inginkan? Rezki kesejahteraan yang begitu banyak atau rasa aman yang dapat mendamaikan. Allah Ta’ala tidak menciptakan semua orang dimuka bumi ini sama, seperti yang difirmankan dalam al-Qur’an surat An Nahl ayat 71 : “Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki”.  Namun prinsip universal yang terdapat semua ajaran agama, semua budaya dan semua keyakinan bahwa keadilan, menepati janji, menghormati orang tua, menjaga amanah, memberi rasa aman dan meningkatkan kesejahteraan adalah tolak ukur pimpinan yang kita inginkan.

Di atas sering kita menyebutkan tentang rezki, maksud dari rezki adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Secara umum bumi yang kita pijak, udara yang kita hirup, kesehatan panca indra yang kita nikmati, anak dan istri yang dapat mendamaikan kita, itu semua adalah rezki. Ada juga rezki yang tergolong kepada rezki hasil usaha kita, namun tidak semua hasil usaha kita adalah rezki kita, sebab tidak semua hasil usaha bisa dimanfaatkan oleh kita. Rezki tidak bisa diukur dari besar kecilnya yang didapat oleh kita, namun rezki diukur dari apa yang bisa dimanfaatkan oleh kita. Seratus, lima puluh, sepuluh juta atau lima ratus ribu gaji kita perbulan itulah hasil usaha kita. Dari nilai seratus, lima puluh, sepuluh juta atau lima ratus ribu, berapa nilai yang bisa kita manfaatkan?. Orang yang berpenghasilan seratus juta perbulan namun hidupnya tidak tenang, sedikit sakit pusing berobat ke Singapura atau Eropa hingga keluar banyak biaya, namun dengan penyakit yang sama bagi orang yang berpenghasilan lima ratus ribu bisa sembuh dengan obat sakit kepala misalnya itulah rezki.

Kebermanfaatan adalah tolak ukur rezki kita. Kita berusaha hingga mewariskan harta kekayaan yang banyak yang bisa menghidupi anak cucu kita. Kekayaan tersebut adalah hasil usaha kita namun belum tentu rezki kita, sebab setelah kita meninggal kekayaan tersebut adalah menjadi rezki anak cucu kita. Oleh karena itu, ada orang yang giat berusaha namun tidak mendapatkan rezkinya, namun ada orang yang tidak berusaha namun mendapatkan rezkinya.  Belanjakanlah hasil usaha kita di jalan Allah ta’ala agar menjadi rezki kita sebagai bekal di dunia fana dan bekal di akhirat kelak. Kata Allah Ta”ala: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. 2:261).  Rasulullah bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya seseorang di antara kamu tidak akan mati, sehingga sempurna (habis) rezekinya. Maka janganlah kamu menganggap lambat pada rezeki itu; bertaqwalah kepada Allah dan baik-baiklah dalam mencari rezeki. Ambillah yang halal begimu dan tinggalkanlah apa yang telah Allah haramkan”. (Hadist Ibnu Zubair dari Jahir r.a). Terlalu khawatir akan kehidupan anak cucu kita dimasa yang akan datang membuat kita berusaha tanpa mengenal waktu dan batas halal dan haram dalam menumpuk kekayaan yang nantinya akan dijadikan warisan dan melupakan bekal kita diakhirat kelak.  Padahal Allah Ta’ala berfirman : Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu…” (QS. 17: 31), “Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka…” (QS. 6: 151).

Di dalam rezki ada unsur keberkahan dan kemanfaatan itulah yang dimaksud dengan keberkahan. Secara ilmu bahasa, “al-barakah” berarti “berkembang, bertambah dan kebahagiaan.  Imam an-Nawawi berkata, asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.  Sedikit dari Allah Ta’ala itu lebih baik daripada banyak dari syaitan, Allah berfirman :  Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS.8:28). Ibnu Qayyim berkata, tidaklah kelapangan rezki dan amalan diukur dengan jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya yang berjumlah banyak, akan tetapi, kelapangan rezki dan umur diukur dengan keberkahannya.  Robert T. Kiyosaki berkata yang disebut orang kaya adalah bukan berapa besar active income anda melainkan kaya adalah apabila passive income lebih besar dari biaya hidup. Yang dimaksud passive income disini adalah uang yang masuk tanpa harus bekerja. Mungkin saja seseorang yang hanya memiliki sedikit dari rezki, akan tetapi karena harta itu penuh dengan keberkahan, maka ia terhindar dari berbagai mara bahaya, penyakit, dan tenteram hidupnya. Dan sebaliknya, bisa saja seseorang yang hartanya melimpah ruah, akan tetapi karena tidak diberkahi Allah, hartanya tersebut menjadi sumber bencana, penyakit, dan bahkan mungkin ia tidak dapat memanfaat harta tersebut.

Amal shaleh yang kita jalankan akan menjadikan rezki kita berkah, diantara amal sholeh tersebut adalah : Pertama, Mensyukuri segala nikmat. Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan menusia, melainkan datang dari Allah Ta’ala.  “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. 14 : 7). Kedua, Membayar zakat, infaq dan shodaqoh.  “Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya berkata (berdo’a) : “Ya Allah, berilah pengganti bagi orang yang berinfak”, sedangkan yang lain berdo’a :”Ya Allah, timpakanlah kepada orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran” (Hadits Muttafaqun alaih). Ketiga,  Bekerja mencari rezki dengan hati qona’ah, tidak dipenuhi ambisi dan tidak serakah.  “Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rezki yang telah Ia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rezki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rezkinya tidak akan diberkahi” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Keempat, Bertaubat dari segala perbuatan dosa. “Dan (Hud berkata) : Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuta dosa” (QS.11 : 52).  Kelima, Menyambung tali silaturahmi.  “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rezkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim” (Hadist Muttafaqun ‘alaih).  Keenam, Mencari rezki dari jalan yang halal. “Janganlah kamu merasa bahwa rezkimu datangnya terlambat. Karena sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rezki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram”. (HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm dan Al-Hakim). Ketujuh, Bekerja saat waktu pagi.“Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani].

 

Wallahu A’lam Bishawab.

Wassalam,

Penulis : Prof. Dr. Munir, M.IT.