Shaum : Media Pembinaan Tauhid

Shaum Sebagai Media Pembinaan Tauhid
untuk Menumbuhkan Integritas Moral

Shaum kali ini, entahlah menjadi siklus ke berapa dari kehidupan kita. Entah pula, kita tak pernah tahu apakah kita akan masih diberi kesempatan untuk melakoni siklus shaum berikutnya, pada episode kehidupan kita. Sementara, kita tak pernah tahu, bahkan bisa saja kita justru lupa atau bahkan melupakan, tujuan shaum untuk mencapai derajat muttaqin itu sudah kita raih atau belum. Saya punya pikiran, lebih baik kita berprasangka dengan logika terbalik saja, bahwa derajat muttaqin itu belum bisa kita raih, daripada kita menepuk dada dan menyatakan kita telah menjadi manusia yang bertaqwa sementara amat banyak dari perbuatan kita yang justru jauh dari ciri-ciri hakiki manusia taqwa. Dengan logika terbalik seperti ini, kita akan senantiasa menuntut, memacu, dan bahkan sesekali memaksa diri kita untuk terus berbuat baik, beramal dengan penuh rasa was-was dan takut kalau-kalau amalan kita itu tidak sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan Allah swt. Sementara, kalau kita berprasangka bahwa kita sudah menjadi manusia yang bertaqwa, kita akan menjadi takabbur, merasa diri amal sudah baik, dan akhirnya mengendorkan semangat beramal shaleh. Padahal, sifat seperti itulah, yakni takabbur, yang menyebabkan diusirnya Iblis dari syurga karena merasa diri lebih baik dari Adam a.s. karena dia diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah. Mari kita berdo’a mudah-mudahan, sifat-sifat takabbur yang barangkali ada dalam diri kita itu, sekecil apapun itu, segera dicabut dan diajuhkan Allah swt dari kita semua. Aamiin.

Kalau kita perhatikan penggalan ayat al Baqarah 183 yang memerintahkan shaum itu, maka kita akan memperoleh empat penggalan. Pertama, ungkapan yaa ayyuhal-ladziina aamanuu. Ini adalah panggilan khas dan eksklusif yang dibuat Allah Sang Maha Pengasih kepada orang-orang yang beriman. Sahabat-sahabat Rasulullah saw semua sepakat bahwa apabila Allah membuat panggilan eksklusif seperti ini, maka sudah semestinya orang-orang yang telah mengaku dan mengikrarkan diri beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bangkit untuk mendengarkan/menyimak panggilan itu. Dengan datangnya panggilan itu, maka orang beriman mestinya tersentak, karena mereka dipanggil oleh Yang Maha Kasih, Allah Sang Khaliq. Dengan panggilan eksklusif itu, pasti Allah akan menyampaikan sebuah kabar teramat penting yang wajib diperhatikan oleh manusia beriman. Tak ada alasan untuk kemudian justru berleha-leha. Sebab, manakala justru berleha-leha, tak ada perhatian, acuh tak acuh, jangan-jangan kita justru belum memiliki iman tersebut dalam diri kita sendiri. Manakala hal itu yang terjadi, selayaknyalah kita menyegarkan kembali pernyataan iman kita itu. Aamantu billaahi wa rasulah…, lalu kita ikuti dengan perbuatan nyata.

Penggalan kedua adalah isi dari seruan yang akan disampaikan, yaitu kutiba ‘alaikumush-shiyaam. Pernyataan ini memuat isi perintah, sebuah syariat agama yang disebut dengan shaum. Ayat-ayat selanjutnya menjelaskan bagaimana syariat shaum itu mesti dilakukan, dan Rasulullah saw sendiri yang memberikan contoh bagaimana kaifiyatnya: kapan, berapa lama, apa yang boleh, apa yang tidak boleh,dlsb. Penggalan ketiga adalah bahwa syariat shaum itu diperintahkan kamaa kutiba ‘alal-ladziina min qablikum ‘seperti telah diperintahkan kepada yang sebelum kalian’. Artinya, bukan hanya ummat nabi Muhammad saw yang terkena perintah shaum ini, sebab ummat-ummat nabi yang sebelumnya pun sama-sama pula diperintah melaksanakan shaum, yang tentu saja kaifiyatnya bisa berbeda. Ibadah bukan hanya urusan tekstual, tetapi memang dan pasti amat kontekstual, sesuai dengan keadaan ummat yang didatangi oleh para Rasul Allah itu, walaupun Allah telah menjamin bahwa syariat yang dibawa oleh Rasul terakhir, Muhammad saw, akan berlaku sepanjang zaman. Dengan kata lain, walaupun teks syariat/perintahnya tetap, teks itu akan senantiasa kontekstual sampai akhir zaman. Itulah salah satu mu’jizat Rasulullah saw yang tidak dimiliki oleh nabi dan rasul-rasul lainnya. Subhanallah. Allohu Akbar

Penggalan keempat adalah la’allakum tattaquun. Ini berisi tujuan shaum, yaitu ‘dengan harapan atau mudah-mudahan dengan shaum itu, kalian menjadi taqwa’. Esensi taqwa dijelaskan pada banyak tempat dan tersebar di dalam al Quran, mulai yang awal sekali di dalam al Baqarah ayat 3 sampai ke bagian-bagian surat-surat lainnya yang mengikuti dan menjadi sebuah keutuhan, sebagai bagian yang saling menjelaskan, mengikat, dan menguatkan. Namun demikian, apabila kita telisik ayat-ayat yang terkait dengan taqwa ini, kita akan memperoleh fakta bahwa taqwa adalah sebuah kondisi dinamis yang paling tinggi, menjadi puncak dari sebuah dinamika kehidupan manusia sebagai khalifatullah. Betapa tidak. Sebagai khalifah, seorang manusia pertama kali diperintahkan untuk meneguhkan keimanan, sebagai fondasi dari kesiapan untuk menjadi khalifah dan makhluk Gusti Allah di muka bumi. Pernyataan ini telah menjadi ikrar pertama manusia, bahkan jauh sebelum dia gelar terlahir ke alam dunia. Setiap manusia telah membuat perjanjian dengan Yang Maha Pencipta bahwa Allah memang Yang Menciptakannya, dan di saat berikrar itu ada indikasi pula bahwa ia siap menjadi hamba Allah. Dengan konsep seperti ini, maka kita yakin benar bahwa setiap manusia yang terlahir ke dunia ini, semuanya berada dalam kondisi telah beriman—mereka sudah mu’min. Dalam bahasa Rasulullah, kondisi itu disebut fitrah….kullu mauluudin yuuladu ‘alal fithrah.

Pascakelahirannya ke dunia, manusia dituntut untuk mencapai derajat kedua dalam kaitan hubungan dirinya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu mereka harus berserah diri menerima hukum atau syariat yang disampaikan Yang Maha Pencipta itu melalui Rasul-Nya. Dalam agama, derajat kedua ini disebut ber-Islam terhadap ajaran Gusti Allah, dan statusnya disebut Muslim. Namun demikian, sayangnya, tidak semua manusia dapat meraih derajat kedua ini sekali pun, sebab banyak yang kemudian lebih memilih ingkar terhadap hukum-hukum Allah, dengan berbagai jenis dan tingkat pengingkarannya. Keingkaran ini,dalam bahasa agama disebut kafir, sebab ia telah menutup hati nuraninya terhadap masuknya ajaran Gusti Allah dan menolak untuk mengikuti dan apalagi menjalankan ajaran-ajaran itu. Di sinilah benarnya ungkapan Rasulullah, bahwa kondisi fitrah atau mu’min yang telah dibawa sejak seorang manusia lahir ke dunia ini tidak bisa serta merta dapat dipertahankan, dipupuk, dan berkembang menjadi muslim, sebab adalah orang tuanya (sebagai pihak yang amat dekat) [dan juga lingkungannya, yang menjadi tempat kehidupan seseorang bergaul dengan sesamanya] yang akan menjadikan si manusia yang mu’min dan fitrah itu menjadi yahudi, nashrani, atau majusi.

Kita yang saat ini ada di sini, dan semua yang telah menerima ajaran Gusti Allah, layak menyebut diri sebagai muslim, sebab setidaknya kita selain telah menerima ajaran-ajaran itu, kita juga telah menjalankan sejumlah ajaran itu, termasuk salah satunya adalah ibadah shaum. Namun demikian, menjadi muslim saja tidaklah cukup. Sangatlah tidak cukup! Artinya, menjalankan sebuah syariat/ibadah tidaklah cukup dengan alasan karena kita telah ber-Islam, alias menjadi Muslim. Menjadi muslim belumlah menjadi pribadi yang paling baik, belum menjadi sosok pribadi yang diharapkan oleh agama. Sebab, ada tuntutan lain yang harus dicapai manakala kita melakoni sebuah ibadah, yakni bahwa ibadah itu hendaklah dilaksanakan dengan penuh ikhlas—seperti dinyatakan dalam al Quran surat al-Bayyinah wamaa umiruu illaa liya’budullaaha mukhlishiina lahud-diina hunafaa…’tidaklah mereka itu diperintah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah melainkan harus melakukannya  dengan  ikhlas

karenanya’.Sebagai salah satu wujud ibadah, shaum diperintahkan Rasulullah kepada ummatnya agar dilaksanakan dengan penuh iman dan ikhlas, apabila ummatnya itu mengharap perolehan ampunan akan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Ikhlas merupakan wujud penerimaan seseorang terhadap sebuah amanat hidup, baik berupa perintah atau hasrat/keinginan dirinya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tanpa mengharap lebih daripada keridloan Allah swt. Tujuan pengabdiannya semata hanya karena Allah, sebab dia telah mengikatkan diri hanya kepada Allah, sedangkan yang lain adalah makhluk semata, yang semua gerak langkahnya ada dalam kontrol Allah. Ia senantiasa percaya dan yakin sepenuhnya bahwa semua yang di luar Dzat Allah tak akan mampu memberi manfaat atau menimpakan mudharat kepada dirinya kalau Allah memang telah menakdirkan lain daripada yang diinginkan oleh makhluk-Nya itu. Kepasrahan seperti ini, dapat kita saksikan pada diri khalilullah Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Ismail a.s manakala mereka siap dan pasrah sumerah menerima perintah agar sang Bapak menyembelih anaknya yang amat dicintainya. Itulah wujud ujian keikhlasan terhadap kedua hamba Allah itu. Lulusnya kedua kekasih Allah itu telah menempatkan mereka sebagai manusia yang ikhlas, mukhlisin. Demikian pula kita; mestinya terus berupaya agar segenap ibadah yang kita lakukan itu ada dalam bingkai ikhlas.

Keikhlasan kita dalam beribadah, pasti akan sangat dinamis, ia bisa naik dan turun. Ia sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik yang terjadi dan berkecamuk dalam diri kita sendiri maupun oleh kondisi lingkungan eksternal yang ada di sekitar kehidupan kita. Dalam kaitan ini, Rasulullah menitipkan kepada kita semua agar kita mampu menjaga dan menambah nilai baik setiap amalan kita itu melalui sebuah konsep yang disebut ihsan. Kegalauan yang kita alami ketika kita beribadah itu, di mana potensi kekurang-ikhlasan bisa mencuat, yang bersumber dari diri sendiri atau akibat pengaruh dari luar, dapat ditepis manakala kita yakin bahwa penilaian kualitas ibadah kita itu merupakan prerogatif Allah semata, sementara Allah ada di mana-mana,dalam semua ruang dan waktu, sebab Allah memang tidak perlu ruang dan waktu. Pesan Rasulullah itu terpatri dalam sabdanya al ihsaanu anta’budallaah ka annaka taraahu, fain-lam takun taraahu, fainnahu yaraaka ‘ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tak melihat-Nya [dan hal itu tidaklah mungkin], maka sesungguhnya, Dia melihatmu’.

Bayangkan, sebuah kondisi dinamis dari kualitas seorang manusia yang telah mencapai ihsan. Dia beribadah dengan penuh rasa khidmat, penuh keyakinan akan hadirnya Allah dalam semua kesempatan. Dengan demikian, mereka akan senantiasa memperbaiki kualitas ibadahnya dan memberi kebaikan kepada yang lain apa-apa yang mereka kerjakan itu. Mereka menjadi pemberi manfaat kepada yang lain, sebab hanya kebaikan yang diberikannya kepada diri dan lingkungannya. Sementara itu, bukankah kita juga telah diberitahu dalam salah satu sabda Rasulullah saw bahwa ‘manusia terbaik yang ada di lingkunganmu adalah manusia yang paling bisa memberi manfaat kepada lingkungannya’? Artinya, manakala seseorang telah tampil menjadi seorang muhsin, dia akan menjadi manusia terbaik yang pernah diciptakan Allah. Dalam kondisi apapun, ia akan tampil dengan karakter terbaiknya, sebab ia sendiri sesungguhnya adalah kebaikan itu sendiri, ia menjadi sumber kebaikan; kebaikan telah menyatu dalam dirinya.

Ketika semua kebaikan telah menjadi gerak langkah dan menyatu dalam hidup seseorang, maka tak pelak lagi bahwa hamba tersebut telah meraih semua sifat dan prilaku orang yang bertaqwa. Betapa tidak! Dia terus berusaha memperbaiki semua amalannya, semua interaksi dirinya dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Khaliknya. Dia hanya menyebarkan kebaikan. Bahkan, dia sendiri adalah kebaikan. Ini adalah cerminan dari kualitas seorang muttaqin, yang selalu merasa takut kalau-kalau Gusti Allah tidak ridlo kepadanya, kalau-kalau setiap langkah paripolahnya tidak sejalan dengan kehendak Allah, kalau-kalau dia tercerabut dari pangkuan dan kasih sayang serta rahmat Allah swt.

Kualitas taqwa seperti inilah yang sesungguhnya dikehendaki Allah swt ketika Dia memerintahkan shaum kepada semua ummat manusia sejak syariat shaum ini pertama kali turun kepada nabi terdahulu sampai kepada khatamannabiyyin, Muhammad saw. Sementara itu, kita amat yakin bahwa esensi syariat kenabian tidak pernah berubah, sampai kapan pun. Sejak nabi-nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu’aib, Musa, dan Isa alaihimus-salam, sampai kepada nabi Muhammad saw., syariat itu bisa disimpulkan hanya dalam tiga kata, yakni sembahlah Allah (ibadah), jangan persekutukan Dia dengan apapun (tauhid), supaya menjadi manusia yang bertaqwa. Dari tiga esensi syariat itu, dua hal yang tidak pernah berubah, baik teks maupun konteksnya, baik dalam logika maupun dalam implementasinya. Pertama adalah tidak pernah berubahnya syariat tentang tauhid, yakni bahwa manusia tidak boleh menyekutukan Allah, yang dalam istilah agama disebut musyrik. Saking murkanya Allah, maka siapa pun yang dihinggapi perilaku musyrik, Allah tidak akan pernah mengampuni dosanya ini. Terlalu murka Allah kepada pelaku-pelaku musyrik ini, sehingga dosa itu menjadi tak berampun… innallaaha laa yagfiru ayyusyraka bihi, wayagfiru maa duuna dzaalik. Yang kedua, tidak juga pernah berubah konsep dari tujuan syariat itu sendiri, yakni taqwa. Artinya, semua syariat yang diturunkan Allah kepada semua ummat melalui para nabi, tujuan akhirnya adalah agar manusia itu mencapai derajat taqwa. Sementara itu, implementasi dari konsep ibadah sangatlah kontekstual. Banyak aspek kehidupan yang bisa dijadikan media ibadah. Jenis dan cara beribadah ummat terdahulu sangat boleh jadi berbeda dengan praktek ibadah ummat nabi Muhammad saw. Perbedaan ini bukan merupakan penyimpangan dari syariat, melainkan justru merupakan ke-Maha Bijaksana-an dan ke-Maha Kasih-an Allah kepada makhluk-Nya.

Ketika Allah swt menyatakan bahwa shaum adalah sebuah syariat agama yang tujuan akhirnya adalah agar manusia beriman itu bertaqwa, sedangkan syariat itu sudah diturunkan juga kepada para nabi terdahulu, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ummat terdahulu pun diperintah shaum itu agar bertaqwa. Mengapa? Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah dikemukakan di atas, yakni bahwa taqwa adalah kondisi dinamis paling puncak dari kualitas seorang hamba. Ia merupakan rangkaian dari kondisi telah beriman (mu’min) sebagai fondasinya, kemudian menyatakan sambutan dengan berserah diri alias ber-Islam (muslim), lalu melaksanakan ibadah dengan penuh ikhlas (mukhlis), dan selalu memperbaiki kualitas ibadah sehingga menjadi kebaikan (muhsin). Akumulasi dari nilai-nilai tersebut adalah muttaqin. Oleh karena itu, tak dapat disangkal lagi, bahwa seseorang yang telah memiliki kualitas puncak tersebut, ia akan memiliki integritas moral yang sungguh-sungguh paripurna, yang dijanjikan Allah swt akan memperoleh imbalan terbaik dari-Nya, yakni menempati syurga paling indah, di mana keridloan dan wajah Allah akan selalu tersanding dengannya. Subhanallah

Oleh, Prof. H. E. Aminudin Aziz, M.A., Ph.D.
ankara escort
çankaya escort
ankara escort
çankaya escort
ankara rus escort
çankaya escort
istanbul rus escort
eryaman escort
ankara escort
kızılay escort
istanbul escort
ankara escort
istanbul rus Escort
atasehir Escort
beylikduzu Escort