Hikmah Shalat Dalam Membentuk Kepribadian Muslim

Imam Ali bin Abi Thalib ra. Pernah berkata :”Sungguh aku sangat tercengang. Tidak pernah aku melihat sesuatu yang serius lagi pasti, tetapi dianggap hal yang sepele sepertinya dia tidak akan terjadi, itulah maut. Aku juga tidak melihat sesuatu yang akan ditinggalkan lagi kecil, namun banyak diperebutkan dan seolah-olah merupakan sesuatu yang besar dan kekal, itulah dunia”

Ungkapan Imam Ali ra. Tersebut di atas, kalau kemudian ditarik ke ranah ibadah, khususnya shalat, terdapat pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh kita selaku ummat Islam. Pertanyaan tersebut adalah: mengapa uraian dan perintah mengenai shalat di dalam al-Qur’an terjadi berulang-ulang? apakah ia merupakan ulangan yang tidak dibutuhkan lagi, mengingat telah lamanya kewajiban ini dikenal umat? Atau apakah ia merupakan uraian yang sangat dibutuhkan, mengingat banyaknya umat yang enggan atau malas dalam mendirikan shalat atau umat ingin shalat tapi tidak tahu ilmunya, atau mengerjakan namun keliru, atau mendirikan dan melaksanakan shalat namun tidak menghayati kandungan dan makna dalam shalat tersebut ?

Pertanyaan-pertanyaan itu layak untuk dikemukakan, mengingat masih banyaknya umat Islam saat ini yang melaksanakan shalat, namun seolah shalatnya tidak memberikan dampak apapun dalam perilaku keseharian, baik perilaku individual maupun perilaku sosial.

Allah SWT, telah berfirman di dalam QS. Al-Ankabut (29) : 45 :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Surat al-Ankabut ayat 45 tersebut di atas, diawali dengan kata ‘utlu’ terambil dari kata ’tilawah’ yang pada mulanya berarti mengikuti. Al-Qur’an membedakan penggunaan kata tilawah dengan kata qiraah yang juga mengandung pengertian yang sama. Kata tilawah dalam arti membaca, menunjukan bahwa yang menjadi objek bacaannya adalah sesuatu yang agung dan suci, atau benar, sedangkan qiraah, maka objeknya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya bisa jadi positif namun bisa juga negatif.

Dalam QS. Al-Ankabut ayat 45 di atas, yang menjadi objek perintahnya adalah wahyu, sehingga perintahnya menggunakan kata utlu yang artinya ikuti ! Secara harfiah perintah tersebut mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca itu yang dalam hal ini adalah wahyu Allah, maka diikuti dengan pengamalan.

Setelahnya Allah SWT. memerintahkan untuk membaca wahyu-Nya yaitu al-Qur’an dan mengamalkan isi al-Qur’an tersebut, kemudian Allah memberikan bayan atau penjelasan mengenai hal yang harus diikuti dan dilaksanakan tersebut, yaitu dengan perintah untuk mendirikan shalat.

Di dalam al-Qur’an, perintah melaksanakan shalat senantiasa dengan kata aqimu atau yang seakar dengannya. Kata aqimu dan yang seakar dengan kata tersebut, mengandung makna berkesinambungan dan sempurna. Hal ini memiliki pengertian bahwa shalat harus dilaksanakan secara berkesinambungan, mentaati syarat-syarat dan rukun-rukunnya, sehingga menjadi sempurna.

Perintah untuk mendirikan shalat dengan sempurna tersebut, bukan hanya perintah yang tidak memiliki akibat dan hikmah, namun bahkan sebaliknya banyak akibat dan hikmah yang dapat diperoleh pelakunya. Akibat dan hikmah tersebut adalah tercegahnya pelaku shalat yang berkesinambungan dan sempurna dari perbuatan yang keji dan munkar.

Menurut Ibn ‘Asyur, kata tanha/melarang lebih tepat dipahami dalam arti majazi, sehingga ayat ini mempersamakan segala sesuatu yang dikandung oleh shalat sebagai “larangan”. Selain itu, dengan kata tanha yang digunakan pada ayat di atas terdapat makna yang mempersamakan shalat dengan segala hal yang dikandung dalam shalat tersebut bagaikan seorang yang melarang. Shalat mengandung sekian banyak hal yang mengingatkan kepada Allah, sehingga shalat merupakan pemberi ingat kepada yang shalat. Shalat itulah yang nantinya akan melarang atau mencegah melakukan pelanggaran yang tidak diridhoi Allah.

Dengan demikian, maka hikmah pengaturan Allah SWT terhadap waktu-waktu shalat sehingga berbeda-beda, agar secara berulang-ulang shalat itu sendiri melarang, mecegah, menasihati dan mengingatkan para pelaksana sholat yang akan berefek pada bertambahnya kesan ketakwaan dalam hati pelakunya serta terjauhkan jiwanya dari kedurhakaan.

Kedurhakaan di dalam ayat tersebut di atas, dikemukakan dengan dua kata, yaitu fashya dan munkar. Kata ‘al-fashya ‘a’ pada mulanya berarti sesuatu yang melampaui batas dalam keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan. Sedangkan kata ‘al-munkar’ pada mulanya berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak disetujui. Lawan kata dari al-munkar adalah al-ma’ruf, yang artinya dikenal. Sebagian ulama mendefinisikan kata munkar dari segi pandangan syariat sebagai segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan adat istiadat suatu masyarakat. Dengan demikian, maka kata munkar memiliki pengertian yang lebih luas dari kata ma’shiyat/maksiat.

Ayat tersebut di atas, menggandengkan kata al-fashya’ dan al-munkar, sehingga dapat disimpulkan bahwa Allah melarang manusia melakukan segala macam kekejian dan pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat. Dalam hal ini shalat mempunyai peranan yang sangan besar untuk mencegah kedua bentuk keburukan tersebut, apabila shalatnya itu sendiri dikerjakan penuh kesempurnaan dan berkesinambungan.

Abul Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya : QS al-ankabut 45 : Sesungguhnya di dalam shalat itu terkandung tiga perilaku, setiap shalat yang tidak mengandung salah satu dari ketiga perilaku tersebut bukan shalat namanya. Ketiga perilaku itu adalah: ikhlas, khusyuk, dan zikrullah (mengingat Allah). Ikhlas akan mendorongnya untuk mengerjakan perbuatan, dan zikrullah yakni membaca Al-Qur’an menggerakkannya untuk amar makruf dan nahi munkar.

Selanjutnya Allah SWT. menyebutkan dalam firman-Nya tersebut :
Yang berarti : “Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lainnya).
Kata dzikr digunakan dalam arti potensi dalam diri manusia yang menjadikannya mampu memelihara pengetahuan yang dimilikinya. Shalat dinamai dzikr karena di dalam shalat itu terdapat ucapan-ucapan serta ayat-ayat al-Qur’an yang harus diucapkan, dengan tujuan untuk mengingat Allah.
Ibnu Abbas berkata : “Sesungguhnya makna yang dimaksud ialah ingatan Allah kepada kalian di saat kalian mengingatnya adalah lebih besar daripada ingatan kalian kepada-Nya”.

Said Hawwa berkata : inilah esensi shalat dan menegakkannya. Siapa saja yang berhasil mewujudkannya akan menjadi manusia yang terbebas dari segala bentuk kelemahan, dan meningkat menjadi makhluk terbaik. Ibnu Abid-Dunya menyebutkan dari Fudhail bin Marzuq, dari Athiyah, bahwa yang dimaksudkan wa ladzikrullah akbar dalam firman Allah SWT tersebut adalah : “Ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian”. Pengingatan Allah terhadap kalian jauh lebih besar daripada pengingatan kalian terhadap-Nya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Yang benar tentang makna ayat ini, bahwa di dalam shalat itu ada dua makna yang besar, dimana yang satu lebih besar dari yang lainnya. Ia mencegah dari kekejian dan kemungkaran dan Ia juga mencakup mengingat Allah. Namun cakupan mengingat Allah ini lebih besar dari pada kemampuannya mencegah kekejian dan kemungkaran”.

Kata tashna’un digunakan untuk menunjuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang telah mahir dan terampil. Al-Biqa’i mengatakan bahwa shalat dan amal shaleh memerlukan latihan kewajiban dan pengulangan pengalaman agar ia menjadi kebiasaan yang melekat.

Sesungguhnya shalat yang khusyu, disertai hati yang tunduk, pengerjaan rukun, dan penghayatan bacaan dengan benar dan ikhlas memiliki dampak efektif dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar. Shalat yang dilakukan dengan kehadiran hati pada setiap apa yang dilakukan, merupakan dzikir yang murni karena Allah Ta’ala yaitu shalat yang menyatukan gerak hati, lisan, dan anggota badan secara integral.
Dengan memahami terhadap makna kata-kata yang terdapat dalam QS. Al-ankabut (29) : 45, maka minimal ada 4 hal pokok yang harus tertanam pada diri seseorang dalam mengerjakan sholat. Ke 4 hal tersebut adalah :

  1. Shalat itu harus dikerjakan secara berkesinambungan dengan mentaati syarat-syarat dan rukun-rukunnya;
  2. Shalat merupakan pemberi ingat kepada yang melaksanaknnya, dan shalat itu sendiri yang nantinya akan melarang melakukan pelanggaran yang tidak diridhoi Allah SWT;
  3. Shalat hanya akan mempunyai peranan yang sangat besar dalam mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar, apabila shalat dilaksanakan dengan kesempurnaan dan berkesinambungan.
  4. Mengingat Allah memerlukan latihan kejiwaan dan pengulangan pengalaman agar ia menjadi kebiasaan yang melekat.

 

Oleh, Drs. H. Diding M. Hasan, M.Ag.