Kadar Rasa Takut

 

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS: Al Faathir: 28)

 

Secara sederhana, rasa takut itu dapat dibagi dua yaitu rasa takut yang beralasan dan yang tidak beralasan. Rasa takut yang beralasan juga dibedakan yaitu rasa takut yang teridentifikasi dan yang tidak teridentifikasi. Rasa takut yang beralasan dan teridentifikasi adalah rasa takut yang menurut pengalaman dirinya akan menimbulkan rasa sakit atau tidak nyaman. Sedangkan rasa takut beralasan yang tidak teridentifikasi adalah rasa takut yang muncul karena tidak diketahui subjek ancamannya, sehingga tidak dapat diduga akibatnya. Rasa takut yang tidak berasalan adalah rasa takut yang tiba-tiba saja muncul tanpa sebab. Rasa takut yang terakhir ini biasanya muncul dari faktor psikologis yang tidak disadari oleh pihak yang merasa takut.

Rasa takut yang beralasan dan teridentifikasi misalnya takut ketika melewati jembatan yang rapuh. Berdasarkan pengetahuannya, jika terperosok dan jatuh ke sungai pasti menimbulkan rasa sakit. Rasa takut yang muncul dari “ketidaktahuannya” terhadap sesuatu misalnya rasa takut yang dirasakan oleh seseorang yang berjalan di tempat “angker”. Rasa takutnya akan muncul karena persepsinya tentang hantu yang menakutkan. Dia khawatir hantu itu akan menyakitnya. Adapun rasa takut yang muncul dari faktor psikologis terjadi karena gangguan kesehatan yaitu turunnya hormon cortisol (atau hormon stress) atau hormon neuropeptide-y (dikutip melalui Reuters, Senin, 16/2/2009). Orang yang mengalami gangguan pencernaan (maag) biasanya akan mempengaruhi hormon cortisol sehingga sering muncul rasa takut atau banyak khawatir yang tidak beralasan.

Permasalahannya adalah, apakah rasa takut merupakan gangguan sehingga perlu disingkirkan dari kehidupan manusia?. Rasa takut adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia akan mengikuti kehidupan secara terus menerus terutama rasa takut terhadap kematian.  Ada dua alasan munculnya rasa takut terhadap kematian, yaitu karena ada kesadaran bahwa setelah kematian ada hari pembalasan terhadap dosa-dosa yang diperbuat. Rasa takutnya muncul ketika ia khawatir dosa-dosanya tidak diampuni. Dengan rasa takutnya, ia berusaha untuk melakukan amal sholeh. Hanya dengan cara itulah, ia akan memperoleh “ketenangan” karena Tuhan tidak akan menyia-nyiakan amal sholehnya dan akan menjauhkan diri dari adzab api neraka.

Sebaliknya, ada juga orang yang merasa takut terhadap kematian tetapi ia tidak mengetahui “situasi” kehidupan setelah kematian. Orang yang tidak mengenal agama yang lurus, akan menduga-duga tentang kehidupan di alam  baka. Orang atheis, pasti merasa takut juga akan kematian, tetapi mereka akan berusaha “mencari alasan” untuk tidak mempercayainya. Walaupun pasti, hati kecilnya ciut juga ketika mengingat kematian. Ketika rasa takut itu muncul, mereka berusaha melupakannya karena dianggap sebagai gangguan terhadap rasa bahagia. Mereka akan mencari sesuatu yang dapat menghibur dirinya, menyibukkan dengan berbagai kegiatan atau bersenang-senang. Jika tidak mempan, mereka akan mencari minuman beralkhohol dari jenis etanol yang dalam dosis terentu dapat memberikan sensasi euforia dan meningkatkan rasa senang atau humor. Mereka melakukan itu semua dengan tujuan agar merasa lebih bahagia setidaknya untuk sementara waktu. Jika dengan cara itu tidak juga mengurangi rasa takutnya, mereka akan prustasi yang berujung pada bunuh diri.

Berdasarkan hasil penelitian, 60% dari semua kasus bunuh diri dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan mood atau suasana hati. Gangguan ini cukup luas, meliputi depresi berat dan gangguan bipolar, yaitu gangguan yang ditandai dengan perubahan suasana hati secara ekstrim. Sulit dijelaskan bagaimana orang mengalami gangguan mood, penulis beranggapan bahwa depresi muncul karena munculnya rasa takut yang sulit diidentifikasi dan tidak tahu solusinya. Oleh karena itu, banyak ahli mengatakan bahwa untuk mengatasi depresi, satu-satunya adalah dengan agama. Agama yang mana? Agama yang memberi penjelasan yang clear tentang kehidupan akhirat dan memberi petunjuk yang jelas untuk menjalani kehidupan pasca kematian.

Bagaimana menyikapi rasa takut? Munculnya rasa takut bagi orang yang beriman adalah anugrah jika dimanfaatkan untuk melecut diri mendekatkan diri kepada Alloh, semakin zuhud, dan lebih berhati-hati dalam menjalani kehidup.  Semakin mengetahui tentang sifat-sifat Alloh dan mengenal hukum-hukum Alloh, semakin takut kepada Alloh. Rasa takutnya bukan pada kelompok ketakutan yang “tidak teridentifikasi” tetapi karena ia benar-benar tahu tentang kehidupan akhirat yang abadi. Mereka sangat takut amalannya ditolak dan takut dosanya tidak terampuni. Alloh berfirman bahwa: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir: 28). Ulama artinya orang-orang yang mengetahui.

Barangkali ilustrasi berikut ini dapat membantu pemahaman kita tentang rasa takutnya para “ulama”. Seorang anak kecil usia satu tahunan tidak akan merasa “takut” ketika sedang menyebrang jalan raya yang ramai dengan arus lalu lintas. Anak kecil itu tidak merasa takut karena tidak tahu akan bahaya yang mengancamnya. Bandingkan dengan orang dewasa, untuk menyebrang jalan tentu akan merasa takut dan penuh kewaspadaan karena ia tahu terhadap bahaya yang mengancamnya yaitu tertabrak kendaraan.

Pertanyaannya, pada posisi manakah keberadaan kita. Apakah cukup merasa takut berbuat dosa atau sebaliknya menganggap remeh tentang dosa?. Jika masih merasa nyaman untuk berbuat dosa dan tidak ada rasa takut sama sekali, jangan-jangan kita termasuk seperti anak kecil yang sedang menyebrang jalan di jalan raya. Semakin mengenal Alloh, sifat dan karakter-Nya, dan dengan segala aturan-Nya, seseorang akan merasa “takut” kepada Alloh.

Jika orang-orang yang kafir dan musyrikin berusaha untuk melupakan rasa takut kematian, maka orang-orang beriman justru dianjurkan untuk mengingat kematian. Ada rasa takut, tapi dimanfaatkan untuk meningkatkan ketakwaannya.

Abdullah bin ‘Umar ra, mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah SAW tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar dan bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama. Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya di antara mereka”. Lalu bertanya lagi: Mukmin manakah yang paling cerdas?. Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.

(HR. Ibnu Majah) Wallauhu’alam.

Oleh, Dr. Ahmad Yani, M.Pd