Menemui Diri Melalui Ber-Idul Fitri

Khutbah Idul  Fitri 1 Syawal 1405 H./ 1985 M

Oleh,
Dr. H.M.I. Soelaeman

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر. لا اله الا الله والله أكبر، الله أكبرولله الحمد.

الحمد لله جعل اليوم عيدا لعباده المؤمنين، وختم به شهر الصّيام للمخلصين، وجعل فى طاعته عزّ الدّنيا والآخرة للطّائعين، فى معصيّته ذلّ الدّارين للعاصين.

أشهد أن لااله الاّ الله وحده لا شريك له شهادة بها تطهّر القلوب من الغشّ اللّعين، وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله  أطوع الخلق لربّ العالمين.

اللهمّ صلّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمّد وعلى آله وأصحابه المجاهدين.

أمّا بعد: فأوصيكم وايّاي بتقوى الله، فانّها شعار المتّقين ووصيّة الله للنّاس أجمعين.

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبرلا اله الاّ الله، والله أكبر ولله الحمد.

Hadirin yang sedang menghadap diri kepada Allah Maha Besar!

Tiap kali, kedatangan Idul Fitri disambut dengan takbir membahana, dalam alunan irama yang syahdu, menggema di udara, meresap di sanubari, sebagai ikrar pengakuan abdi yang merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, sebagai dialog anta-ra makhluk dengan khaliknya, antara abdi dengan Ma’bud.

Berbagai penampilan manusia yang merasa diri ber-ldulfitri ataupun ber-lebaran, tampil di hadapan kita. Kita amati pria gagah, wanita jelita, dengan wajah ceria, pandangan cerah, senyum ramah, berhias-hias yang meriah, berbalut pakian serba indah. Kegembiraan membayang di wajah: Gembira karena penampilannya penuh pesona dan mampu mengundang kekaguman yang memandang; gembira kare­na hari-hari lapar telah lewat dan kini dapat lagi makan-minum di siang hari, berpesta pora dalam suasana ria -meriah, di tengah makanan melimpah-ruah.

Manusia itukah yang ber-idulfitri ?

Kita amati pula orang pada hari lebaran berhilir -mudik, “jauh teu bu­rung dijugjug, anggang teu burung diteang”, saling mengunjungi, saling berulur tangan, saling berkirim surat lebaran, ataupun melalui iklan lebaran, sambil berucap: “Selamat Ber-lebaran”, kadang diselundupi sikap pamer kelebihan diri ataupun “panasbaranan”.

Itukah manusia yang ber-idulfitri ?

Kita temui pula orang berduyun-duyun mengunjungi kuburan, berbekal sebotol air dan segenggam kemenyan, sekantong kembang, menangisi nisan yang berlumut sambil berlutut…

Itukah manusia ber-idulfitri ?

Tidak jarang pula orang pada hari lebaran menghabiskan tabungan, “ngetrukeun eusi kanjut, dibelaan anjuk hutang”, untuk berpesta pora di hari yang datang hanya setahun sekali, menyatakan luapan kegembiraan, yang syukur sekarang telah dilarang digempitakan dengan letusan mercon dan petasan.

Itukah manusia berlebaran ?

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Aneka cara orang meneriakkan kegembiraannya di hari seperti ini. Patutkah kita menyatakan kegembiraan dengan cara itu? Dari manakah kegembira­an dan keceriaan itu?

Seorang arif mengingatkan :

ليس العيد لمن لبس الجديد، ولكنّ العيد لمن كان طاعته يزيد.

Bukanlah Idulfitri itu bagi mereka yang sekedar berpakaian baru, melainkan Idulfitri tersilah bagi yang ketaatannya (kepada Allah) bertambah.

Tersirat dalam peringatannya itu, bahwa ber-Idulfitri tidak pertama-tama bertitikberatkan pada penampilan lahir yang selintas, melainkan menghujam ke dalam kedalaman lubuk kalbu. Peringatannya itu mengingatkan kita kepa­da sabda Nabi r:

انّ الله لاينظر الى صوركم ولا الى أجسامكم ولكن ينظر الى قلوبكم.

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada penampilan lahir kali­an atau penampilan badani kalian, melainkan Allah memandang kepada kandungan kalbu kalian.

Bila demikian, baiklah kita arahkan pandangan kita kepada penampilan kelompok manusia lain:

Kita amati sekelompok manusia biasa, berperilaku lugu, namun terpancar padanya rasa syukur dan gembira, karena telah diberikan Allah SWT kesempatan umur, telah laksana mengemban tugas, bershaum sebulan lamanya, dihias dengan salat tarawih dan amal shalih, dipungkas dengan membayar zakat fitrah, penyuci diri. Dalam melaksanakan itu semua terngiang dalam pendengaran batinnya, sabda Rasulullah SAW :

شهر رمضان شهر كتب الله عليكم صيامه وسنّنت لكم قيامه فمن صامه وقامه ايمانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمّه.

Bulan Ramadhan ialah bulan yang diwajibkan Allah kepada kalian untuk melaksanakan shaum dan disunatkan bagi kalian mendirikan shalat (tarawih). Maka barangsiapa melaksanakan kedua hal tersebut atas dasar iman dan karena Allah semata-mata, maka ia dikeluarkan Allah dari dosa-dosanya bagaikan dalam keadaan saat ia dilahirkan dari kandungan ibu-nya.

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Kelompok manusia ini sebulan lamanya telah berupaya memenuhi janjinya yang setiap kali ia nyatakan dalam salatnya:

انّ صلاتى ونسكى ومحياي ومماتى لله ربّ العالمين

Sesungguhnya salatku, ibadatku (termasuk shaum di bulan suci Ramadlan), hidupku dan matiku, semata-mata hanyalah sebagai baktiku kepada Seru Sekalian Alam”.

Maka tiada tersirat dalam tingkahnya secercah rasa bangga dan anggah ataupun setetes rasa ria selama maupun setelah melaksanakan shaum itu. Shaum dan sidkahnya, salat serta amalannya, semata-mata diperhadapkannya kepada Ilahi Rabbi. Bagai-mana ia akan terbetik tinggi diri bila segala perbuat-annya diperuntukkannya kepada yang selalu dijun-jung dan disanjungnya.

Bagaimana perilakunya akan membiaskan rasa ria, kalau ia selalu merasa berhadapan dengan Dia Yang Maha Besar, kalau kalbunya senantiasa pekat dengan keyakinan akan kebesaran Yang Maha Besar, kalau setiap denyut jantungnya, setiap kedipan mata-nya, setiap tetesan darahnya bermadahkan:

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Allah   Maha Besar,  Allah  Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Panutan selain Allah. Allah Maha Besar. Bagimu teruntuk segala Puji.

Ungkapan takbir baginya tidak hanya sekedar alunan suara, melainkan senantiasa manifest dalam penghayatannya, melatarbelakangi dan terbaca dal-am setiap geraknya. la merasa selalu terpaut dengan Maha Pencipta. Situasi seperti ini dimadahkan Sang Penyair:

Tuhanku,

Dalam termangu

Aku masih menyebut NamaMu

Tuhanku

Di pintuMu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling !

Aku kesepian

Saat aku berdesak-desak di tengah orang banyak.

Akan tetapi di saat lengang sendirian

Aku larut dalam keakraban

Karena asyik ma’syuk dengan- Mu berhadapan !

Kedua serpihan sanjak dari Chairil Anwar dan Tagore itu menempatkannya dalam suatu posisi dan situasi yang khas. Sepercik pertanyaan muncul dalam kalbunya:

Allah Maha Besar !

Kalau Allah Maha Besar, betapa pula keadaanku ini? Bagaimana pula keadaanku ini?

Aku tinggal di Kampus indah Bumi Silivvangi, di bagian utara di kota Bandung yang permai. Kota Bandung yang indah ini, selama puluhan tahun kudiami, belum sempat kujelajah seluruhnya. Padahal kota Bandung hanyalah salah satu kota di Indonesia. Dan sekiranya saja tidak sempat membekaskan Konferensi Asia-Afrika, ia nyaris terlupakan di peta dunia. Sedang Bumi yang kita diami ini lebih kecil dari sebutir bintang di Alam Raya! Benar-benar aku lenyap di ruang yang tak terhingga luasnya ini. Maka dalam posisi keruangan, aku bukan apa-apa, betapa mungkin aku dapat berbuat ria?

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Berpuluh tahun lorong hidup telah kulalui dan entah berapa lama lagi akan ku sempat merambat di alur hayat. Akan tetapi usia manusia nyaris tak terbilang dalam hitungan riwayat kehidupan dan benar-benar lenyap dalam rentangan saat yang tak terhingga. Maka ditinjau dalam posisi kewaktuan, bagaimana mungkin aku berani berbuat ria?

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Di antara ni’mat yang telah Kau limpahkan kepada kami, civitas akademica IKIP khususnya, ialah berupa kesempatan untuk mereguk dan menekuni dunia ilmu, khususnya yang berkaitan dengan kegu-ruan dan kependidikan. Ternyata luas juga ilmu kependidikan itu. Bila kami memasuki ruang perpus-takaan, rasanya begitu sedikit yang telah kumiiiki. Padahal kita ini berada di abad ledakan ilmu penge-tahuan! Maka rasa bangga yang kadang sempat mengusik hati kami karena sempat mencicipi ilmu yang begitu canggih, menjadi memudar. Dan selanjut-nya kami sadar, bagaimana mungkin kami dapat bersombong ria, manakala kami ingat firman-Mu di ujung surat Kahfi ayat 109:

Katakanlah! Sekiranya samudera dijadikan tinta untuk menuliskan Kalam illahi, niscaya air laut akan menjadi kering kerontang, jauh sebelum Kalam Illahi tuntas ditulis, sekalipun kami menambahnya betapapun banyaknya”

Dalam  berhadapan  dengan-Mu, dalam mengha-dapkan diri dengan-Mu, aku ternyata lebih kecil dari sebutir debu; aku lenyap dalam tiada! Tiada artikah hidup kami, manusia, di bumi ini? Bagaimana kami dapat memberi arti bagi hidup di bumi ini? Bagai-mana kami yang kecil-kerdil ini akan mampu ber-simpuh di hadapan-Mu ya Allah Yang Maha Besar?

Allah, Sumber segala Hidayah, berfirman:

“Barang siapa berkeinginan untuk bertemu dengan lllahi, berbuatlah amal shalih dan jangan sekali-kali musyrik dalam mengabdikan diri kepada Panutannya, seorang pun.” (Q.S. Al-Kahfi: 110)

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Selama bulan Ramadlan telah kami upayakan menunaikan perintah-Mu, sedapat-dapatnya. Namun bagaimana mungkin kami akan berbangga ria bila kami sadari, betapa  raya limpahan Ni’mat dan Kasih- Mu kepada kami.

Dan Dia telah memberikan kepada kalian segala yang kalian minta. Sekiranya kalian menghitung-hitung ni’mat (yang dilimpahkan) Allah, tak akan mampu kalian memperkirakannya. Benar-benar msnusia itu dzalim lagi kufur.” (Q.S. Ibrahim: 34)

Maka mengertilah kami kini, betapa tibanya ‘Idul Fitri ini disambut sementara orang bukan dengan luapan gembira, melainkan dengan tetesan air mata, karena telah lewat baginya kesempatan emas untuk berdekat-dekatan dengan Panutannya, dalam suasana limpahan ni’mat dan rahmat itu. Menger­tilah kami, walau secara selintas, sabda Nabi r:

لو تعلم أمّتى ما فى رمضان لتمنّوا أن تكون السنة كلّها رمضان.

Sekiranya ummatku tahu apa yang terdapat di bulan Ramadlan, niscaya mereka akan mengangankan selu-ruh tahun merupkan bulan Ramdlan”.

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Bulan Ramadlan telah lewat. Iedul Fitri kini telah tiba.

Apa yang telah kuperbuat dalam bulan Ramadl-an yang penuh rahmat itu? Sekedar lapar dan dahaga?

كم من صائم ليس له من صومه الاّ الجوع والعطش

Seberapa jauhkah hari-hari shaumku menunjuk-kan kebedaan dari hari-hari biasaku? Seberapa jauhkah hari-hari shaumku itu telah tampil sebagai hari-hari yang terhormat, diliputi ketenteraman?

اذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن أكذب والمآثم ودع أذى الخادم واليكن عليك وقار وسكينة يوم صيامك ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء

“Sekiranya anda shaum, hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu “bershaum” pula, mampu menahan diri dari dusta dan dosa, dan hentikanlah (kebiasaanmu) menyakiti pembantu rumahtanggamu. Jadikanlah hari-hari shaummu sebagai hari penuh hormat dan kebesaran serta ketenteraman. Dan janganlah menjadikan hari-hari shaummu sama saja dengan hari-hari berbuka (hari-hari yang engkau tidak shaum).

Dengan kata lain, hari-hari Ramadlan jangan kita lewatkan begitu saja, seperti hari-hari biasa melainkan hendaknya diisi dengan perbuatan dan amalan yang bernilai tinggi di sisi lllahi, sehingga hari-hari tersebut tampil sebagai hari besar dan terhormat, diliputi suasana tenteram.

Dengan mengisi Ramadlan seperti itu, hari Idul Fitri akan tampil dan kita hayati secara lain. Hari Idul Fitri akan dihayati sebagai hari kembali (id) kepada keadaan fitrah, di mana kita “keluar” dari dosa-dosa kita bagaikan saat dilahirkan dari kandungan ibu.

Keadaan fitrah atau keadaan kita saat kita dila-hirkan dari kandungan ibu secara leksikon dapat diartikan sebagai “keadaan atau penciptaan asal”, na­tural disposition, الخلقة الأصليّة  .

Bila dikaitkan dengan Hadits:

كلّ مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه

“Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang-tuanyalah yang meyahudikannya, menas-ranikannya dan memajusikannya.”

maupun dalam kaitannya dengan Firman  lllahi  (Q.S. Ar- Rum: 30) yang berbunyi :

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(Q.S. Ar-Rum: 30)

Maka istilah  fithrah itu mempunyai konotasi khusus, yaitu Islam. Oleh karena itu Syaukani menafsirkannya sebagai:

الخلقة الطبيعه الّتى فى نفس الطفل يكون بها مهيّأ لمعرفة ربّهم فمادامت باقية على تلك الهيئة ادركت الحقّ ودين الاسلام ولايحجبها الاّ وساوس الشّيطان بعد البلوغ.

….karakteristik yang ditemui pada jiwa anak yang di dalamnya tersirat potensi untuk mengenal Ilahi. …. maka sepanjang jiwa anak itu tetap ada pada keadaan fithrah itu, ia akan mencapai kebenaran dan dinul Islam dan tiada yang menghalanginya kecuali godaan-godaan Syaitan setelah ia aqil baligh.

Keadaan yang murni yang tiada terhalang oleh penghalang apapun antara kalbu dengan llahi itulah yang (dapat) dimiliki muslim yang mengisi bulan Ramadlannya dengan shaum dan salat itu. Kepada keadaan seperti itulah (hendaknya) kita kembali pada Hari Idul Fitri ini!

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد

Para hadirin yang berbahagia!

Sekelumit riwayat mengundang perhatian kita untuk diresapi.

Suatu hari menjelang Idul Fitri, Rasulullah r menjumpai seorang anak sedang menangis.  Didekati-nya anak itu, dibelai kepalanya, sambil bersabda:  “Apakah gerangan yang kau tangisi? Bukankah sekarang ini hari gembira besok kita ber-Idul fitri?”

Dengan tersedu anak menjawab: “Ayahku pergi me-ninggalkan kami ke medan juang, membela Agama dan tak kembali. ibuku miskin, rumah tiada dan tiada seorang pun menyambut hari gembira itu!”

Dengan suara serak karena terharu mendengar kisah anak itu, dengan penuh kasih Nabi r memeluk anak itu sambil bersabda :

“Sudikah engkau bila Rasulullah menjadi ayahmu, Siti Aisyah menjadi ibumu dan Siti Fatimah menjadi kakakmu?“…

Hadirin yang berbahagia!

Peristiwa menjelang hari Idul Fitri, yang sekilas tampak kecil ini mengandung makna yang besar dan hanya dapat direalisasikan oleh orang besar. Pe­ristiwa kecil yang bermakna besar ini tidak berdiri sendiri. la merupakan titik konvergensi dan sekaligus titik divergensi dari serangkaian peristiwa. Dalam peristiwa kecil itu bertumpu berbagai pengalaman dan peng-amalan manusia, yang setelah ditelaah dan diolah, hingga merupakan perolehan yang mantap, berupa perbuatan yang nampak lugu dan ikhlas, seperti diulas di atas.

Dalam peristiwa yang sederhana itu tersingkap sekelumit riwayat Nabi sendiri, sebagai anak yatim-piatu, sehingga beliau benar-benar dapat menghayati dan menangkap makna kepiluan dan kenestapaan yang melanda anak itu sehingga apa yang dilakukan Rasulullah r terhadap anak tersebut benar-benar sinkron dalam situasi yang dihayati saat itu. Anak yang ibunya miskin dan ditinggal ayah tak kembali itu bertemu dengan penghayatan Rasulullah r yang bahkan tak sempat mendapat belaian kasih ayah serta sejak dini ditinggal ibu pergi untuk selama-lamanya.

Di lain fihak peristiwa kecil itu ber-divergensi dan mempunyai jangkauan jauh ke masa depan, tidak hanya untuk masa depan anak itu, melainkan mem-bias ke masa depan kehidupan umat manusia. Betapa tidak ! Perbuatan Nabi r yang merupakan suri tau-ladan bagi umat, mengisyaratkan betapa kita perlu menumpahkan perhatian, kasih sayang serta uluran tangan kepada anak yang tak mampu, anak yatim piatu.

Peristiwa tersebut kiranya relevan untuk dijadi-kan landasan pemikiran serta pengamalan konsep “Orang tua Asuh” yang sempat dicanangkan dan di-realisasikan oleh Almarhum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof.  Dr. Nugroho Notosusanto. Mudah-mudahan buah fikiran serta amalannya itu diterima Allah I sebagai amal shalih.

Hadirin  sekalia !

Ibu dan Bapak memang mempunyai arti khusus bagi anak. Hubungan antara anak dengan orang tua bukan sekedar hubungan biologis. Bagi anak, ibu tampil sebagai lambang kasih sayang sedang Bapak sebagai lambang wibawa. Kasih sayang dan kewiba-waan merupakan prasyarat yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan pendidikan. Sedangkan pendidikan mutlak diperlukan bagi perkembangan anak dalam menyongsong masa depannya sebagai manusia dewa-sa. Pertautan anak dengan orang tua sebagai pertaut-an pendidik­an merupakan pertautan yang kodrati sifatnya.

Dan pertanggungjawaban pendidikan yang di-emban orang terhadap putera-puterinya merupakan pertanggungjawaban yang kodrati pula. Rasulullah r bersabda:

كلّ مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah; maka kedua orangtua-nyalah yang meyahudikannya, menas-ranikannya dan memajusikannya.”

Hadist tersebut, di samping merujuk kepada pertanggungjawaban pendidikan yang diemban para orang tua, juga merujuk kepada kandungan arti fit-rah, yang seperti disinggung di muka, mengibaratkan keadaan seseorang yang bulan Ramadlannya diisi dengan shaum dan salat. Kepada keadaan fitrah itulah ia kembali manakala ia sempat melaksanakan shaum dan salatnya di bulan Ramadlan dengan baik. Maka hari sehabis Ramadlan disebut ‘ledul Fitri.

Hadirin yang berbahagia!

Demikianlah hubungan anak dengan orang tua-nya merupakan hubungan yang istimewa. Bagi orang tua, anak mencerminkan hubungan kasih-sayangnya dan dengan demikian merujuk pula kepada masa lalunya sejak dari perkenalan, pernikahan hingga kelahiran putera-puterinya yang kini sudah pada besar, akan tetapi sekaligus pula merupakan harapan masa depannya, bahkan harapan masa depan umat manusia. Dalam pada itu bagi anak, orang tua me­rujuk kepada asal-usulnya, kepada masa lalunya, dan di lain pihak, orang tua bagi mereka merupakan tempat berorientasi dan beridentifikasi, sehingga mereka mencerminkan masa depan anak.

Maka bagi muslim yang salih, ibu-bapak selalu lekat dalam kehidupannya sehingga keduanya selalu hadir secara laten dalam kalbunya, dan selalu me-ngenangnya dengan hormat dan syahdu. Bagi sau-dara-saudara yang ibu-bapaknya telah tiada, marilah kita kenang jasa beliau serta mari kita panjatkan do’a:

ربّ اغفرلى ولوالدي وارحمهما كما ربّيانى صغيرا

Ya Rabbi, Ampunilah hamba serta kedua orang tua hamba, dan limpahkan rahmat kepada mereka seba-gaimana mereka telah menyantuni hamba sejak se-masa kecil.

Semoga do’a kita itu diterima Allah sebagai do’a anak yang shalih .

Bagi sudara-saudara yang masih berbahagia, memiliki Ayah Bunda, khususnya pada hari ‘ledul fitri, hari kita kembali kepada fithrah, kesempatan terbuka untuk bersimpuh di kaki beliau, menum-pahkan kasih dan terima kasih kepada yang telah mengandung, membimbing, “ngabayuan” dan mem-besarkan kita dengan penuh kasih, sambil tidak pula lupa bersyukur kepada Allah I atas segala limpahan ni’mat dan rahmat-Nya.

“Dan kami mewajibkan manusia untuk (taat) kepada ayah-bundanya; Ibu yang telah mengandungnya dengan disertai derita demi derita, serta menyapihnya seusia dua tahun; Bersyukurlah kepada kami dan kepada ibu bapakmu; Kepada Kamilah kalian (akan) berpulang” (Q.S. Luqman: 14).

Hadirin yang Ber-iedulfitri!

Bila kita rangkum sekelumit hikmat yang sempat kita sadap dari kandungan arti ledul fitri seperti terungkap di muka, kita temukan diri kita terlibat dalam jalinan komunikasi dengan berbagai dimensi.

+     Gema takbir menyadarkan kita akan kepnbadian diri yang kecil berhadapan dengan Allah Maha Besar, kepada Siapa kita berlindung, kepada Siapa kita bermohon ampun, kepada Siapa kita membak-tikan diri.

+     Kita juga terundang untuk berhadapan dengan diri sendiri, untuk mempertanyakan kembali bagai-mana, dari mana, ke mana dan untuk apa kebera-daan diri kita ini.

+     Bahwa kita dilahirkan dari rahim ibu, “dibayuan” dibimbing dan dibesarkan ibu-bapak dengan penuh kasih menyadarkan akan hubungan, bah-kan ketergantungan kita kepada ibu-bapak. Sudahkah kita realisasikan hu­bungan tersebut sebagaimana mestinya ?

+     Dalam kehidupan sehari-hari kita juga berkomuni-kasi dengan rekan, kawan maupun lawan, dengan masyarakat, dengan sesama manusia.

+     Kita bertautan pula dengan lingkungan, dengan alam sekitar, dengan dimensi keruangan maupun kewaktuan. Sudahkah kita membenahi dan meng-isinya secara patut ?

Sekedar kriteria untuk mengevaluasi seberapa jauh kita ber-iedulfitri, baiklah kita simak sabda Rasul r berikut ini.

من كان يومه خير من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون، ومن كان يومه شرّا من أمسه فهو ملعون.

Barang siapa hari-kininya lebih baik dari hari kemarinnya, maka ia tergolong orang yang beruntung.

Barang siapa hari-kininya sama dengan hari-kemarinnya, maka ia ter­golong orang yang tertipu.

Barang siapa hari-kininya lebih buruk dari hari-kemarinnya, maka ia tergolong orang terla’nat.

Ke dalam kelompok manakah kita ermasuk ? Bagaimanakah rencana kita untuk hari esok ?

Ya Allah, Maha Pengasih!

Betapa dalam kesenjangan hidup hamba ini dengan pengaturan yang telah Engkau gariskan. Sekiranya Engkau tidak mengampuni kami, niscaya-lah kami ter­golong kepada yang merugi.

ربّنا ظلمنا أنفسنا وان لم تغفر لنا وترحمنا لنكوننّ من الخاسرين

Ya Rabbi, Hamba tidak mengaku-ngaku tergolong penghuni Firdaus. Namun tak ‘kan mampu hamba menanggung api neraka. Maka limpahkanlah ke­pada hamba ampunan-Mu atas segala dosa hamba, Sesung-guhnya Engkau Lautan Ampunan.

Ya Allah , kepada-Mu kupersembahkan segaia puji, ssungguhnya Engkaulah yang berhak atas segala Puji.

اللهمّ انّك تسمع كلامنا وترى مكاننا وتعلم سرّنا وعلانيتنا لابخفى عليك شيئ من أمرنا.

Allahuma Ya Allah, Engkau Maha Mendengar ucapan kami, Maha Melihat tempat dan kedudukan kami, Maha Mengetahui segala yang menyangkut kami yang tersembunyi maupun yang nyata, tak sepercikpun yang terluput dari Penglihatan-Mu, Ya Allah.

اللهمّ أعنّا على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك

Allahumma, ya Allah, tolonglah kami agar selalu ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, beribadat dengan mulus kepada-Mu.

اللّهمّ اغفرلى ولوالديّ وارحمهما كما ربّيانى صغيرا

Allahumma ya Allah, ampunilah kami serta kedua orangtua kami.  Limpah­kanlah rahmat kepada mere-ka sebagai mana mereka menyantuni kami saat kami masih kecil.

Allahumma, ya Allah, terangilah kaibu kami, sebagai-mana Engkau menerangi bumi dengan sinar mentari-Mu, selama-lamanya. Allahumma, mantapkanlah kalbu kami pada agama-Mu.

اللهمّ حسّن أخلاقنا، وصحّح أجسادنا، ونوّر قلوبنا، وأحسن أخلاقنا، والى الخير قرّبنا، ومن الشّرّ أبعدنا، واقض حوائجنا فى الدنيا والآخرة.

Ya Allah, semoga Engkau memperindah akhlaq kami, melimpahkan kesehatan jasad kami, menyinari kalbu kami, membaikkan amal perbuatan kami Ya Allah, dekatkanlah kami kepada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan. Penuhilah kebutuhan kami Ya Allah, baik yang berkenaan dengan kehidupan di dunia maupun akhirat.

Ya Allah, jadikanlah negara kami menjadi “Baldtun thoyyibatun wrbbun ghafuur”. Jauhkanlah rakyatnya dari malapetaka, limpahkanlah karunia kepada me-reka agar tetap taat kepada-Mu. Limpahkanlah bara-kah dan ni’mat karunia-Mu ke­pada para pimpinan negara kami, agar tetap tabah memimpin rakyatnya menuju ridla-Mu.

ربّنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقناعذاب النّار. سبحان ربّك ربّ العزّة عمّا يصفون، وسلام على المرسلين والحمد لله ربّ العالمين.

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد.
ankara escort
çankaya escort
ankara escort
çankaya escort
ankara rus escort
çankaya escort
istanbul rus escort
eryaman escort
ankara escort
kızılay escort
istanbul escort
ankara escort
istanbul rus Escort
atasehir Escort
beylikduzu Escort

Leave a Reply

Your email address will not be published.