Mengajarkan IPTEK Berbasis Amal Jariyah

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membatalkan sedekah-sedekah (bantuan-bantuan) kamu dengan menyebut-nyebutnya atau (melakukan tindakan) yang menyakitkan hati, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya dan tidak beriman kepada Allah dan kepada adanya hari akhirat. Perumpamaanya seperti batu licin yang ditutupi tanah di atasnya. Waktu ditimpa hujan lebat, batu itu menjadi licin kembali. Tidak satu pun yang dapat mereka peroleh dari usahanya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (QS. Al Baqarah [2]: 264).

Seorang dosen bertutur bahwa dalam satu acara nasional ia bertemu seorang pejabat penting, mantan mahasiswa bimbingannya. “Dulu ia payah sekali, hampir drop out karena kurang biaya dan kurang cerdas.”  Atas bimbingan akademik dan finansial sang dosen, dia lulus sarjana dan setelah 15 tahun kemudian ia menjadi orang penting. Saat bertemu sang mantan pembimbing, pejabat itu sungguh “kacang lupa kulitnya”. Jangankan menyapa ingat pun tidak. Atau sengaja berpura-pura lupa!  Cerita di atas adalah sekelumit hubungan sosial dan emosional guru-murid yang berubah setelah 15 tahun. “Segala sesuatu, termasuk interaksi guru-dosen, rusak (berubah), kecuali Dzat Allah” (QS. Al Qashash [28]: 88).
Allah S.w.t. memberi hidup dan kehidupan kepada manusia, namun Ia tidak memerlukan apa pun dari kita sebagai makhluk-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari kita saling memberi dan menerima. Memberi ilmu kepada mahasiswa adalah pekerjaan mulia, sebab ilmu adalah nur Ilahi dan salah satu sifat Allah adalah Al-‘Alim, yakni Maha Mengetahui.  Apa yang diajarkan kepada mahasiswa hanyalah setitik kecil dari ilmu Allah yang Maha Luas.
Kepada mereka yang telah memilih pendidikan sebagai mata pencaharian, maka jadikanlah pendidikan (baca: mencerdaskan ummat) bukan sekadar ladang profesi tetapi juga ladang amal shalih, agar apa yang diajarkan kepada mahasiswa atau siswanya akan berwujud amal jariyah yang pahalanya tetap mengalir kepada kita, sekalipun kita telah tiada. Agar beroleh amal mulia ini, mari kita mengingat tujuh petunjuk berikut ini.
Pertama, yakini bahwa ilmu yang kita miliki adalah anugrah dari Allah S.w.t., karena itu berikanlah ilmu itu kepada mahasiswa dengan nawaitu atau niat karena Allah.  Awali perkuliahan dengan membaca Basmallah agar apa yang diajarkan -walau sekadar titik dan koma- bermanfaat, menjadi nur bagi mahasiswa. Nabi mengajarkan doa, agar dijauhkan dari ilmu yang tidak ada manfaatnya, Allahumma inni auudzubika min ‘ilm laa yanfa’

Kedua, sadari bahwa ilmu yang kita miliki sekadar setetes air dari samudera ilmu Allah S.w.t. Hindari sikap angkuh dan sombong. Jangan memberi kuliah dengan maksud pamer kepakaran. Bila demikian, Anda mengajar tidak karena Allah, tetapi menginginkan sanjungan dan decak kagum dari mahasiswa. Anda mengajar sekadar tuntutan profesi lahiriyah dan rupiah. Bukan ibadah!

Ketiga, manusia memiliki potensi untuk berubah. Mahasiswa kita dalam beberapa hal bisa lebih pintar dan lebih berhasil daripada kita. Jangan menganggap itu sebagai ancaman atas eksistensi Anda. Sebaliknya, syukuri dan tafakuri sebagai anugrah Allah yang memberikan ilmu kepada manusia yang bidang dan tingkatannya relatif.  “Dan Dia unggulkan sebagian dari kalian atas yang lain beberapa tingkat karena Tuhan hendak menguji kamu atas apa yang diberikan-Nya  kepadamu” (QS. Al An’aam [6]: 165)

Keempat, jangan pernah menyebut-nyebut shadaqah yang kita berikan pada orang lain– termasuk ilmu yang kita berikan kepada mahasiswa, karena merasa telah berjasa menjadikannya sarjana, magister, atau doktor. Bila demikian, maka Anda sendiri telah menghapus ibadah (mencerdaskan ummat) itu, layaknya  batu licin yang ditutupi tanah di atasnya. Waktu ditimpa hujan lebat, batu itu menjadi licin kembali. Tidak satu pun yang dapat mereka peroleh dari usahanya.

Kelima, janganlah mengharap kebaikan dan balas jasa dari mahasiswa yang kita bimbing. Bisa jadi, mahasiswa itu sedang mendapat cobaan hidup yang dahsyat, sehingga lupa atas segala kebaikan kita.  Atau, sesungguhnya dia ingat atas kebaikan kita, tapi dia tidak memiliki sesuatu yang layak diberikan kepada kita. Mahasiswa yang demikian, bisa jadi dengan ihklas senantiasa mendoakan agar kita sehat, panjang usia, dan ditinggikan derajat.

Keenam, ingatlah bahwa pintu rezeki dan anugrah Allah S.w.t itu tak terhingga banyaknya. Mengharapkan imbalan dari mahasiswa berarti Anda mendikte Allah S.w.t dan Anda menutupi pintu-pintu lain, padahal Allah penguasa rezeki di langit dan bumi.  Karena itu, lupakan jasa kita kepada mahasiswa. Lakukanlah dengan niat ibadah, maka Allah akan memberikan rezeki kepada kita dari sumber-sumber lain (orang, pekerjaan, kesempatan) di luar dugaan kita.

Ketujuh, dosen dan mahasiswa harus berbicara dengan bahasa santun, tidak menyakitkan, tidak menggelisahkan, dan tidak menumpulkan semangat belajar. “Jika Anda bersikap kasar, kesat hati niscaya mereka akan menjauh darimu” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159). Di dalam kelas secara fisik bisa jadi mahasiswa dan dosen akrab, tetapi secara psikis sesungguhnya saling menjauh dan saling membenci. Dalam kelas demikian, tidak akan tumbuh iptek berbasis amal jariyah!

Ala kulli hal, ingatlah bahwa Allah s.w.t. tidak pernah lupa, ngantuk, atau bahkan tertidur. Mahasiswa bisa lupa atas kebaikan dosen-dosen yang telah berjasa dan mencerdaskan dirinya. Segala perilaku, gerak-gerik, ucap, dan lampah di dalam dan di luar kelas akan dicatat oleh komputer Ilahi yang Maha Canggih.  Bila dilakukan karena Allah, maka semua itu akan mendapat balasan di luar dugaan kita.

Oleh: Prof. H. A. Chaedar Alwasilah, M.A., Ph.D.

Leave a Reply

Your email address will not be published.