Pendidikan Islam & Pencarian Jalan

Pendidikan Islam & Pencarian Jalan Berpulang Ke Rahmatullah

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al A’raaf [7]: 172).

Kesaksian manusia dihadapan Allah SWT sebagaimana ayat di atas merupakan ikatan “batin” yang tidak dapat disangkal oleh hati. Hati manusia akan selalu dilintasi oleh kesaksian tersebut. Ikatan inilah yang kemudian mendorong manusia menemukan sumber cahaya. Ketika petunjuk tidak diperoleh, maka muncullah “formalisasi” agama yang diciptakan oleh manusia untuk mencari sumber tersebut.

Setelah terjadi ikatan kesaksian, “roh” manusia sebenarnya berlawanan dengan kemauannya untuk mencari pengetahuan dan pengalaman, seperti tersirat di dalam Al-Quran: “ Mulai sekarang pergilah kalian semua ke bawah; kalian akan mendapatkan perintah lebih lanjut dari-Ku” (QS. Al Baqarah [ 2]: 38). Ketika roh berada di dalam tubuh, ia harus mencari pengetahuan tentang hakikat ketuhanan. Dorongan kuat untuk mencari Tuhan tumbuh dari kebutuhan hati yang gelisah. Logika memberi informasi tentang dunia luar agar dapat meredakan “kegelisahan”. Interaksi antara logika dan hati seharusnya tanpa penyimpangan, namun nampaknya nafsu tidak bisa tinggal diam. Nafsu yang ditungggangi oleh pesan syetan, biasanya akan menutup mata hati sehingga terjadilah pengingkaran terhadap kebenaran.

“Roh” manusia sebenarnya merasa khawatir ketika diberi tugas untuk mencari pengetahuan, yaitu khawatir tidak menemukan sumber cahaya yang sesungguhnya. Namun dari sinilah asal mula manusia menjalani suatu kehidupan yang cocok untuknya. Ia tidak dapat tenteram tanpa pengetahuan tentang tatanan kehidupan di mana ia berada. Di relung sanubarinya ia sadar akan keharusan mengakui keberadaan Tuhan karena batinnya selalu mendengar penyaksian “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” dan ia menjawab “betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al A’raaf [ 7] : 172).
Al-Ghazali (Othman,1987) menjelaskan bahwa “karir” roh yang dimulai dari alam fana ini merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang berbagai tatanan kehidupan dari semua ciptaan Allah. Pengetahuan tentang ciptaan Allah di alam khalq tidak mungkin diperoleh tanpa hidup di dalamnya dan menjadi bagian daripadanya. Karena itu, kepentingan seseorang dalam mencari kebenaran bukan semata-mata untuk memperoleh kepuasan intelektual, tetapi rasa ingin tahunya didasari oleh bisikan petunjuk agar ia mengetahui dan mengenal pekerjaan Allah dalam rangka “mencari jalan” kembali ke asalnya.

Karena sifat roh yang “berkesaksian” terhadap Tuhannya dan ingin kembali ke asalnya, maka manusia terus-menerus gelisah. Dalam dirinya timbul keinginan untuk meneliti diri dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Secara perorangan maupun berkelompok, manusia akan belajar dan mencari “cahaya” penerang. Tetapi hanya Cahaya dari Allah sajalah yang dapat memberi penjelasan dan menentramkan jiwa (roh) karena cahaya dari pada-Nya mengandung kebenaran mutlak dan sesuai dengan kebutuhan jiwa manusia yang sesungguhnya. Karena itulah, untuk membimbing manusia kepada hakikat kehidupan yang lurus,  diperlukan proses pembimbingan melalui suatu sistem yang kemudian dinamakan pendidikan.

Dengan demikian, pendidikan manusia menurut asumsi di atas pada dasanya bukan hanya ditujukan untuk melayani kebutuhan fisik semata (duniawi), tetapi yang paling penting adalah membimbing manusia untuk kembali ke alam yang di dalamnya terdapat Rahmatullah. Pendidikan Islam memiliki tujuan untuk memberi pengajaran agar dapat pulang ke Rahmatullah.

Masalah yang kemudian muncul adalah adanya dikotomi pendidikan, antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Pendidikan Islam seolah-olah hanya mempelajari “jalan pintas” menuju Rahmatullah dan dipisahkan dari pendidikan umum yang katanya bersifat duniawiyah. Dikotomi ini sebenarnya kurang menguntungkan jika dilihat dari strategi pengumpulan amal sholeh. Orang yang berhak masuk surga hanyalah orang-orang mempelajari agama pada fakultas-fakultas agama Islam, sedangkan mereka yang belajar ilmu-ilmu lain tidak memiliki hak untuk itu. Sebaiknya, pendidikan kita harus memiliki visi bahwa semua ilmu yang dipelajari pada dasarnya merupakan modal hidup untuk berlomba beramal kebaikan menuju kampung yang di dalamnya penuh dengan Rahmatullah. Semoga!.

Oleh: Ahmad Yani

Leave a Reply

Your email address will not be published.