Basmallah

Dalam ajaran Islam sunnah Nabi Muhammad saw, terdapat kebiasaan mengucapkan  bismillāh (basmalah). Ungkapan ini digunakan dalam menyertai dan memulai berbagai kegiatan dan pekerjaan yang baik atau ibadah. Walaupun dalam masyarakat Arab sebelum turun Wahyu kepada Nabi Muhammad, kata dan kalimat itu tidak dikenal. Sesuatu yang biasa digunakan untuk ungkapan pekerjaan, tulisan, dan memulai sesuatu itu di kalangan orang Arab, sering dipakai kalimat bismika Allāhumma (Atas Namamu Ya Allah). Nama Allah adalah kata yang dimiliki orang Arab untuk Nama Tuhan. Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad tidak berbahasa Arab, mereka memanggil nama Tuhan dengan bahasa mereka sendiri. Yang berbahasa Ibrani, Arami, Suryani,  memanggil-Nya dengan El, Eli, Elohim, atau Yahweh, Yehova, dan lainnya.  Untuk melacak kata itu,  kita dapat menemukannya dalam banyak dokumen orang Arab. Seperti dokumen kaum Quraisy yang biasa digantungkan di dinding Ka’bah, berupa syair-syair mu’alaqat (puisi-puisi yang digantungkan) dan di atas surat ancaman embargo ekonomi sosial, surat-surat bay’at dan perjanjian-perjanjian serta dokumen penting lainnya .

Pada awal turunnya Al-Qurán sebagai permulaan periode Islam di Makkah, kalimat yang diturunkan Allah adalah Bismi Rabbik al-lażī Khalaq (Atas Nama Rabb Mu yang telah mencipta (Q.S. Al-‘Alaq [96]:1), kita mengenalnya setelah perintah Iqra’.  Juga beberapa surat dan kesempatan turun wahyu berikutnya seperti Bismi Rabbika al-‘Adziim (Atas Nama Rabb Mu yang Maha Agung) (dalam tiga ayat masing-masing Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 74 & 96 dan Al-Ḥaqqah [69]: 52). Ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran saat itu tidak dimulai dengan basmalah. Nabi saw dan para sahabat mengerjakan atau membaca sesuatu tanpa kalimat basmalah yang kita kenal itu.  Namun baru setelah banyak dan lama turun wahyu dan turun surat An-Naml. Tepatnya pada ayat yang mengisahkan Nabi Sulaiman mengirimkan surat kepada Ratu Bilqis di Negeri Saba, isi surat tersebut dikutipkan: “ Bahwa ini surat dari Sulaiman: Isinya: Bismillahirraḥmanirraḥiim, (Atas  nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Janganlah kalian berbuat sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang damai”. (Q.S. Al-Naml [27]: 30-31). Ayat itulah satu-satunya ayat pertama tentang basmalah. Kalimatnya lengkapnya Bismillāhirraḥmanirraḥīm. Sedangkan di ayat lain kalimat ada juga Bismillahi Majreha Wa Mursaha (Q.S. Hūd [11]: 41), tidak digunakan sebagaimana basmalah yang lengkap. Yang satu ini digunakan untuk permulaan bacaan dalam perjalanan. Pada ayat itu sebenarnya tentang kisah Nabi Nuh. Beliau mengucapkan  Bismillahi Majreha Wa Mursaha inna rabbi la gafururraḥiim,  dalam perjalanan berlayar mengawali banjir besar yang kita kenal dalam sejarah.  Dari sanalah, maka basmalah yang lengkap dari Nabi Sulaiman itu mulai dicantumkan dalam setiap awal semua surat Al-Quran termasuk surat Al-Fatihah, kecuali surat Al-Baraah atau At-Taubah.

Sampai sekarang kebiasaan mengucapkan basmalah ini sudah menjadi ibadah dan ungkapan yang lazim bagi umat Islam di seluruh dunia. Dalam berbagai hadits Nabi diungkapkan bahwa: “Orang yang tidak memulai pekerjaannya tanpa atas nama Allah terputus”. Kita dapat memaknai hal ini dengan menghubungkannya dengan penciptaan Allah yang memiliki mata rantai dengan kehidupan kita yang diciptakannya. Adalah sebuah teologi yang kokoh untuk mengembalikan kehidupan dan penciptaannya dalam sebuah kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dinamai tauhid.

Dalam bahasa kaum jabariyah, kita hidup di dunia ini tidak bertindak dengan kelakuan yang hanya dilakukan oleh kita sendiri. Akan tetapi kita bekerja dan hidup atas kehendak yang Mahakuasa  dan Mahapencipta untuk berbuat baik dan dengan ikhlas karena berhubungan dengan Allah. Selanjutnya menurut Qadariyah, manusia itu berusaha dengan kehendak yang diberikan Allah kepadanya, karena itu semua manusia dibebani tugas yang dilakukan oleh usahanya untuk menentukan pilihan menjadi baik. Hanya usaha manusianya sendirilah yang dapat dinilai sebagai nilai kebaikan yang dapat dikatakan sebagai kehendak Allah. Usaha yang mengarahkan kepada kejahatan dan perbuatan yang tidak baik adalah karya manusia yang tidak mengatasnamakan Allah Yang Maha Pengasih Penyayang. Karena itu tanggung jawab perbuatan yang tidak mengatasnamakan Allah bukan dari-Nya. Islam berada di tengah-tengah faham kedua kubu tersebut. Merupakan keseimbangan bagi seorang muslim bila dapat menjabarkan kedua kubu yang memahami sesuatu untuk dapat diharmoniskan dalam hidupnya. Pengharmonisan dalam menghadapi sesuatu yang berbeda dari kekuasaan Allah dapat menjadi kebutuhan seumpama kebutuhan ciptaan Allah akan adanya langit dan bumi, siang dan malam, laki-laki dan perempuan dan seterusnya.
Oleh karena itu, sejatinya kaum muslimin yang membacakan ayat-ayat al-Quran, berarti mereka menggunakan lidah dan mulut yang berbicara sebagai makhluk atas nama Allah sebagai khaliq yang menciptakannya. Dalam ungkapan arabnya adalah basmalah itu. Bukan manusia yang berbicara, tetapi Allah lah yang berfirman. Bukan mulut dan lidah yang berbicara, tetapi semua alat-alat bicara itu adalah simbol yang mewakili Allah, atas nama-Nya. Bahkan dalam khazanah kaum Sufi sangat populer bahwa seorang wali pada satu saat mewakili dan berbicara atasnama-Nya seperti dalam kasus Al-Halaj. Yang lebih menarik bahwa mendekatkan diri kepada Allah dengan menyematkan Nama Allah yang Maha Baik (Al-Asma al-Husna) sebagai sifat manusia yang melekat padanya.  Semakin penyayang manusia berarti semakin dekat kepada Allah yang maha pengasih (Al-Raḥman),  dan  semakin berilmu manusia berarti ia semakin dekat kepada yang maha berilmu (mengetahui) Al-’Aliim. Semakin dermawan manusia berarti semakin dekat kepada yang Maha Pemberi dan Maha Kaya (Al-Wahhab, Al-Ganiy),  dan seterusnya sampai seluruh nama Allah yang 99 itu. Allah dapat didekati dengan berbagai cara dan atas nama-Nya. Allah begitu dekat dan lebih dekat seperti yang diperkirakan makhluknya. Bahkan akhirnya dalam bahasa Tasawwuf itu ada konsep yang berbagai macam untuk menjadi simbol Tauhīdullāh. Bukan hanya sekedar dekat tetapi lebih dekat dan Maha Dekat demikian diungkapkannya aqrab min ḥablil warid. Teori yang mereka gunakan untuk itu  dalam  kalangan kaum sufi adalah Al-Ittihadd, Al-Ḥulul, dan Wahdah al-Wujud.

Allahu A’lam  bi  al-Ṣawab


Oleh : Dr. H. Endis Firdaus, M.Ag.

Leave a Reply

Your email address will not be published.